Minggu, 05 Juni 2016

Azimah wa Rukhsoh



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu fiqh yang merupakan panduan ubudiah para mukallaf. Selalu berhadapan dengan kondisi dimana seorang mukallaf berada dan situasi yang dihadapinya, dimana kondisi dan situasi tersebut dapat mempengaruhi kemampuannya dalam melaksanakan hal-hal yang menjadi kewajibannya terutama dalam hal ubudiah.
Ilmu fiqh merupakan hasil dari pemikiran para ulama tentang pedoman pelaksanaan ubudiyah para mukallaf yang diatur berdasarkan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang baku yang kita kenal dengan istilah istimbath hukum. Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan mereka,  istimbath hukum tersebut dilakukan berdasarkan aturan tertentu yang disebut dengan ushul fiqh.
Mengenai situasi dan kondisi para mukallaf yang mendapatkan hambatan dalam melaksanakan kewajiban ubudiyahnya, baik hambatan itu berasal dari dirinya maupun luar dirinya, ushul fiqh mengatur konsep ketetapan dan keringanan yang dikenal dengan istilah Azimah dan rukhsoh. Makalah ini berusaha memaparkan secara singkat tentang azimah dan rukhsoh tersebut, serta tata laksananya menurut para ulama ushul.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa pangertian azimah dan rukhsoh ?
2.      Bagaimana hukum menggunakan azimah dan rukhsoh ?
3.      Apa saja contoh-contoh tentang azimah dan rukhsoh ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Azimah dan Rukhsoh
1. Azimah
Secara etimologi, azimah berarti tekad yang kuat. Pengertian seperti ini dijumpai dalam surat Ali-Imran, 3 : 159 ;
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $ˆàsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ͐öDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# 
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.[1]
Secara terminology, para ulama ushul fikh merumuskan nya dengan :
ما شرع من الاحكم الكلية ابتداء
“Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum.”
Kata-kata “ditetapkan pertama kali” mengandung arti bahwa pada mulanya pembuat hukum bermaksud untuk menetapkan hukum taklifi kepada hamba. Hukum ini tidak didahului oleh hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang mendahuluinya, hukum yang terdahulu itu tentu dinasakh dengan hukum yang datang belakangan. Dengan demikian hukum azimah ini berlaku sebagai hukum pemula dan sebagai pengantar kemashlahatan yang bersifat umum.
Kata-kata “hukum-hukum kulliyah (umum)” disini mengandung arti berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ditentukan untuk sebagian mukallaf atau untuk sebagian waktu tertentu. Umpamanya shalat yang diwajibkan kepada semua mukallaf dalam semua situasi dan kondisi. Begitu pula kewajiban zakat, puasa, haji dan kewajiban lainnya.[2]
Menurut jumhur ulama, yang termasuk azimah, adalah kelima hukum taklif (Wajib, sunah, haram, makruh dan mubah), karena kelima hukum ini disyari’atkan bagi umat islam sejak semula. Akan tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwa yang termasuk azimah itu hanya hukum wajib, sunah, makruh dan mubah. Ada juga ulama ushul fikh yang membatasinya dengan hukum wajib dan sunah saja, serta ada pula yang membatasi dengan wajib dan haram saja. Dengan demikian azimah adalah hukum yang sudah disyari’atkan oleh Allah kepada hambanya sejak semula.[3]

2. Rukhsoh
Secara etimologi , rukhshoh berarti kemudahan, kelapangan dan kemurahan. Secara terminologis, menurut ulama ushul fiqh adalah :
الحكم ثابت على خلاف الدليل العذر
 “Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil karena adanya uzur.”
Kata-kata “hukum” merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum. Kata-kata tsabit (berlaku tetap) mengandung arti bahwa  rukhsah itu berdasarkan dalil yang ditetapkan pembuat hukum yang menyalahi dalil yan ditetapkan sebelumnya. Kata-kata “menyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam definisi yang mengeluarkan dari lingkup  pengertian rukhsah, suatu yang memang pada dasarnya sudah boleh melakukannya seperti makan dan minum. Kebolehan dalam makan dan minum memang sudah dari dulunya dan tidak menyalahi hukum yang sudah ada. Kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil hukum, dinyatakan dalam defenisi ini agar mencakup rukhsah untuk melakukan perbuatan yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib, seperti berbuka puasa bagi orang yang musafir, atau yang menyalahi dalil yang menghendaki hukum sunnah, seperti meninggalkan shalat jamaah karena hujan dan lain sebagainya.[4]
Hukum rukhsah dikecualikan dari hukum azimah yang umum hanya berlaku ketika ada udzur yang berat dan kadar yang diperlukan saja. Hukum rukhsoh datang setelah hukum azimah.[5] Ditegaskan dalm surat Al-Baqoroh, 2 : 173 yang berbunyi :
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[6]
Haram juga menurut ayat ini daging yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah tetapi disebut pula nama selain Allah.
B. Hukum Menggunakan Azimah dan Rukhsoh
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum menggunakan azimah adalah diwajibkan atau diharuskan. Karena azimah sendiri adalah hukum yang disyari’atkan sejak semula berupa hukum-hukum umum. Sedangkan rukhsoh pada dasarnya adalah pembebasan seorang mukallaf  dari melakukan tututan hukum azimah dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya boleh, baik dalam mengerjakan sesuatu yang terlarang atau meninggalkan sesuatu yang perintah. Namun dalam hal menggunakan hukum rukhsah bagi orang yang memenuhi syarat untuk itu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum menggunakan rukhsah itu tergantung kepada bentuk uzur yang menyebabkan adanya rukhsah itu. Dengan demikian menggunakan hukum rukhsah itu dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai bagi orang yang tidak mendapat makanan halal, sedangkan ia khawatir jika tidak menggunakan rukhsah akan membahayakan dirinya.[7]
Dalam menentukan pilihan yang paling afdhol antara rukhshah dengan azimah terdapat perbedaan pendapat ulama ushl fiqh. Sebagian ulama ushul fiqh menyatakan bahwa yang paling afdhal adalah memilih azimah, sedangkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa yang paling afdhal adalah memilih rukhshah.[8]

C. Contoh-Contoh Hukum Azimah yang Mendapatkan Rukhsoh
1.      Memperpendek shalat lima waktu karena bepergian.
2.      Membatalkan puasa karena musyafir.
3.      Mengusap khuff lebih dari satu malam, karena menepuh perjalan yang panjang.
4.      Dapat bertayamum walaupun air melimpah ruah, dengan udzur sakit.
5.      Tidak batal puasanya karena makan dan minum pada siang hari sebab lupa.
6.      Ketidaktahuan, seperti tidak tahu bahwa berdehem itu membatalkan shalat.
7.      Kesulitan secara umum, seperti shalat dalam keadaan najis yang dibolehkan seperti darah luka, bisul, atau kusta.
8.      Minum khamar atau hal-hal yang diharamkan karena terpaksa.
9.      Memakan daging babi atau bangkai, sebab tidak ada lagi makanan selain itu dan apabila tidak memakan itu dapat menyebabkan kematian.
10.  Kekurangan, ini juga termasuk jenis masyaqqah, karena jiwa ini dibuat untuk mencintai kesempurnaan, lalu disesuaikan dengan keringanan dalam taklif (pembebanan). Contohnya adalah seperti anak kecil dan orang gila yang tidak kena taklif, juga perempuan yang tidak kena taklif sebagian yang diwajibkan kepada lelaki seperti shalat berjamaah, shalat Jumat, berjihad, membayar jizyah, dan yang lainnya.[9]













BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Azimah adalah hukum-hukum yang sudah disyari’atkan oleh Allah SWT sejak semula berupa hukum-hukum umum.
Rukhsah ialah hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena adanya udzur atau keringan.
Hukum menggunakan azimah adalah diwajibkan atau diharuskan. Sedang rukhsah adalah boleh, tergantung pada udzur atau peyebab hukum tersebut mendapatkan rukhsah.

B. Kritik dan Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat, apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam bahasa maupun pengetikan kami mohon maaf dan kritik serta saran dari para pembaca yang budiman. Karena kritik dan saran para pembaca akan sangat membantu dalam membuatan makalah kami yang selanjutnya. Terima kasih.








DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shidieqy, Teuku Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra. 1997.
http://azimahdanrukhsah.blogspot.com/28-04-2014/20:13.
Q.S. Al-Baqoroh, 2 : 173.
Q.S. Ali Imrron, 3 : 159.
Riya’i, Muhammad. Ushul Fiqh. Bandung : PTAL Ma’arif. 1995.
Rohayana, Ade Dedi. Ilmu Ushul Fiqh. Pekalongan : STAIN Press Pekalongan. 2005.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 1997.



[1] Q.S. Ali Imron, 3 : 159
[2] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Usuhul Fiqh Jilid 1, hlm. 321
[3] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 300
[4] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 322
[5] Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar Hukum Islam, hlm 479
[6] Q.S. Al-Baqoroh, 2 : 173
[7] Muhammad Riya’i, Ushul Fiqh, hlm. 321
[8] http://azimahdanrukhsah.blogspot.com/28-04-2014/20:13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar