Senin, 26 Desember 2016



A. Latar Belakang
Eskatologi Islam adalah ilmu yang mempelajari tentang kehidupan setelah mati dialam akhirat dan al-Qiyāmah "Pengadilan Terakhir". Eskatologi sangat berhubungan dengan salah satu rukun Islam, yaitu meyakini adanya hari akhir, kematian, kebangkitan (Yawm al-Qiyāmah), mahsyar, pengadilan akhir, surga, neraka, dan keputusan seluruh nasib umat manusia dan lainnya.
Tentang eskatologi ini, akan kita lihat soal-soal kebahagiaan dan kesengsaraan, hari kiamat, alam keruhanian, dan masalah kematian, yang semuanya bersifat ruhani. Inti ajaran keagamaan berada di seputar kepercayaan dan keyakinan tentang adanya wujud-wujud ruhani. Agama tak akan mungkin ada tanpa kepercayaan akan hal-hal yang immateri tadi. Karena itu, kepercayaan kepada adanya wujud ruhani merupakan titik temu yang paling besar dari agama-agama, di samping kepercayaan kepada Tuhan[1].
Semua agama mempercayai akan adanya wujud dan alam kehidupan yang lain yang lebih tinggi daripada yang ada sekarang. Semua agama mempercayai adanya pengalaman hidup keruhanian yang bahagia dan yang sengsara, di hari akhir. Tentang kepercayaan Islam mengenai hari akhir (eskatologi), akan kita lihat lebih jauh di bawah ini.

B. Eskatologi dalam Islam
Banyak redaksi yang digunakan Al-Qur’an untuk menguraikan hari akhir, misalnya yaum al-ba'ts (hari kebangkitan), yaum al-qiyamah (hari kiamat), yaum al-fashl (hari pemisah antara pelaku kebaikan dan kejahatan), dan masih banyak lainnya.
Al-Qur’an al-Karim menguraikan masalah kebangkitan secara panjang lebar dengan menggunakan beberapa metode dan pendekatan. Kata "Al-Yaum Al-Akhir" saja terulang sebanyak 24 kali, di samping kata "akhirat" yang terulang sebanyak 115 kali. Belum lagi kata-kata padanannya. Ini menunjukkan betapa besar perhatian Al-Quran dan betapa penting permasalahan ini.
Banyak juga sisi dari "hari" tersebut yang diuraikan Al-Qur’an,  dan uraian itu (yang tidak jarang berbeda informasinya, bahkan berlawanan) diletakkan dalam berbagai surat. Seakan-akan  Al-Qur’an bermaksud untuk memantapkan keyakinan tersebut dalam jiwa pemeluknya[2].

C. Ayat-Ayat tentang Eskatologi
Sebagaimana telah dipaparkan diatas, tentang eskatologi ini kita akan membahas soal-soal kebahagian dan kesengsaraan, hari kiamat, alam keruhanian, dan masalah kematian. Dimana akan diuraikan berikut ini:
1. Kebahagiaan dan Kesengsaraan
Al-Qur’an mengatakan bahwa kebahagiaan di hari akhir hanya bergantung pada tiga hal, yaitu percaya kepada Allah, percaya kepada Hari Kemudian, dan berbuat baik. Sebagaimana tertera dalam Q.S. Al-Baqoroh, 2 : 120 yang berbunyi:
`s9ur 4ÓyÌös? y7Ytã ߊqåkuŽø9$# Ÿwur 3t»|Á¨Y9$# 4Ó®Lym yìÎ6®Ks? öNåktJ¯=ÏB 3 ö@è% žcÎ) yèd «!$# uqèd 3yçlù;$# 3 ÈûÈõs9ur |M÷èt7¨?$# Nèduä!#uq÷dr& y÷èt/ Ï%©!$# x8uä!%y` z`ÏB ÉOù=Ïèø9$#   $tB y7s9 z`ÏB «!$# `ÏB <cÍ<ur Ÿwur AŽÅÁtR ÇÊËÉÈ  
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Dan Q.S. Al-Maidah, 5 : 69
¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd tbqä«Î6»¢Á9$#ur 3t»|Á¨Y9$#ur ô`tB šÆtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ Ÿxsù ì$öqyz óOÎgøŠn=tæ Ÿwur öNèd tbqçRtøts ÇÏÒÈ  
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."
Mengenai firman Allah SWT: "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu sebingga kamu mengikuti agama mereka," Ibnu Jarir mengatakan: "Yang dimaksud dengan firman-Nya itu adalah: 'Hai Muhammad saw, orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu selamanya, karena itu tidak usah lagi kau cari hal yang dapat menjadikan mereka rela dan sejalan dengan mereka. Akan tetapi arahkan perhatianmu untuk mencapai ridha Allah SWT dengan mengajak mereka kepada kebenaran yang kamu diutus dengannya.'"
Dan firman Allah SWT: "Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulak petunjuk (yang benar)."Artinya: "Katakanlah, wahai Muhammad SAW, sesungguhnya petunjuk Allah SWT yang Dia telah mengutusku dengannya adalah petunjuk yang sebenarnya, yaitu agama lurus, benar, sempurna, dan menyeluruh."
Qatadah meriwayatkan: "Telah disampaikan kepada kami bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda: 'Akan tetap ada suatu kelompok dari umatku yang terus berjuang memegang teguh kebenaran, di mana orang-orang yang menentang mereka tidak dapat memberi mudharat kepada mereka, sehingga datang perintah (keputusan) Allah SWT."' Ibnu Katsir mengatakan, hadits tersebut dikeluarkan dalam kitab Shahih, dari 'Abdullah bin 'Amr.
Firman Allah SWT: "Dan sesungguhnya jika engkau mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." Dalam ayat tersebut terdapat ancaman keras bagi umat yang mengikuti cara-cara orang-orang Yahudi dan Nasrani setelah umat ini mengetahui isi al-Qur’an dan as-Sunnah. Kita memohon perlindungan kepada Allah SWT dari hal itu. Khithab (sasaran pembicaraan) dalam ayat ini ditujukan kepada Rasulullah SAW, tetapi perintahnya ditujukan kepada ummatnya.[3]
Sedang tentang firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh,” maksudnya orang-orang mukmin, Yahudi, Shabiin (satu sekte dari Yahudi) dan Nasrani yang benar-benar beriman kepada Allah, hari akhir dan benar-benar beramal saleh mereka mendapatkan pahala dari Allah. “Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." Maksudnya tidak ada kekhawatiran dan bersedih hati dalam menghadapi hari kemudian atau hari akhir[4].
Kedua ayat itu mengandung pesan yang sama, yaitu bahwa (terjemahan bebasnya): Orang Yahudi, orang Nasrani, orang Majusi, dan orang Sabean, semuanya bisa masuk surga asalkan beriman kepada Allah, Hari Kemudian, dan berbuat baik.
Dalam perkataan akhirah, sebetulnya secara tersembunyi ada perkataan al-dar, al-dar al-akhirah, maksudnya kampung yang akhir. Kemudian lawannya adalah al-dar al-ula, yaitu dalam surat Al-Dluha, wa la al-akhiratu khayrun laka mina al-ula. Mestinya ayat tadi bunyinya al-awwal, tetapi itu tidak lazim. Asosiasinya, misalnya, dengan akbar menjadi kubra. Akhirat itu pada dasarnya adalah konsep waktu. Dan cukup menarik bahwa hari akhirat itu dalam penggambaran Al-Qur’an, menurut Cak Nur, hanya ada dalam konsep waktu, tidak ada dalam konsep ruangnya. Kalau hari pertama ada konsep ruangnya, yaitu al-dunya (dunia). Dunya itu bentuk dasar dari adna,artinya paling dekat. Jadi ruang yang terdekat, yang sekarang ini.
Kalau akhirat atau hari kemudian/akhir (eskatologi) hanya dikenal dalam konsep waktu, konsep ruangnya langsung dihubungkan dengan bahagia atau sengsara, yaitu surga dan neraka. Semua agama dengan variasi-variasi tertentu percaya kepada adanya Hari Kemudian. Dan mengapa adanya Hari Kemudian itu lalu menjadi syarat bagi kebahagiaan? Karena dengan adanya percaya kepada hari kemudian orang tidak menganggap bahwa hidup ini selesai sekarang. Kalau seandainya hidup itu selesai sekarang, maka baik dan buruk itu menjadi kurang relevan. Banyak orang jahat yang berbahagia, meskipun secara sepintas lalu. Misalnya para koruptor itu lebih senang hidupnya daripada orang-orang yang beribadah.
Kalau hidup dibatasi hanya pada waktu sekarang, maka baik dan buruk itu menjadi kurang prinsipil. Tetapi kalau orang yakin bahwa baik dan buruk akan menentukan bahagia dan sengsaranya nanti di akhirat, yang dalam Al-Qur’an dilukiskan sebagai khaalidiina fii haa (abadi di dalamnya), maka baik dan buruk menjadi sesuatu yang prinsip. Orang tidak lagi meringankan persoalan baik dan buruk, atau persoalan moral dan etika di dunia ini. Dunia pun berjalan seperti ini karena moral dan etika.[5]
2. Hari Kiamat
Salah satu ciri orang bertakwa adalah percaya kepada adanya hari akhir, yaitu hari pertanggung jawaban pribadi secara mutlak di akhirat. Di sana, tidak ada khullah(berasal dari kata khalîl) yang artinya teman. Di akhirat tidak ada pertemanan, tidak ada solidaritas. Semua orang tampil secara pribadi di hadapan Allah Swt. Dan tidak ada perantara kepada-Nya[6]. Sebagaimana tertera dalam Q.S. Al-Baqoroh, 2 : 48 yang berbunyi:
(#qà)¨?$#ur $YBöqtƒ žw ÌøgrB ë§øÿtR `tã <§øÿ¯R $\«øx© Ÿwur ã@t6ø)ム$pk÷]ÏB ×pyè»xÿx© Ÿwur äs{÷sム$pk÷]ÏB ×Aôtã Ÿwur öNèd tbrã|ÁZムÇÍÑÈ
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at[7] dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.”
Mengenai firman Allah SWT: "Dan jagalah dirimu dari (adzab) pada hari." Maksudnya adalah hari Kiamat. Pada hari di mana, "Seseorang tidak dapat membela orang lain meskipun sedikit." Artinya, tidak ada seorang pun yang dapat mencukupi orang lain, "Dan tidak diterima darinya syafa'at " Yakni dari orang-orang kafir, "Dan juga tidak diambil tebusan darinya." Artinya, Allah SWT tidak akan menerima tebusan yang mereka serahkan.
Allah SWT memberitahukan bahwa jika mereka tidak beriman kepada RasulNya dan tidak mengikuti ajaran yang dibawanya serta tidak memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepada mereka, maka pada hari Kiamat kelak kedekatan kaum kerabat dan syafa'at seorang yang terhormat (berkedudukan) tiada akan bermanfaat bagi mereka. Dan tidak akan diterima pula tebusan dari mereka meski berupa tumpukan emas sepenuh bumi ini.
"Dan tidaklah mereka akan ditolong." Artinya, tidak ada seorang pun yang marah demi (membela) mereka, lalu memberikan pertolongan dan menyelamatkan mereka dari adzab Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa kaum kerabat dan orang yang mempunyai kehormatan tidak akan merasa kasihan kepada mereka, serta tidak akan diterima tebusan darinya. Tidak ada lagi seorang penolong baik dari kalangan mereka sendiri maupun lainnya.[8]
Kesadaran kepada hari akhir ini penting sekali, karena implikasinya sangat besar dalam kehidupan sehari-hari. Hidup di dunia ini akan menuju kepada kehidupan akhirat. Itulah hidup yang sebenarnya. Hidup di dunia ini harus kita jalani dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, karena semuanya akan berakhir dengan pertanggungjawaban pribadi di hadapan Allah Swt. Semua indikasi takwa ini jelas merupakan dasar yang sangat kukuh bagi kehidupan yang benar.
Dalam bahasa sehari-hari, kiamat itu seolah-olah malapetaka yang besar. Padahal kiamat itu sebenarnya artinya adalah bangkit dari kematian. Qiyâmat, sama dengan Qâmat untuk sembahyang itu. Artinya sudah waktunya sembahyang dimulai, orang harus berdiri. Qiyâmah adalah kebangkitan orang dari kematian, jadi bersangkutan dengan hari akhirat. Biasanya, gambaran tentang kiamat ialah bahwa nanti dunia ini akan hancur, kemudian orang-orang yang mati bangkit kembali[9].
Al-Quran itu penuh dengan ilustrasi, bahwa tidak ada yang tahu kapan kiamat akan datang, kecuali Allah. Juz Al-Quran yang ke 30 dinamakan Juz ‘Amma, karena dimulai dengan pernyataan: “Tentang apa mereka bertanya-tanya? Tentang berita yang sangat besar.” Yaitu mengenai kiamat, lalu ditegaskan bahwa tidak ada yang tahu kiamat kecuali Allah. Karena itu kemudian manusia diajari untuk bersiap-siap, boleh jadi kiamat sudah dekat sekali[10].
3. Alam Keruhanian
Kata “ruh” itu, memiliki banyak ar ti, tidak hanya menunjuk kepada “wahyu”, di samping itu bisa juga berarti inspirasi, yaitu sumber pengetahuan, keinsafan, dan kebijakan yang mendalam pada manusia. Semuanya adalah jenis wujud non-empirik (antara lain, tidak dapat diulang karena tidak dapat diketahui hukum-hukum yang mengaturnya). Pada masa hidup Nabi, banyak orang mempertanyakan hakikat Al-Quran yang disebut Ruh, apakah ia sejenis syair, atau malah pendukunan? Adanya sikap bertanya-tanya dan mempertanyakan tentang Al-Quran sebagai Ruh ini, diabadikan dalam Kitab Suci Q.S. Al-Isra’,  17 : 85-86 yang berbunyi:
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ   ûÈõs9ur $oYø¤Ï© ¨ûtùydõuZs9 üÏ%©!$$Î/ !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) §NèO Ÿw ßÅgrB y7s9 ¾ÏmÎ/ $uZøŠn=tã ¸xÅ2ur ÇÑÏÈ  
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
“Dan Sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, dan dengan pelenyapan itu, kamu tidak akan mendapatkan seorang pembelapun terhadap Kami.”
Demikian juga Ruh bisa berarti malaikat. Seperti nama Jibril yang disebut-sebut dalam Al-Quran. Namun juga ada sebutan lain yang juga dimaksudkan Jibril, seperti Rûh Al-Amîn, Rûh Al-Quds (Roh Kudus). Dalam sistem keimanan Islam, disebutkan nama-nama para malaikat yang lain sehingga menggenapkan jumlah mereka menjadi sepuluh (yaitu: Jibril, Mikail, Izrail, Israfil, Munkar, Nakir, Raqib, ‘Atid, Malik, dan Ridwan).
Selain berarti Wahyu atau Jibril, Ruh dapat diartikan juga sebagai sukma. Dalam firman Allah, “Para malaikat dan Ruh naik menghadap kepada-Nya dalam sehari yang ukurannya ialah sama dengan lima puluh ribu tahun,” yang dimaksud dengan Ruh di situ adalah Malaikat Jibril. Tetapi dikaitkan dengan firman Allah yang artinya: “Dia yang telah membuat baik segala sesuatu yang diciptakan-Nya, dan telah memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian dijadikan anak turunnya dari sari air yang hina. Lalu disempurnakan bentuknya, dan ditiupkan ke dalamnya sesuatu dari Ruh-Nya, dan dibuatkan untuk kamu (wahai manusia) pendengaran, penglihatan, dan kalbu. Namun sedikit kamu bersyukur.”
Dengan demikian, ruh dari Allah adalah karunia Ilahi dan rancangan-Nya bagi manusia. Dalam alam keruhanian, kita semua diangkat kepada cahaya pertolongan Tuhan, dan kemuliaan-Nya mentransformasikan nilai kemanusiaan kita. Dalam konteks pembicaraan mengenai ruh inilah, kita bisa memahami seluruh masalah kematian dalam agama[11].
4. Masalah Kematian
Di antara sifat-sifat utama kaum ber takwa, ialah percaya dan meyakini akan adanya Hari Kemudian, yaitu hari akhirat (yaitu eskatologi, yang sudah kita lihat sedikit di atas). Dan kepercayaan ini berkaitan langsung dengan masalah kematian dan hidup sesudah kematian itu. Kematian, menurut agama, bukanlah akhir dari segala pengalaman eksistensial manusia, melainkan justru permulaan dari jenis pengalaman baru, yang lebih hakiki dan lebih abadi. Jika eksistensi manusia ini dilukiskan sebagai garis berkelanjutan, kematian hanyalah sebuah titik dalam garis itu, yang menandai perpindahan dari satu fase kepada fase yang lain.
Karena masalah kematian, dan apa yang akan terjadi setelah kematian itu sendiri adalah masalah yang tidak empiris, artinya tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman, maka masalah kematian ini menyangkut soal “iman” atau “percaya” dan “yakin” kepada “berita” (Arab: nabâ’) dari Tuhan, sebagaimana dibawa oleh para “pembawa berita”, atau mereka yang mendapat berita (Arab: nabiiy orang yang diberi berita). Dari pengertian-pengertian dasar keimanan ini, maka masalah kematian, memang merupakan bidang garapan agama yang semata-mata hanya bisa diketahui melalui percaya dan sikap menerima berita Ilahi. Pada hakikatnya kematian adalah “pintu” untuk memasuki kehidupan manusia selanjutnya, suatu kehidupan yang sama sekali lain dari yang sekarang kita alami, yaitu kehidupan ukhrawi[12].
Al-Qur’an senantiasa memperingatkan, bahwa kematian adalah sebuah kepastian yang tidak terhindarkan, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Ali Imron, 3 : 185 yang berbunyi:
@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#sŒ ÏNöqpRùQ$# 3 $yJ¯RÎ)ur šcöq©ùuqè? öNà2uqã_é& tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# ( `yJsù yyÌômã Ç`tã Í$¨Y9$# Ÿ@Åz÷Šé&ur sp¨Yyfø9$# ôs)sù y$sù 3 $tBur äo4quŠyÛø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇÊÑÎÈ  
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Mengenai firmaan Allah: “Setiap diri akan merasai kematian dan hanya pada hari kiamatlah pahalamu disempurnakan” artinya pada hari kiamatlah ganjaran amal perbuatanmu dipenuhi dengan cukup. “Barang siapa yang dijauhkan” setelah itu “dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia beruntung” karena mencapai apa yang dicita-citakannya. “Kehidupan dunia ini tidak lain” maksudnya hidup di dunia ini “hanyalah kesenangan yang memperdayakan semata” artinya yang tidak sebenarnya karena dinikmati hanya sementara lalu ia segera sirna[13].
Perlu kita ingat, bahwa semua yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Yang menyadarkan tentang kehidupan yang lebih kekal, yakni kehidupan akhirat. Bukan hanya kehidupan di dunia yang sifatnya hanyalah sementara. Oleh karena itu, kita tidak perlu takut akan kematian. Kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari kehidupan yang baru.

D. Kesimpulan
Al-Qur’an menguraikan masalah kebangkitan secara panjang lebar dengan menggunakan beberapa metode dan pendekatan. Kata "Al-Yaum Al-Akhir" saja terulang sebanyak 24 kali, di samping kata "akhirat" yang terulang sebanyak 115 kali. Belum lagi kata-kata padanannya. Ini menunjukkan betapa besar perhatian Al-Quran dan betapa penting permasalahan ini.
Eskatologi sekurang-kurangnya membahas soal-soal kebahagian dan kesengsaraan (Q.S. Al-Baqoroh,2:120, Al-Maidah, 5:69), hari kiamat (Q.S. Al-Baqoroh, 2:48), alam keruhanian (Q.S. Al-Isra’,  17 : 85-86), dan masalah kematian (Q.S. Ali Imron, 3 : 185). Dan masih banyak lagi.
Q.S. Al-Baqoroh, 2: 120 dan Al-Maidah, 5:69 mengandung pesan yang sama, yaitu bahwa (terjemahan bebasnya): Orang Yahudi, orang Nasrani, orang Majusi, dan orang Sabean, semuanya bisa masuk surga asalkan beriman kepada Allah, Hari Kemudian, dan berbuat baik.
Dalam bahasa sehari-hari, kiamat itu seolah-olah malapetaka yang besar. Padahal kiamat itu sebenarnya artinya adalah bangkit dari kematian. Kesadaran kepada hari akhir ini penting sekali, karena implikasinya sangat besar dalam kehidupan sehari-hari. Hidup di dunia ini akan menuju kepada kehidupan akhirat. Itulah hidup yang sebenarnya. Hidup di dunia ini harus kita jalani dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, karena semuanya akan berakhir dengan pertanggungjawaban pribadi di hadapan Allah Swt.
Ruh dari Allah adalah karunia Ilahi dan rancangan-Nya bagi manusia. Dalam alam keruhanian, kita semua diangkat kepada cahaya pertolongan Tuhan, dan kemuliaan-Nya mentransformasikan nilai kemanusiaan kita. Dalam konteks pembicaraan mengenai ruh inilah, kita bisa memahami seluruh masalah kematian dalam agama.
Semua yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Yang menyadarkan tentang kehidupan yang lebih kekal, yakni kehidupan akhirat. Bukan hanya kehidupan di dunia yang sifatnya hanyalah sementara.
Maka dari itu, marilah kita bersama-sama meningkatkan taqwa kita kepada Allah SWT untuk mempersiapkan bekal di kehidupan yang akan datang (akhirat). Di mana tidak ada penolong selain ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Makalah ini hanyalah tulisan yang ditulis oleh manusia biasa, apabila bermanfaat ambillah manfaatnya. Dan apabila kurang berkenan, mohon untuk dimaafkan dan dikoreksi. Supaya ke depannya dapat menjadi lebih baik.

Daftar Pustaka
Ad-Dimasyqi, Imam Ibnu Kasir. Tafsir Ibnu Kasir. Jilid I. terjemahan Abdullah Bin Muhammad. Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2003.
Rachman, Budi Munawar. Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Jilid I. Jakarta: Democracy Project. 2011.
________________. Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Jilid II. Jakarta: Democracy Project. 2012.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan. 1996.
Jalaluddin asy Syuyuti dan Jalaluddin M. Ibnu Ahmad al-Mahally. Tarsir Jalalain. Versi 2.0. Tasikmalaya: Pesantren Persatuan Islam 91. edisi Ebook.




[1] Budi Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jilid I, Jakarta: Democracy Project, 2011, hlm. cxliii
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996, hlm.82-83
[3] Imam Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Jilid I, terjemahan Abdullah Bin Muhammad, Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2003, hlm.223-224
[4] Jalaluddin asy Syuyuti dan Jalaluddin M. Ibnu Ahmad al-Mahally, Tarsir Jalalain, Versi 2.0, Tasikmalaya: Pesantren Persatuan Islam 91, edisi Ebook.
[5] Budi Munawar Rachman, Ensiklopedi...Op.Cit., hlm. cxlv-cxlvi
[6] Budi Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid, Jilid II, Jakarta: Democracy Project, 2012, hlm. 815
[7] Syafa'at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa'at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi orang-orang kafir.
[8] Imam Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir...Op.Cit., hlm. 119-120
[9] Budi Munawar Rachman, Ensiklopedi...Op.Cit., hlm. cxlviii
[10] Ibid, hlm. cl
[11] Ibid, hlm. clii-cliii
[12] Ibid, hlm. cliii-cliv
[13] Jalaluddin asy Syuyuti dan Jalaluddin M. Ibnu Ahmad al-Mahally, Tarsir...Op.Cit.,