A. Latar Belakang
Eskatologi Islam adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan setelah
mati dialam akhirat dan al-Qiyāmah "Pengadilan Terakhir". Eskatologi sangat
berhubungan dengan salah satu rukun Islam, yaitu meyakini adanya
hari akhir, kematian, kebangkitan (Yawm al-Qiyāmah), mahsyar, pengadilan
akhir, surga, neraka, dan keputusan seluruh nasib umat manusia dan lainnya.
Tentang
eskatologi ini, akan kita lihat soal-soal kebahagiaan dan kesengsaraan, hari
kiamat, alam keruhanian, dan masalah kematian, yang semuanya bersifat ruhani. Inti
ajaran keagamaan berada di seputar kepercayaan dan keyakinan tentang adanya
wujud-wujud ruhani. Agama tak akan mungkin ada tanpa kepercayaan akan hal-hal
yang immateri tadi. Karena itu, kepercayaan kepada adanya wujud ruhani merupakan
titik temu yang paling besar dari agama-agama, di samping kepercayaan kepada
Tuhan[1].
Semua
agama mempercayai akan adanya wujud dan alam kehidupan yang lain yang lebih
tinggi daripada yang ada sekarang. Semua agama mempercayai adanya pengalaman
hidup keruhanian yang bahagia dan yang sengsara, di hari akhir. Tentang
kepercayaan Islam mengenai hari akhir (eskatologi), akan kita lihat lebih jauh
di bawah ini.
B. Eskatologi dalam Islam
Banyak
redaksi yang digunakan Al-Qur’an untuk menguraikan hari akhir, misalnya yaum
al-ba'ts (hari kebangkitan), yaum al-qiyamah (hari kiamat), yaum
al-fashl (hari pemisah antara pelaku kebaikan dan kejahatan), dan masih
banyak lainnya.
Al-Qur’an
al-Karim menguraikan masalah kebangkitan secara panjang lebar dengan
menggunakan beberapa metode dan pendekatan. Kata "Al-Yaum Al-Akhir"
saja terulang sebanyak 24 kali, di samping kata "akhirat" yang
terulang sebanyak 115 kali. Belum lagi kata-kata padanannya. Ini menunjukkan
betapa besar perhatian Al-Quran dan betapa penting permasalahan ini.
Banyak
juga sisi dari "hari" tersebut yang diuraikan Al-Qur’an, dan uraian itu (yang tidak jarang berbeda
informasinya, bahkan berlawanan) diletakkan dalam berbagai surat. Seakan-akan Al-Qur’an bermaksud untuk memantapkan
keyakinan tersebut dalam jiwa pemeluknya[2].
C. Ayat-Ayat tentang Eskatologi
Sebagaimana
telah dipaparkan diatas, tentang eskatologi ini kita akan membahas soal-soal
kebahagian dan kesengsaraan, hari kiamat, alam keruhanian, dan masalah
kematian. Dimana akan diuraikan berikut ini:
1. Kebahagiaan
dan Kesengsaraan
Al-Qur’an
mengatakan bahwa kebahagiaan di hari akhir hanya bergantung pada tiga hal,
yaitu percaya kepada Allah, percaya kepada Hari Kemudian, dan berbuat baik.
Sebagaimana tertera dalam Q.S. Al-Baqoroh, 2 : 120 yang berbunyi:
`s9ur 4ÓyÌös? y7Ytã ßqåkuø9$# wur 3t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3 ö@è% cÎ) yèd «!$# uqèd 3yçlù;$# 3 ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr& y÷èt/ Ï%©!$# x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$# $tB y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB <cÍ<ur wur AÅÁtR ÇÊËÉÈ
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang
benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah
pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu.”
Dan Q.S.
Al-Maidah, 5 : 69
¨bÎ) úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä úïÏ%©!$#ur (#rß$yd tbqä«Î6»¢Á9$#ur 3t»|Á¨Y9$#ur ô`tB ÆtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# @ÏJtãur $[sÎ=»|¹ xsù ì$öqyz óOÎgøn=tæ wur öNèd tbqçRtøts ÇÏÒÈ
“Sesungguhnya
orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa
saja (diantara mereka) yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal
saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati."
Mengenai
firman Allah SWT: "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang
kepadamu sebingga kamu mengikuti agama mereka," Ibnu Jarir mengatakan:
"Yang dimaksud dengan firman-Nya itu adalah: 'Hai Muhammad saw,
orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu selamanya,
karena itu tidak usah lagi kau cari hal yang dapat menjadikan mereka rela dan
sejalan dengan mereka. Akan tetapi arahkan perhatianmu untuk mencapai ridha
Allah SWT dengan mengajak mereka kepada kebenaran yang kamu diutus
dengannya.'"
Dan
firman Allah SWT: "Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulak
petunjuk (yang benar)."Artinya: "Katakanlah, wahai Muhammad SAW,
sesungguhnya petunjuk Allah SWT yang Dia telah mengutusku dengannya adalah
petunjuk yang sebenarnya, yaitu agama lurus, benar, sempurna, dan menyeluruh."
Qatadah
meriwayatkan: "Telah disampaikan kepada kami bahwasanya Rasulullah saw
pernah bersabda: 'Akan tetap ada suatu kelompok dari umatku yang terus berjuang
memegang teguh kebenaran, di mana orang-orang yang menentang mereka tidak dapat
memberi mudharat kepada mereka, sehingga datang perintah (keputusan) Allah
SWT."' Ibnu Katsir mengatakan, hadits tersebut dikeluarkan dalam kitab Shahih,
dari 'Abdullah bin 'Amr.
Firman
Allah SWT: "Dan sesungguhnya jika engkau mengikuti kemauan mereka
setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung
dan penolong bagimu." Dalam ayat tersebut terdapat ancaman keras bagi
umat yang mengikuti cara-cara orang-orang Yahudi dan Nasrani setelah umat ini
mengetahui isi al-Qur’an dan as-Sunnah. Kita memohon perlindungan kepada Allah
SWT dari hal itu. Khithab (sasaran pembicaraan) dalam ayat ini ditujukan kepada
Rasulullah SAW, tetapi perintahnya ditujukan kepada ummatnya.[3]
Sedang
tentang firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang
Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang
beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh,” maksudnya orang-orang
mukmin, Yahudi, Shabiin (satu sekte dari Yahudi) dan Nasrani yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari akhir dan benar-benar beramal saleh mereka
mendapatkan pahala dari Allah. “Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati." Maksudnya tidak ada
kekhawatiran dan bersedih hati dalam menghadapi hari kemudian atau hari akhir[4].
Kedua
ayat itu mengandung pesan yang sama, yaitu bahwa (terjemahan bebasnya): Orang
Yahudi, orang Nasrani, orang Majusi, dan orang Sabean, semuanya bisa masuk surga
asalkan beriman kepada Allah, Hari Kemudian, dan berbuat baik.
Dalam
perkataan akhirah, sebetulnya secara tersembunyi ada perkataan al-dar,
al-dar al-akhirah, maksudnya kampung yang akhir. Kemudian lawannya
adalah al-dar al-ula, yaitu dalam surat Al-Dluha, wa la al-akhiratu
khayrun laka mina al-ula. Mestinya ayat tadi bunyinya al-awwal, tetapi itu
tidak lazim. Asosiasinya, misalnya, dengan akbar menjadi kubra. Akhirat
itu pada dasarnya adalah konsep waktu. Dan cukup menarik bahwa hari akhirat itu
dalam penggambaran Al-Qur’an, menurut Cak Nur, hanya ada dalam konsep waktu,
tidak ada dalam konsep ruangnya. Kalau hari pertama ada konsep ruangnya, yaitu al-dunya
(dunia). Dunya itu bentuk dasar dari adna,artinya paling dekat.
Jadi ruang yang terdekat, yang sekarang ini.
Kalau
akhirat atau hari kemudian/akhir (eskatologi) hanya dikenal dalam konsep waktu,
konsep ruangnya langsung dihubungkan dengan bahagia atau sengsara, yaitu surga
dan neraka. Semua agama dengan variasi-variasi tertentu percaya kepada adanya Hari Kemudian. Dan mengapa
adanya Hari Kemudian itu lalu menjadi syarat bagi kebahagiaan? Karena dengan
adanya percaya kepada hari kemudian orang tidak menganggap bahwa hidup ini
selesai sekarang. Kalau seandainya hidup itu selesai sekarang, maka baik dan
buruk itu menjadi kurang relevan. Banyak orang jahat yang berbahagia, meskipun secara
sepintas lalu. Misalnya para koruptor itu lebih senang hidupnya daripada
orang-orang yang beribadah.
Kalau
hidup dibatasi hanya pada waktu sekarang, maka baik dan buruk itu menjadi
kurang prinsipil. Tetapi kalau orang yakin bahwa baik dan buruk akan menentukan
bahagia dan sengsaranya nanti di akhirat, yang dalam Al-Qur’an dilukiskan
sebagai khaalidiina fii haa (abadi di dalamnya), maka baik dan buruk
menjadi sesuatu yang prinsip. Orang tidak lagi meringankan persoalan baik dan buruk,
atau persoalan moral dan etika di dunia ini. Dunia pun berjalan seperti ini
karena moral dan etika.[5]
2. Hari Kiamat
Salah
satu ciri orang bertakwa adalah percaya kepada adanya hari akhir, yaitu hari
pertanggung jawaban pribadi secara mutlak di akhirat. Di sana, tidak ada khullah(berasal
dari kata khalîl) yang artinya teman. Di akhirat tidak ada pertemanan, tidak
ada solidaritas. Semua orang tampil secara pribadi di hadapan Allah Swt. Dan tidak
ada perantara kepada-Nya[6].
Sebagaimana tertera dalam Q.S. Al-Baqoroh, 2 : 48 yang berbunyi:
(#qà)¨?$#ur $YBöqt w ÌøgrB ë§øÿtR `tã <§øÿ¯R $\«øx© wur ã@t6ø)ã $pk÷]ÏB ×pyè»xÿx© wur äs{÷sã $pk÷]ÏB ×Aôtã wur öNèd tbrã|ÁZã ÇÍÑÈ
“Dan
jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak
dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima
syafa'at[7]
dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.”
Mengenai
firman Allah SWT: "Dan jagalah dirimu dari (adzab) pada hari."
Maksudnya adalah hari Kiamat. Pada hari di mana, "Seseorang tidak dapat
membela orang lain meskipun sedikit." Artinya, tidak ada seorang pun
yang dapat mencukupi orang lain, "Dan tidak diterima darinya syafa'at
" Yakni dari orang-orang kafir, "Dan juga tidak diambil
tebusan darinya." Artinya, Allah SWT tidak akan menerima tebusan yang
mereka serahkan.
Allah
SWT memberitahukan bahwa jika mereka tidak beriman kepada RasulNya dan tidak
mengikuti ajaran yang dibawanya serta tidak memenuhi kewajiban yang telah
dibebankan kepada mereka, maka pada hari Kiamat kelak kedekatan kaum kerabat
dan syafa'at seorang yang terhormat (berkedudukan) tiada akan bermanfaat bagi
mereka. Dan tidak akan diterima pula tebusan dari mereka meski berupa tumpukan
emas sepenuh bumi ini.
"Dan
tidaklah mereka akan ditolong." Artinya, tidak ada seorang pun yang marah demi (membela) mereka,
lalu memberikan pertolongan dan menyelamatkan mereka dari adzab Allah SWT.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa kaum kerabat dan orang yang mempunyai
kehormatan tidak akan merasa kasihan kepada mereka, serta tidak akan diterima tebusan
darinya. Tidak ada lagi seorang penolong baik dari kalangan mereka sendiri maupun
lainnya.[8]
Kesadaran
kepada hari akhir ini penting sekali, karena implikasinya sangat besar dalam
kehidupan sehari-hari. Hidup di dunia ini akan menuju kepada kehidupan akhirat.
Itulah hidup yang sebenarnya. Hidup di dunia ini harus kita jalani dengan
sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, karena semuanya akan berakhir dengan
pertanggungjawaban pribadi di hadapan Allah Swt. Semua indikasi takwa ini jelas
merupakan dasar yang sangat kukuh bagi kehidupan yang benar.
Dalam
bahasa sehari-hari, kiamat itu seolah-olah malapetaka yang besar. Padahal
kiamat itu sebenarnya artinya adalah bangkit dari kematian. Qiyâmat,
sama dengan Qâmat untuk sembahyang itu. Artinya sudah waktunya
sembahyang dimulai, orang harus berdiri. Qiyâmah adalah kebangkitan
orang dari kematian, jadi bersangkutan dengan hari akhirat. Biasanya, gambaran
tentang kiamat ialah bahwa nanti dunia ini akan hancur, kemudian orang-orang
yang mati bangkit kembali[9].
Al-Quran
itu penuh dengan ilustrasi, bahwa tidak ada yang tahu kapan kiamat akan datang,
kecuali Allah. Juz Al-Quran yang ke 30 dinamakan Juz ‘Amma, karena dimulai
dengan pernyataan: “Tentang apa mereka bertanya-tanya? Tentang berita yang
sangat besar.” Yaitu mengenai kiamat, lalu ditegaskan bahwa tidak ada yang
tahu kiamat kecuali Allah. Karena itu kemudian manusia diajari untuk
bersiap-siap, boleh jadi kiamat sudah dekat sekali[10].
3. Alam
Keruhanian
Kata
“ruh” itu, memiliki banyak ar ti, tidak hanya menunjuk kepada “wahyu”, di
samping itu bisa juga berarti inspirasi, yaitu sumber pengetahuan, keinsafan,
dan kebijakan yang mendalam pada manusia. Semuanya adalah jenis wujud
non-empirik (antara lain, tidak dapat diulang karena tidak dapat diketahui
hukum-hukum yang mengaturnya). Pada masa hidup Nabi, banyak orang
mempertanyakan hakikat Al-Quran yang disebut Ruh, apakah ia sejenis syair, atau
malah pendukunan? Adanya sikap bertanya-tanya dan mempertanyakan tentang
Al-Quran sebagai Ruh ini, diabadikan dalam Kitab Suci Q.S. Al-Isra’, 17 : 85-86 yang berbunyi:
tRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ÌøBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# wÎ) WxÎ=s% ÇÑÎÈ ûÈõs9ur $oYø¤Ï© ¨ûtùydõuZs9 üÏ%©!$$Î/ !$uZøym÷rr& y7øs9Î) §NèO w ßÅgrB y7s9 ¾ÏmÎ/ $uZøn=tã ¸xÅ2ur ÇÑÏÈ
“Dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
“Dan
Sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu tidak akan mendapatkan
seorang pembelapun terhadap Kami.”
Demikian
juga Ruh bisa berarti malaikat. Seperti nama Jibril yang disebut-sebut dalam
Al-Quran. Namun juga ada sebutan lain yang juga dimaksudkan Jibril, seperti Rûh
Al-Amîn, Rûh Al-Quds (Roh Kudus). Dalam sistem keimanan Islam,
disebutkan nama-nama para malaikat yang lain sehingga menggenapkan jumlah
mereka menjadi sepuluh (yaitu: Jibril, Mikail, Izrail, Israfil, Munkar, Nakir,
Raqib, ‘Atid, Malik, dan Ridwan).
Selain
berarti Wahyu atau Jibril, Ruh dapat diartikan juga sebagai sukma. Dalam firman
Allah, “Para malaikat dan Ruh naik menghadap kepada-Nya dalam sehari yang
ukurannya ialah sama dengan lima puluh ribu tahun,” yang dimaksud dengan Ruh di
situ adalah Malaikat Jibril. Tetapi dikaitkan dengan firman Allah yang artinya:
“Dia yang telah membuat baik segala sesuatu yang diciptakan-Nya, dan telah memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian dijadikan anak turunnya dari sari air
yang hina. Lalu disempurnakan bentuknya, dan ditiupkan ke dalamnya sesuatu dari
Ruh-Nya, dan dibuatkan untuk kamu (wahai manusia) pendengaran, penglihatan, dan
kalbu. Namun sedikit kamu bersyukur.”
Dengan
demikian, ruh dari Allah adalah karunia Ilahi dan rancangan-Nya bagi manusia.
Dalam alam keruhanian, kita semua diangkat kepada cahaya pertolongan Tuhan, dan
kemuliaan-Nya mentransformasikan nilai kemanusiaan kita. Dalam konteks
pembicaraan mengenai ruh inilah, kita bisa memahami seluruh masalah kematian
dalam agama[11].
4. Masalah
Kematian
Di
antara sifat-sifat utama kaum ber takwa, ialah percaya dan meyakini akan adanya
Hari Kemudian, yaitu hari akhirat (yaitu eskatologi, yang sudah kita lihat sedikit
di atas). Dan kepercayaan ini berkaitan langsung dengan masalah kematian dan
hidup sesudah kematian itu. Kematian, menurut agama, bukanlah akhir dari segala
pengalaman eksistensial manusia, melainkan justru permulaan dari jenis
pengalaman baru, yang lebih hakiki dan lebih abadi. Jika eksistensi manusia ini
dilukiskan sebagai garis berkelanjutan, kematian hanyalah sebuah titik dalam
garis itu, yang menandai perpindahan dari satu fase kepada fase yang lain.
Karena
masalah kematian, dan apa yang akan terjadi setelah kematian itu sendiri adalah
masalah yang tidak empiris, artinya tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman,
maka masalah kematian ini menyangkut soal “iman” atau “percaya” dan “yakin”
kepada “berita” (Arab: nabâ’) dari Tuhan, sebagaimana dibawa oleh para
“pembawa berita”, atau mereka yang mendapat berita (Arab: nabiiy orang
yang diberi berita). Dari pengertian-pengertian dasar keimanan ini, maka
masalah kematian, memang merupakan bidang garapan agama yang semata-mata hanya
bisa diketahui melalui percaya dan sikap menerima berita Ilahi. Pada hakikatnya
kematian adalah “pintu” untuk memasuki kehidupan manusia selanjutnya, suatu
kehidupan yang sama sekali lain dari yang sekarang kita alami, yaitu kehidupan
ukhrawi[12].
Al-Qur’an
senantiasa memperingatkan, bahwa kematian adalah sebuah kepastian yang tidak terhindarkan,
sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Ali Imron, 3 : 185 yang berbunyi:
@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#s ÏNöqpRùQ$# 3 $yJ¯RÎ)ur cöq©ùuqè? öNà2uqã_é& tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# ( `yJsù yyÌômã Ç`tã Í$¨Y9$# @Åz÷é&ur sp¨Yyfø9$# ôs)sù y$sù 3 $tBur äo4quyÛø9$# !$u÷R$!$# wÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇÊÑÎÈ
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain
hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Mengenai
firmaan Allah: “Setiap diri akan merasai kematian dan hanya pada hari
kiamatlah pahalamu disempurnakan” artinya pada hari kiamatlah ganjaran amal
perbuatanmu dipenuhi dengan cukup. “Barang siapa yang dijauhkan” setelah
itu “dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia beruntung”
karena mencapai apa yang dicita-citakannya. “Kehidupan dunia ini tidak lain”
maksudnya hidup di dunia ini “hanyalah kesenangan yang memperdayakan semata”
artinya yang tidak sebenarnya karena dinikmati hanya sementara lalu ia
segera sirna[13].
Perlu
kita ingat, bahwa semua yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Yang
menyadarkan tentang kehidupan yang lebih kekal, yakni kehidupan akhirat. Bukan
hanya kehidupan di dunia yang sifatnya hanyalah sementara. Oleh karena itu,
kita tidak perlu takut akan kematian. Kematian bukanlah akhir, melainkan awal
dari kehidupan yang baru.
D. Kesimpulan
Al-Qur’an
menguraikan masalah kebangkitan secara panjang lebar dengan menggunakan
beberapa metode dan pendekatan. Kata "Al-Yaum Al-Akhir" saja
terulang sebanyak 24 kali, di samping kata "akhirat" yang
terulang sebanyak 115 kali. Belum lagi kata-kata padanannya. Ini menunjukkan
betapa besar perhatian Al-Quran dan betapa penting permasalahan ini.
Eskatologi
sekurang-kurangnya membahas soal-soal kebahagian dan kesengsaraan (Q.S.
Al-Baqoroh,2:120, Al-Maidah, 5:69), hari kiamat (Q.S. Al-Baqoroh, 2:48), alam
keruhanian (Q.S. Al-Isra’, 17 : 85-86),
dan masalah kematian (Q.S. Ali Imron, 3 : 185). Dan masih banyak lagi.
Q.S.
Al-Baqoroh, 2: 120 dan Al-Maidah, 5:69 mengandung pesan yang sama, yaitu bahwa
(terjemahan bebasnya): Orang Yahudi, orang Nasrani, orang Majusi, dan orang
Sabean, semuanya bisa masuk surga asalkan beriman kepada Allah, Hari Kemudian,
dan berbuat baik.
Dalam
bahasa sehari-hari, kiamat itu seolah-olah malapetaka yang besar. Padahal
kiamat itu sebenarnya artinya adalah bangkit dari kematian. Kesadaran kepada
hari akhir ini penting sekali, karena implikasinya sangat besar dalam kehidupan
sehari-hari. Hidup di dunia ini akan menuju kepada kehidupan akhirat. Itulah
hidup yang sebenarnya. Hidup di dunia ini harus kita jalani dengan
sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, karena semuanya akan berakhir dengan
pertanggungjawaban pribadi di hadapan Allah Swt.
Ruh
dari Allah adalah karunia Ilahi dan rancangan-Nya bagi manusia. Dalam alam
keruhanian, kita semua diangkat kepada cahaya pertolongan Tuhan, dan kemuliaan-Nya
mentransformasikan nilai kemanusiaan kita. Dalam konteks pembicaraan mengenai
ruh inilah, kita bisa memahami seluruh masalah kematian dalam agama.
Semua
yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Yang menyadarkan tentang kehidupan
yang lebih kekal, yakni kehidupan akhirat. Bukan hanya kehidupan di dunia yang
sifatnya hanyalah sementara.
Maka
dari itu, marilah kita bersama-sama meningkatkan taqwa kita kepada Allah SWT
untuk mempersiapkan bekal di kehidupan yang akan datang (akhirat). Di mana
tidak ada penolong selain ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Makalah ini hanyalah
tulisan yang ditulis oleh manusia biasa, apabila bermanfaat ambillah
manfaatnya. Dan apabila kurang berkenan, mohon untuk dimaafkan dan dikoreksi.
Supaya ke depannya dapat menjadi lebih baik.
Daftar Pustaka
Ad-Dimasyqi, Imam Ibnu Kasir. Tafsir Ibnu Kasir. Jilid I. terjemahan
Abdullah Bin Muhammad. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2003.
Rachman, Budi
Munawar. Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Jilid I. Jakarta: Democracy
Project. 2011.
________________.
Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Jilid II. Jakarta: Democracy Project.
2012.
Shihab, M.
Quraish. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1996.
Jalaluddin asy Syuyuti dan Jalaluddin M. Ibnu Ahmad al-Mahally. Tarsir
Jalalain. Versi 2.0. Tasikmalaya: Pesantren Persatuan Islam 91. edisi Ebook.
[1]
Budi Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholish
Madjid, Jilid I, Jakarta: Democracy Project, 2011, hlm. cxliii
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung:
Mizan, 1996, hlm.82-83
[3]
Imam Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu
Kasir, Jilid I, terjemahan Abdullah Bin Muhammad, Bogor: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, 2003, hlm.223-224
[4]
Jalaluddin asy Syuyuti dan Jalaluddin M. Ibnu
Ahmad al-Mahally, Tarsir Jalalain, Versi 2.0, Tasikmalaya: Pesantren
Persatuan Islam 91, edisi Ebook.
[5]
Budi Munawar Rachman, Ensiklopedi...Op.Cit., hlm.
cxlv-cxlvi
[6]
Budi Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholish
Madjid, Jilid II, Jakarta: Democracy Project, 2012, hlm. 815
[7]
Syafa'at: usaha perantaraan dalam memberikan
sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang
lain. syafa'at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi
orang-orang kafir.
[8]
Imam Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir...Op.Cit.,
hlm. 119-120
[9]
Budi Munawar Rachman, Ensiklopedi...Op.Cit., hlm.
cxlviii
[10]
Ibid, hlm. cl
[11]
Ibid, hlm. clii-cliii
[12]
Ibid, hlm. cliii-cliv
[13]
Jalaluddin asy Syuyuti dan Jalaluddin M. Ibnu
Ahmad al-Mahally, Tarsir...Op.Cit.,