BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu fiqh yang merupakan panduan ubudiah para mukallaf.
Selalu berhadapan dengan kondisi dimana seorang mukallaf berada dan situasi
yang dihadapinya, dimana kondisi dan situasi tersebut dapat mempengaruhi
kemampuannya dalam melaksanakan hal-hal yang menjadi kewajibannya terutama
dalam hal ubudiah.
Ilmu fiqh merupakan hasil dari pemikiran para
ulama tentang pedoman pelaksanaan ubudiyah para mukallaf yang diatur
berdasarkan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan yang baku yang kita kenal
dengan istilah istimbath hukum. Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan mereka, istimbath
hukum tersebut dilakukan berdasarkan aturan tertentu yang disebut dengan ushul
fiqh.
Mengenai
situasi dan kondisi para mukallaf yang mendapatkan hambatan dalam
melaksanakan kewajiban ubudiyahnya, baik hambatan itu berasal dari dirinya
maupun luar dirinya, ushul fiqh mengatur konsep ketetapan dan keringanan
yang dikenal dengan istilah Azimah dan rukhsoh. Makalah ini
berusaha memaparkan secara singkat tentang azimah dan rukhsoh tersebut, serta tata
laksananya menurut para ulama ushul.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pangertian
azimah dan rukhsoh ?
2.
Bagaimana hukum
menggunakan azimah dan rukhsoh ?
3.
Apa saja
contoh-contoh tentang azimah dan rukhsoh ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Azimah dan Rukhsoh
1. Azimah
Secara etimologi, azimah
berarti tekad yang kuat. Pengertian seperti ini dijumpai dalam surat Ali-Imran,
3
: 159 ;
$yJÎ6sù
7pyJômu
z`ÏiB
«!$#
|MZÏ9
öNßgs9
(
öqs9ur
|MYä.
$àsù
xáÎ=xî
É=ù=s)ø9$#
(#qÒxÿR]w
ô`ÏB
y7Ï9öqym
(
ß#ôã$$sù
öNåk÷]tã
öÏÿøótGó$#ur
öNçlm;
öNèdöÍr$x©ur
Îû
ÍöDF{$#
(
#sÎ*sù
|MøBztã
ö@©.uqtGsù
n?tã
«!$#
4
¨bÎ)
©!$#
=Ïtä
tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$#
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan
itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Maksudnya: urusan peperangan dan
hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan
lain-lainnya.[1]
Secara terminology,
para ulama ushul fikh merumuskan nya dengan :
ما شرع من الاحكم الكلية ابتداء
“Hukum yang ditetapkan Allah pertama kali dalam bentuk hukum-hukum umum.”
Kata-kata “ditetapkan
pertama kali” mengandung arti bahwa pada mulanya pembuat hukum bermaksud untuk menetapkan hukum taklifi kepada hamba.
Hukum ini tidak didahului oleh hukum lain. Seandainya ada hukum lain yang
mendahuluinya, hukum yang terdahulu itu tentu dinasakh dengan hukum yang datang
belakangan. Dengan demikian hukum azimah ini berlaku sebagai hukum pemula dan
sebagai pengantar kemashlahatan yang bersifat umum.
Kata-kata “hukum-hukum kulliyah (umum)” disini
mengandung arti berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ditentukan untuk
sebagian mukallaf atau untuk sebagian waktu tertentu. Umpamanya shalat yang diwajibkan kepada semua mukallaf dalam semua
situasi dan kondisi. Begitu pula kewajiban zakat, puasa, haji dan kewajiban
lainnya.[2]
Menurut jumhur ulama, yang termasuk azimah,
adalah kelima hukum taklif (Wajib, sunah, haram, makruh dan mubah),
karena kelima hukum ini disyari’atkan bagi umat islam sejak semula. Akan tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwa yang termasuk azimah
itu hanya hukum wajib, sunah, makruh dan mubah. Ada juga ulama ushul fikh yang
membatasinya dengan hukum wajib dan sunah saja, serta ada pula yang membatasi
dengan wajib dan haram saja. Dengan
demikian azimah adalah hukum yang sudah disyari’atkan oleh Allah kepada
hambanya sejak semula.[3]
2. Rukhsoh
Secara etimologi , rukhshoh berarti
kemudahan, kelapangan dan kemurahan. Secara terminologis, menurut ulama ushul
fiqh adalah :
الحكم ثابت على خلاف الدليل العذر
“Hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil
karena adanya uzur.”
Kata-kata “hukum”
merupakan jenis dalam definisi yang mencakup semua bentuk hukum. Kata-kata tsabit
(berlaku tetap) mengandung arti bahwa rukhsah itu berdasarkan
dalil yang ditetapkan pembuat hukum yang menyalahi dalil yan ditetapkan
sebelumnya.
Kata-kata “menyalahi dalil yang ada” merupakan sifat pembeda dalam definisi
yang mengeluarkan dari lingkup pengertian rukhsah, suatu yang
memang pada dasarnya sudah boleh melakukannya seperti makan dan minum. Kebolehan dalam makan dan minum memang sudah dari dulunya dan tidak
menyalahi hukum yang sudah ada. Kata “dalil” yang maksudnya adalah dalil
hukum, dinyatakan dalam defenisi ini agar mencakup rukhsah untuk
melakukan perbuatan yang ditetapkan dengan dalil yang menghendaki hukum wajib,
seperti berbuka puasa bagi orang yang musafir, atau yang menyalahi dalil yang
menghendaki hukum sunnah, seperti meninggalkan shalat jamaah karena hujan dan
lain sebagainya.[4]
Hukum rukhsah dikecualikan dari hukum azimah
yang umum hanya berlaku ketika ada udzur yang berat dan kadar yang diperlukan
saja. Hukum rukhsoh datang setelah hukum azimah.[5]
Ditegaskan dalm surat Al-Baqoroh, 2 : 173 yang berbunyi :
$yJ¯RÎ)
tP§ym
ãNà6øn=tæ
sptGøyJø9$#
tP¤$!$#ur
zNóss9ur
ÍÌYÏø9$#
!$tBur
¨@Ïdé&
¾ÏmÎ/
ÎötóÏ9
«!$#
(
Ç`yJsù
§äÜôÊ$#
uöxî
8ø$t/
wur
7$tã
Ixsù
zNøOÎ)
Ïmøn=tã
4
¨bÎ)
©!$#
Öqàÿxî
íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[6]
Haram juga menurut ayat ini daging
yang berasal dari sembelihan yang menyebut nama Allah tetapi disebut pula nama
selain Allah.
B.
Hukum Menggunakan Azimah dan Rukhsoh
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa
hukum menggunakan azimah adalah diwajibkan atau diharuskan. Karena azimah
sendiri adalah hukum yang disyari’atkan sejak semula berupa hukum-hukum umum.
Sedangkan rukhsoh pada dasarnya adalah pembebasan seorang mukallaf dari
melakukan tututan hukum azimah dalam keadaan darurat. Dengan sendirinya hukumnya boleh, baik dalam mengerjakan sesuatu yang
terlarang atau meninggalkan sesuatu yang perintah. Namun dalam hal menggunakan hukum
rukhsah bagi orang yang memenuhi syarat untuk itu terdapat perbedaan pendapat
di kalangan ulama.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum
menggunakan rukhsah itu tergantung kepada bentuk uzur yang menyebabkan adanya
rukhsah itu. Dengan demikian menggunakan hukum rukhsah itu dapat menjadi wajib
seperti memakan bangkai bagi orang yang tidak mendapat makanan halal, sedangkan
ia khawatir jika tidak menggunakan rukhsah akan membahayakan dirinya.[7]
Dalam menentukan
pilihan yang paling afdhol antara rukhshah dengan azimah terdapat
perbedaan pendapat ulama ushl fiqh. Sebagian ulama ushul fiqh menyatakan bahwa
yang paling afdhal adalah memilih azimah, sedangkan sebagian ulama lain
menyatakan bahwa yang paling afdhal adalah memilih rukhshah.[8]
C.
Contoh-Contoh Hukum Azimah yang Mendapatkan Rukhsoh
1.
Memperpendek shalat lima waktu karena
bepergian.
2.
Membatalkan puasa karena musyafir.
3.
Mengusap khuff lebih dari satu malam, karena
menepuh perjalan yang panjang.
4.
Dapat bertayamum walaupun air melimpah ruah,
dengan udzur sakit.
5.
Tidak batal puasanya karena makan dan minum
pada siang hari sebab lupa.
6.
Ketidaktahuan, seperti
tidak tahu bahwa berdehem itu membatalkan shalat.
7.
Kesulitan secara umum,
seperti shalat dalam keadaan najis yang dibolehkan seperti darah luka, bisul,
atau kusta.
8.
Minum khamar atau hal-hal yang diharamkan
karena terpaksa.
9.
Memakan daging babi atau bangkai, sebab tidak
ada lagi makanan selain itu dan apabila tidak memakan itu dapat menyebabkan
kematian.
10.
Kekurangan, ini juga
termasuk jenis masyaqqah, karena jiwa ini dibuat untuk mencintai kesempurnaan,
lalu disesuaikan dengan keringanan dalam taklif (pembebanan). Contohnya adalah
seperti anak kecil dan orang gila yang tidak kena taklif, juga perempuan yang
tidak kena taklif sebagian yang diwajibkan kepada lelaki seperti shalat
berjamaah, shalat Jumat, berjihad, membayar jizyah, dan yang lainnya.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Azimah adalah
hukum-hukum yang sudah disyari’atkan oleh Allah SWT sejak semula berupa
hukum-hukum umum.
Rukhsah ialah
hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena adanya udzur atau
keringan.
Hukum
menggunakan azimah adalah diwajibkan atau diharuskan. Sedang rukhsah adalah
boleh, tergantung pada udzur atau peyebab hukum tersebut mendapatkan rukhsah.
B. Kritik dan Saran
Demikian makalah yang dapat kami
buat, apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam bahasa maupun pengetikan
kami mohon maaf dan kritik serta saran dari para pembaca yang budiman. Karena
kritik dan saran para pembaca akan sangat membantu dalam membuatan makalah kami
yang selanjutnya. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shidieqy,
Teuku Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang : PT. Pustaka
Rizki Putra. 1997.
http://azimahdanrukhsah.blogspot.com/28-04-2014/20:13.
http://muhammadhabibi.student.umm.ac.id/28-04-2014/20:15.
Q.S.
Al-Baqoroh, 2 : 173.
Q.S. Ali
Imrron, 3 : 159.
Riya’i,
Muhammad. Ushul Fiqh. Bandung : PTAL Ma’arif. 1995.
Rohayana, Ade
Dedi. Ilmu Ushul Fiqh. Pekalongan : STAIN Press Pekalongan. 2005.
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 1997.
[1]
Q.S. Ali Imron, 3 : 159
[2]
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Usuhul Fiqh Jilid 1, hlm. 321
[3]
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 300
[4]
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 322
[5]
Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar Hukum Islam, hlm 479
[6]
Q.S. Al-Baqoroh, 2 : 173
[7]
Muhammad Riya’i, Ushul Fiqh, hlm. 321
[8]
http://azimahdanrukhsah.blogspot.com/28-04-2014/20:13
[9]
http://muhammadhabibi.student.umm.ac.id/28-04-2014/20:15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar