A. Latar Belakang
Pada masa Rasulullah Saw., tafsir al-Qur’ân ini berupa pemberian
penjelasan kepada sahabat-sahabat
beliau, tentang kandungan al-Qur’ân, khususnya tentang ayat-ayat yang
tidak dipahami atau samar artinya.
Redaksi ayat al-Qur’ân, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan
atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh
pemilik redaksi tersebut, yaitu Allah Swt. Hal ini kemudian menimbulkan
keanekaragaman tafsir. Dalam al-Qur’ân para sahabat Nabi sekalipun yang secara
umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara
alamiah struktur bahasa serta arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat,
atau bahkan keliru dalam pemahaman.[1]
Salah satu hal
terpenting ketika menelaah
sebuah arus pemikiran
yang berkembang dalam Islam
adalah bagaimana mengkaji
dan memahami kerangka metodologi yang
digunakan. Hal ini
dikatakan penting tidak
lain karena kalau diibaratkan bahwa
sebuah arus pemikiran
sebagai sebuah produk
dari pabrikan, maka konstruksi
metodologi mencoba untuk
memahami bagaimana sebuah produk itu muncul, bagaimana sebuah
produk itu dihasilkan, bagaimana langkah-langkah yang
dipakai. Demikian halnya
dengan apa yang
akan dibahas dalam tulisan ini. Kami akan mencoba untuk
mengkaji bagaimana sebuah arus pemikiran
teologi feminisme itu
diproduksi dan dihasilkan
dalam ranah pemikiran
Islam modern.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang salah satu tokoh yang
menawarkan sebuah metodologi memahami tentang feminisme yang ada dalam
al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
a.
Siapakah Riffet
Hasan sebenarnya ?
b.
Bagaimana
pendapatnya tentang feminisme ?
c.
Metode apa yang
beliau tawarkan ?
C. Riwayat Hidup Riffet Hasan
Ia dilahirkan di Lahore Pakistan dengan
kenangan masa kecil yang tanpa keceriaan. Tujuh belas tahun perjalanan hidupnya
digambarkan sebagai penuh kegelapan dan tiada keindahan. Apa yang diingat
dengan jelas dari kenangan masa kecil adalah betapa sepi dirasakannya sebuah
rumah yang dihuni banyak orang dan betapa ketidakbahagiaan, ketakutan dan
kebingungan selalu melingkupinya hampir sepanjang waktu (Riffat Hasan, 1996).
Riffat Hasan bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan terlahir
dari keluarga Sayyid (Keturunan Nabi Muhammad SAW) kelas atas.
Ayahnya menganut pandangan dan cara hidup
yang sangat tradisional terutama keyakinannya mengenai peranan seks dan bahwa
yang terbaik bagi gadis-gadis adalah kawin pada usia enam belas tahun dengan
seseorang yang telah dipilih orang tua. Meskipun ayahnya benar-benar seorang
yang baik dan suka membantu menyelesaikan masalah orang lain. Sementara ibunya
bersikap tak mau kompromi dengan kebudayaan Islam tradisional khususnya kultur
yang meneguhkan inferioritas dan ketundukan perempuan kepada laki-laki.
Penolakan ibunya terhadap cita-cita dan praktik budaya patriarkhi serta
komitmennya untuk membebaskan anak perempuannya dari chardewari (empat
dinding) rumah tangga yang terpusat dan didominasi laki-laki menempatkannya ke
dalam kategori feminis radikal.
Kesan Riffat Hasan terhadap ibunya adalah
sebagai figur penyelamat yang selalu melindunginya. Sedangkan ayahnya yang
dikagumi dan dicintai banyak orang adalah figur yang menakutkan, mewakili
moralitas adat dalam sebuah masyarakat yang menuntut anak perempuan dibedakan
sejak saat dilahirkan. Tiga hal yang memungkinkan ia lepas dari kesulitan hidup
adalah keyakinannya akan Tuhan yang adil dan penyayang, seni menulis puisi, dan
kecintaannya yang dalam kepada buku. Ia lalui masa kecilnya dengan tiga hal
tersebut, hingga akhirnya ia bisa meraih prestasi-prestasi akademik yang
membanggakan. Di usia kesebelas kesadaran Riffat Hasan akan perjuangan sebagai
seorang feminis bermula, hal itu terutama karena peristiwa pernikahan kakak
perempuannya yang berusia enam belas tahun dengan lelaki kaya tapi
berpendidikan rendah. Kakaknya telah berusaha menolak namun tetap saja tak
kuasa menghadapi adat yang telah ada, di mana penolakan perempuan untuk tunduk
pada otoritas patriarkhi sama dengan bid’ah. Dari peristiwa inilah ia
menyadarkan dirinya untuk belajar berperang, mempertahankan hidup dari tekanan
dominasi laki-laki. Jiwa pemberontaknya mulai bergolak dan itu semua berpuncak
tatkala Riffet Hasan di usia ketujuh belas berkeinginan melanjutkan kuliahnya
di St. Mary’s College, Universitas Durham Inggris. Ia meraih
gelar doktor filsafatnya pada usia dua puluh empat tahun dengan spesialisasi
Filsafat Muhammad Iqbal.[2]
Karir intelektual Riffat mulai menampakkan
kemantapannya sejak ia menetap di Amerika Serikat pada tahun 1976. Di negara
ini, ia menduduki jabatan sebagai Ketua
Jurusan Religious Study Program di University of Lousville,
Kentucky. Selain itu,
ia juga menjadi
dosen tamu di Harvard Divinity
School. Pada saat menjadi dosen
tamu inilah ia
berhasil menyelesaikan karyanya Equal Before Allah yang
didasarkan pada risetnya selama setahun (1986-1987). Ia juga menjabat sebagai
penasehat guru besar Perhimpunan Mahasiswa Muslim di University Oklahoma, Stillwater.[3]
Setelah itu ia kembali ke tanah
kelahirannya Pakistan hingga ia kemudian menikah dengan lelaki bernama Dawar.
Namun karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya menjadikan ia tampak lebih
menonjol dibanding suaminya, dan hidup di masyarakat yang menilai laki-laki
harus lebih dari perempuan membuat pernikahannya tidak berusia lama. Setelah
gagal untuk yang pertama kali, Riffat Hasan pun menikah lagi dengan Mahmoud,
seorang Muslim Arab Mesir, yang berusia tiga puluh tahun di atasnya. Mahmoud
terbiasa memerintah untuk melakukan apa saja yang diinginkan atas nama Tuhan
dan Riffat dianggap tidak punya hak untuk menolak, karena dalam kultur Islam
menolak untuk melakukan apa yang menyenangkan hati suami sama dengan menolak
melakukan apa yang disenangi Tuhan. Perkawinan kedua ini berlangsung singkat,
tetapi melelahkan Riffat Hasan secara fisik dan mental karena berada di tangan
seorang laki-laki yang tidak saja unggul secara berlebih-lebihan, tapi juga
seorang fanatik yang bisa meminta atas nama Tuhan untuk melakukan
tindakan-tindakan kejam dan sangat tidak berperasaan terhadap manusia yang
lain. Pengalaman hidup yang demikian itulah yang membuatnya menjadi feminis
dengan ketetapan hati untuk mengembangkan teologi dalam kerangka tradisi Islam,
sehingga mereka yang disebut laki-laki Tuhan tidak bisa mengeksploitasi
perempuan muslim atas nama Tuhan.[4]
D. Pemikiran Riffet Hasan (Hak yang Dimiliki
Perempuan)
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa
masih ada sebagian umat Islam yang berlaku zalim dengan melarang perempuan
menikmati haknya dalam memperdalam pengetahuan agama, berperan dalam dunia
kerja, dan pergi ke mesjid-mesjid untuk beribadah atau belajar, padahal itu
semua diperbolehkan oleh ajaran Islam. Di samping itu, perempuan juga memiliki
hak. Diantara hak-hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan Islam
adalah sebagai berikut :
1. Hak-hak perempuan dalam bidang politik
Didalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang
dapat dijadikan dalil bahwa perempuan memiliki peluang yang sama dengan
laki-laki untuk berperan dalam wilayah politik. Salah satu ayat yang sering
kali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik
kaum perempuan adalah dalam QS.At-Taubah : 71.
2. Hak-hak perempuan dalam memilih
pekerjaan
Perempuan dalam pandangan Islam mempunyai
hak untuk bekerja disegala bidang pekerjaan yang legal, sebagaimana laki-laki
juga mempunyai hak bekerja disegala bidang pekerjaan yang legal. Pekerjaan dan
aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam,
sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan, bahu membahu
dengan kaum lelaki. Disamping itu para perempuan pada masa Nabi aktif dalam berbagai
bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, ada juga yang
menjadi perawat atau bidan, dll.
3. Hak dan kewajiban belajar
Islam memandang setiap manusia, baik
laki-laki maupun perempuan bertanggung jawab terhadap nilai keimanannya kepada
Allah pada hari kemudian. Apabila dalam masalah akidah, tidak diperkenankan
adanya taklid buta. Karena pencapaian nilai keimanan membutuhkan proses
pemikiran dan perolehan ilmu untuk memperluas cakrawala pemikiran dan
pengetahuan, maka wanita sebagaimana pria memerlukan pengembangan potensi
rasionalitasnya dengan ilmu.
E. Refleksi Pemikiran Riffet Hasan
Pemikiran seseorang tidak bisa dilepaskan
dari eksistensi kehidupannya, semua manusia akan menangkap realitas berdasarkan
perspektif dirinya, latar belakang sosial dan psikologi individu yang
mengetahui tidak bias dilepaskan dalam proses berpikir yang kemudian
melahirkan formulasi-formulasi ide. Hal ini terkait dengan hal-hal sebagai
berikut[5]:
1. Problem Perempuan dalam Islam
Perbicangan tentang problem perempuan dalam
Islam merupakan suatu kesenjangan antara teoritis dan praksis, karena antara
cita ideal dan realitas empiris menjadi fenomena dominan dalam kehidupan
perempuan.
Bentuk-bentuk pemasungan terhadap perempuan
masih menjadi bagian dari tradisi masyarakat Islam. Misalnya negara Pakistan
(salah satu) Negara Islam yang memperlakukan perempuan secara sewenang-wenang.
Program islamisasi yang dicanangkan pemerintah dimulai dengan upaya domestikasi
perempuan, dengan cara memaksa perempuan masuk kembali ke rumah, menutup
seluruh tubuh mereka dan mengekang mereka dengan peraturan-peraturan yang
memberatkan.
Perlakuan yang demikian menurut Riffat
menunjukkan kebencian terhadap perempuan. Bahkan seakan-akan pemerintah tidak
memiliki kemampuan untuk memulai islamisasi. Sebab dibutuhkan waktu lama untuk merumuskan
konsep-konsep politik, negara atau ekonomi Islam secara solid, sehingga
jilbabisasi perempuan merupakan cara yang termudah untuk membedakan diri dari
negara-negara non-islam. Karena menurut Riffat, perintah berjilbab adalah agar
perempuan menjaga kesopanan.
Hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan
yang benar untuk melakukan domestikasi perempuan dan mengeluarkannya dari
keterlibatan di sector publik. Dalam hal tersebut perlu adanya
dekonstruksi secara holistik dan sistematis untuk mengurai lebih jauh tentang
sebab perilaku tidak adil dan penindasan terhadap perempuan. Karena sistem
patriarki dalam sejarah manusia sangat dominan, maka pembongkaran konsep dan
implementasinya dapat dilakukan melalui berbagai dimensi yaitu sosiologis
kultural, psikologis, antropologis dan teologis. Dalam konteks ini Riffat Hasan
yang mengaku pemikirannya sangat dipengatruhi tokoh neo-modernis (Fazlur
Rahman) mencoba mencermati melalui dimensi teologis.
2. Dekonstruksi tradisi islam
Tradisi Islam yang perlu penataan ulang
bahkan pembongkaran pemahaman adalah didasarkan pada asumsi bahwa konstruksi
teologi yang misoginis yang disebabkan pengaruh budaya Arab pra Islam yang
misoginis dan bias anti perempuan yang diserap Islam dari tradisi agama Kristen
dan Yahudi. Beberapa hal yang terkait dengan pembahasan teologi feminis dalam tradisi
Islam perlu dipaparkan bahasan yang sistematis.
3. Feminisme
Feminisme berasal dari kata latin femina yang
berarti memiliki sifat keperempuanan. Diawali oleh persepsi tentang ketimpangan
posisi perempuan dibandingkan laki-laki di masyarakat. Akibat persepsi ini,
timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk
mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki
dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia. Operasionalisasi
upaya pembebasan kaum perempuan dari berbagai ketimpangan perlakuan dalam
segala aspek kehidupan disebut gerakan feminis. Sebagai suatu
gerakan, titik tolak pembahasan feminism harus mengacu pada definisi operasional
bukan dari definisi ideologis. Sehingga feminisme dilihat sebagai suatu seruan
beraksi atau suatu gerakan dan bukan sebagai fanatisme keyakinan.[6] Feminisme
sebagai suatu gerakan, memiliki dimensi sejarah panjang, dimulai pada abad
ke-14 disebutkan ada lima dasar preposisi feminisme pada abad ke-14 sampai abad
ke-18 yaitu :
a. Timbulnya kesadaran beroposisi terhadap
fitnah dan kekeliruan perlakuan terhadap perempuan dalam bentuk oposisi dialektis
terhadap praktik misogyny (kekejaman kaum pria terhadap kaum
perempuan)
b. Adanya suatu keyakinan bahwa jenis kelamin
bersifat kultural dan bukanbersifat biologis
c. Adanya suatu keyakinan bahwa kelompok
sosial perempuan merupakan penajaman pendapat kelompok sosial laki-laki tentang
ketidak sempurnaan jenis kelamin tertentu sebagai makhluk manusia
d. Adanya suatu warisan sudut pandang dalam
menerima sistem nilai yang berlaku dengan cara mengekspos dan menentang
prasangka serta pembatasan perbedaan jenis kelamin berdasarkan perspektif
kultur
e. Adanya keinginan untuk menerima konsep
manusia dan perikemanusiaan. Semua preposisi tersebut dimaksudkan untuk memberi
kemungkinan menjadi yang terbaik untuk setiap anak manusia
(termasuk perempuan) karena adanya potensi diri yang memungkinkan hal tersebut
dapat terjadi.
Oleh karena itu makna feminis di sini
adalah mencai peluang kebebasan perempuan untuk perempuan. Dengan
demikian gerakan feminis pada saat pertama kali dimulai tidak ada hubungannya
dengan bias perlakuan terhadap laki-laki karena perempuan hanya ingin memperhatikan
dirinya sendiri dengan lebih baik. Feminisme sebagai suatu gerakan, menurut
Aida memiliki tujuan sebagai berikut :
a. Mencari cara penataan ulang mengenai
nilai-nilai di dunia dengan mengikuti kesamaan gender (jenis kelamin) dalam
konteks hubungan kemitraan universal dengan sesama manusia
b. Menolak setiap perbedaan antar manusia yang
dibuat atas dasar perbedaan jenis kelamin
c. Menghapuskan semua hak istimewa ataupun
pembatasan-pembatasan tertentu atas dasar jenis kelamin
d. Berjuang untuk membentuk pengakuan
kemanusiaan yang menyeluruh tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum
dan peraturan tentang manusia dan kemanusiaan.
4. Tranformasi sosial islam
Untuk memahami interpretasi terhadap ajaran
agama sangat dipengaruhi oleh background penafsirnya, artinya tafsir agama erat
kaitannya dengan aspek ekonomi, politik, kultural dan juga ideologi. Dari
sinilah diperlukan kajian kritis guna mengakhiri bias dan dominasi dalam
penafsiran agama. Suatu proses kolektif yang mengkombinasikan studi,
investigasi, analisissosial, pendidikan serta aksi untuk membahas isu perempuan.
Perubahan kacamata pandang yang digunakan
dalam penafsiran masalah-masalah sosial Islam diharapkan dapat memberikan
semangat dan kesempatan perlawanan kepada kaum perempuan guna mengembangkan
tafsiran ajaran agama yang tidak bias laki-laki. Usaha ini dimaksudkan untuk
menciptakan perimbangan dan perubahan radikal dengan menempatkan perempuan
sebagai pusat perubahan. Proses ini termasuk menciptakan kemungkinan bagi kaum
perempuan untuk membuat, mengontrol dan menggunakan pengetahuannya sendiri.
Usaha seperti yang tersebut di atas itulah yang memungkinkan tumbuhnya
kesadaran kritis menuju transformasi kaum perempuan. Gerakan transformasi ini
mempercepat transformasi social secara luas dan menyeluruh.
F. Metodologi Riffat Hasan
Sebelum membahas metodologis
teologi feminisme Riffat Hassan, ada baiknya terlebih dahulu dijelaskan bagaimana pendekatan (approach)
yang digunakan Riffat dalam
konstruksi pemikirannya. Sebagaimana
dijelaskan dalam salah satu
artikel yang dimuat
jurnal Ulumul Qur’an, Feminisme
dan al-Qur’an -- artikel ini merupakan hasil wawancara Wardah Hafidz dengan
Riffat Hassan -- dalam membangun pemikiran teologi feminismenya, Riffat menggunakan pendekatan dua level yaitu:
Pertama, pendekatan ideal-normatif. Pendekatan ini ditempuh untuk
melihat bagaimana al-Qur’an menggariskan
prinsip-prinsip ideal-normatif tentang
perempuan. Seperti bagaimana seharusnya perempuan itu menurut al-Qur’an,
tingkah lakunya, relasinya dengan
Tuhannya, orang lain maupun dirinya sendiri.
Kedua, pendekatan empiris. Pendekatan ini dilakukan dalam rangka
untuk melihat secara empirik realitas sosiologis yang terjadi dan dialami
perempuan. Misalnya, bagaimana perempuan memandang dirinya dan bagaimana orang
lain memandang perempuan dalam
masyarakat Islam.[7]
Dua pendekatan ini
dalam realitasnya merupakan intertwine. Dalam pengertian bahwa di antara kedua pendekatan tersebut
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ia adalah satu kesatuan. Melalui
dua pendekatan ini, Riffat berupaya mendapatkan realitas empirik sekaligus
gambaran idealis-normatif sehingga memungkinkannya untuk mengadakan evaluasi,
penilaian dan kritik
terhadap realitas yang dialami kaumnya. Berdasarkan pendekatan ini
Riffat mampu membaca adanya kesenjangan
antara idealitas-normatif dan realitas
empiris yang dialami
kaum perempuan.
Hal inilah yang
kemudian mendorongnya untuk
melakukan pelacakan dan sekaligus pengkajian secara mendalam terhadap
teks-teks keagamaan yang telah
membentuk sedimen dalam
realitas sosio-historis
masyarakat Muslim. Selain pendekatan di atas, Riffat juga menggunakan
pendekatan historis di dalam membangun pemikiran teologi feminismenya. Hal ini
adalah sesuatu yang secara niscaya mesti dilakukan dalam rangka
untuk mencermati secara
kritis realitas Islam yang telah berdiri kokoh dalam
bangunan sejarah. Sebagaimana dijelaskan oleh Charles J. Adams
dalam Islamic Religious Tradition bahwa untuk dapat memberikan
pemaknaan yang benar
terhadap Islam, pendekatan
historis adalah sebuah keniscayaan.
Hal ini tidak
lain karena Islam
sebagai sebuah visi hidup dalam realitasnya tidak sepi dari
dialektikanya dengan realitas sejarah yang selalu berubah dan berkembang.[8]
Melalui pendekatan yang dipilihnya ini memungkinkan Riffat untuk
secara leluasa melakukan
pengkajian-pengkajian berkenaan dengan teks-teks yang terhampar dalam realitas
empiris sosiologis maupun yang
telah terekam dalam sejarah
peradaban manusia melalui warisan tertulisnya. Pendekatan ini
kemudian dikombinasikan dengan
serangkaian kerangka metodologi.
Dalam hal ini ia memang tidak secara eksplisit-holistik menjelaskan kerangka
metodologi yang gunakan. Namun demikian,
berdasarkan sebaran pemikiran yang
dikedepankannya, kita setidaknya
bisa melacak dan membuat
konstruksi berkenaan dengan
hal tersebut. Berikut
akan dijelaskan konstruksi
metodologi teologi feminisme Riffat Hassan.
Pertama, metode
dekonstruksi. Metode ini
digunakan Riffat sebagai sebuah keniscayaan
tidak lain karena
hakekat dicetuskannya ide
tentang teologi feminisme tidak
lain adalah untuk membongkar dan melakukan kritik konstruktif terhadap berbagai
konsep keagamaan yang bias patriakhi. Menurut Riffat, adanya diskriminasi dan
segala bentuk ketidakadilan
yang menimpa kaum
perempuan dalam lingkungan umat
Islam bersumber dari
adanya pemahaman yang
bias dimana orientasi
patriarkhi sangat kental
mewarnai wajah-wajah pemahaman
alQur’an. Al-Qur’an adalah sumber
utama dan paling otoritatif dalam tradisi Islam. “Of all
the sources of
Islamic tradition, undoubtedly,
the most important
is the Qur’an which
is regarded by
Muslims in general,
as primary and
most authoritative sources of
normative Islam” demikian
Riffat Hasan menjelaskan.[9]
Kedua, metode
hermeneutik. Salah satu upaya
signifikan yang mesti dilakukan berkaitan
dengan adanya realitas ketidak adilan terhadap perempuan adalah dengan
melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks al-Qur’an yang selama ini dijadikan
instrumen legitimasi bagi tindakan-tindakan diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam konteks ini metode hermeneutik menjadi sebuah keniscayaan. Hermeneutik, sebagaimana
asal katanya ‘hermeneutikos’ yang
berarti ‘upaya menjelaskan dan menelusuri’ adalah sebuah upaya menghadirkan,
membaca, dan memaknai kembali
sebuah teks masa lalu sehingga
sesuai dengan realitas kekinian. Carl Braaten dalam “History
and Hermeneutics” secara lebih
detail menjelaskan bahwa hermeneutik adalah “sebuah ilmu yang
mencoba menggambarkan
bagaimana sebuah kata
atau suatu kejadian
dalam waktu dan budaya lampau dapat dimengerti dan
menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang”.[10]
Hermeneutik, dengan demikian,
dapat kita fahami
akan senantiasa melibatkan tiga hal mendasar yaitu teks, konteks dan
kontekstualisasi. Melalui metode hermeneutik ini Riffat melakukan pengkajian
kembali terhadap teks-teks al-Qur’an dalam relasinya dengan teologi feminisme
yang dikonstruksinya.
Dalam kinerja hermeneutiknya, sebagaimana dijelaskan dalam Women’s
Interpretation of Islam, Riffat menggunakan tiga prinsip utama dalam
interpretasi, yaitu: Pertama, akurasi
linguistik. Prinsip ini
pada dasarnya berupaya
untuk mendapatkan makna sebuah
terma atau konsep
secara tepat dengan
melihat dan merujuk kepada semua
leksikon klasik dan lain-lain apa yang
dimaksud dengan kata itu dalam
kebudayaan di mana ia dipergunakan. Kedua,
kriteria konsistensi filosofis (criterion of philosophical consistency).
Prinsip ini adalah untuk melihat bagaimana berbagai penggunaan kata-kata (dalam
al-Qur’an) itu secara filosofis
konsisten dan tidak bertentangan.
Ketiga, kriteria etis (ethical
criterion). Prinsip ini digunakan sebagai acuan dan bingkai (frame)
utama dalam melakukan kritik, evaluasi dan sekaligus langkah progresif dalam
membaca al-Qur’an. “Apabila Tuhan
adil, keadilan itu
haruslah terefleksikan di dalam
al-Qur’an. Tuhan tidak dapat melakukan ketidakadilan. Apabila tampak
ketidakadilan di dalam al-Qur’an,
meskipun dari sudut pandang manusia, penafsir haruslah berupaya
mendapatkan sebuah interpretasi yang lebih adil dan pantas tentangnya”.[11]
G. Kesimpulan
Riffat Hasan dilahirkan di Lahore Pakistan dengan kenangan masa kecil yang tanpa
keceriaan. Ia bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan terlahir
dari keluarga Sayyid (Keturunan Nabi Muhammad SAW) kelas atas. Diusia ketujuh
belas ia berkeinginan melanjutkan kuliahnya di St. Mary’s
College, Universitas Durham Inggris. Ia meraih gelar doktor
filsafatnya pada usia dua puluh empat tahun dengan spesialisasi Filsafat
Muhammad Iqbal.
Menurutnya, perempuan juga mempunyai hak.
Diantaranya adalah hak dalam politik, hak dalam memilih pekerjaan, serta hak
dan kewajiban belajar. Refleksi pemikirannya terkait hal-hal tentang problem
perempuan dalam islam, dekontruksi tradisi islam, feminisme, dan transformasi
sosial islam.
Dalam membangun pemikiran teologi feminismenya, Riffat
menggunakan pendekatan dua level yaitu: pendekatan ideal-normatif dan
pendekatan empiris. Melalui pendekatan-pendekatan terseut, ia merumuskan
metodologinya. Metode dekonstruksi dan metode hermeneutik.
Aplikasi metodologis ini
dapat dengan jelas
kita lihat misalnya ketika Riffat
menjelaskan dan melakukan reinterpretasi kata adam. Reinterpretasi ini
menjadi keniscayaan dalam konteks teologi feminismenya tidak lain karena
sebagaimana diketahui bahwa terdapat
asumsi teologis mendasar yang menjadikan
perasaan superioritas
laki-laki atas perempuan,
dari sisi penciptaan,
adam adalah sosok mahluk
pertama maskulin dan
berasal dari padanya
penciptaan Hawwa berasal.
Riffat pun mempertanyakan, benarkah
adam sebagai mahluk
yang pertama kali diciptakan tersebut
sosok laki-laki sebagaimana
yang menjadi maistream pemikiran umat
Islam selama ini?
Dalam upaya pembacaan
ulang tersebut, Riffat melakukan
pelacakan terminologis untuk
mendapatkan maknanya yang akurat.
Kata adam adalah istilah
Ibrani berasal dari
kata adamah yang artinya tanah. Kata
yang muncul di
dalam al-Qur‟an sebanyak
dua puluh lima
kali ini dalam relasinya dengan
fenomena penciptaan manusia hanya muncul sekali, Surat Ali Imran, 3: 59 dan itu
pun hanya berbicara dalam konteks bahwa
adam adalah sosok mahluk
yang diciptakan dari
tanah dan sama sekali tidak menjelaskan secara eksplisit
tentang jenis kelaminnya.[12]
Pemaknaan bahwa adam
berjenis kelamin maskulin, menurut Riffat, tidak lain berasal dari
“analisis” linguistik yang selama
ini dilakukan oleh
para interpretator. Secara linguistik
kata benda itu memang maskulin namun bukan menyangkut
jenis kelamin, bahkan berdasarkan pemahaman
terhadap ayat-ayat lainnya
seperti surat al-A’raf,
7: 26, 27,
31, 35, 172; dan al-Isra’, 17:
70, istilah “adam” berfungsi sebagai kata benda kolektif dan mengacu kepada
seluruh manusia.[13]
Berdasarkan analisis tersebut sebuah kesimpulan meyakinkan yang
dapat ditarik, adalah tidak bisa langsung diartikan bahwa adam itu laki-laki. “Al-Qur’an
tidak pernah menyatakan bahwa adam
adalah manusia pertama
dan tidak pula menyatakan bahwa
ia laki-laki”, demikian kata Riffat.
Hal ini berarti
bahwa pemahaman secara kontekstual
terhadap term adam
dan zauj sebagaimana
yang terdapat dalam surat al-Baqarah, 2: 35, al-A’raf, 7: 19 dan Taha,
20: 117 menjadi sebuah kemestian. Kata zauj yang
biasa ditafsirkan sebagai
“Hawwa”, bagi Riffat,
menjadi tidak relevan
lagi.[14]
Hal ini tidak
lain karena kalau
term adam tidak lagi
dimaknai sebagai sosok manusia maskulin, maka berarti kata zauj
tidak dapat dimaknai sebagai
‘Hawwa’ yang feminim. Itulah sebabnya
Riffat memaknainya secara kontekstual sebagai sesuatu yang menunjukkan terhadap
pengalaman hidup manusia
secara kolektif, laki-laki
dan perempuan secara bersama-sama. Melalui pembacaan ulang
sebagaimana di atas, secara jelas
Riffat telah melakukan kontekstualisasi terhadap teks al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
al-Idlibi,
Salahuddin. Manhaj Naqd al-Matn ‘Ind ‘Ulama’ al-Hadis al-Nabawi. Beirut:
Dar al-Afaq al-Jadidah. 1983.
al-Zahabî, M. Husain. al-Tafsîr
wa al-Mufassirûn. Jilid I. Mesir: Dâr al-Kutûb al-Haditsah. 1961.
Braaten, Carl. History and Hermeneutics. Philadelphia:
Forterrs. 1966.
Charles J.
Adams. Islamic Religious Tradition. dalam Leonard Binder (ed.), The Study of the Middle East. Canada:
John Wiley & Sons, Inc.. 1976.
Fatima Mernisi
dan Riffat Hassan. Setara di Hadapan Allah. (terj.) Tim LSPPA.
Yogyakarta: LSPPA. 2000.
Hassan, Riffat. Are
Human Right Compatible
with Islam? The
Issue of the
Right of Women in Muslim
Communities, dalam Jurnal Profetika. Vol 3. No. 1. 2001.
Hassan, Riffat.
Women’s Interprretation of
Islam. dalam Hans
Thijsen (ed.). Women and Islam in Muslim Society. The
Hague: Ministry of Foreign Affairs. 1994.
http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/articel/viewfile/15/12, diakses 26 Oktober 2014, pkl 22:29
http//pemikiran-riffat-hasan/index.php/articel/17/12,
diakses 26 Oktober 2014, pkl 22:31
Rachman, Budi Munawar.
Ensiklopedi Nur Cholis Madjid. jilid I. Jakarta: Demokrasi Project. 2011.
Taufik Abdullah
dan M. Rusli Karim. Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Tiara Wacana. 1989.
[1]
Muhammad Husain al-Zahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I, Mesir:
Dâr al-Kutûb al-Haditsah, 1961, h. 59
[2]
Fatima Mernisi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, (terj.) Tim
LSPPA, Yogyakarta: LSPPA, 2000. h.25
[3]
Ibid,
[4]
http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/articel/viewfile/15/12,
diakses 26 Oktober 2014, pkl 22:29
[5]
http//pemikiran-riffat-hasan/index.php/articel/17/12,
diakses 26 Oktober 2014, pkl 22:31
[6]
Budi Munawar Rachman, Ensiklopedi Nur Cholis Madjid, jilid I, Jakarta:
Demokrasi Project, 2011, h.699
[7]
Taufik Abdullah dan
M. Rusli Karim, Metodologi
Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h.87
[8]
Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, dalam Leonard Binder
(ed.), The Study of the Middle East,
(Canada: John Wiley & Sons, Inc., 1976), h.31
[9]
Riffat Hassan, Are
Human Right Compatible
with Islam? The
Issue of the
Right of Women in Muslim
Communities, dalam Jurnal Profetika, Vol 3, No. 1, Jauarri 2001, h.26
[10]
Carl Braaten, History and Hermeneutics, (Philadelphia: Forterrs, 1966, h.131
[11]
Riffat Hassan, Women’s
Interprretation of Islam,
dalam Hans Thijsen
(ed.), Women and Islam in
Muslim Society, (The Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994), h.116
[12]
Ayat tersebut menyatakan, “Sesungguhnya (penciptaan) Isa di sisi Allah
adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian
Allah berfirman kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah dia”.(Q.S. Ali Imran, 3:
59.
[13]
Fatima Mernisi dan Riffat Hassan, Op.Cit., h.58
[14]
Ibid, h.59-60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar