Minggu, 19 Juni 2016

Riffet Hasan



A. Latar Belakang
Pada masa Rasulullah Saw., tafsir al-Qur’ân ini berupa pemberian penjelasan kepada sahabat-sahabat  beliau, tentang kandungan al-Qur’ân, khususnya tentang ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya.
Redaksi ayat al-Qur’ân, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut, yaitu Allah Swt. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman tafsir. Dalam al-Qur’ân para sahabat Nabi sekalipun yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa serta arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman.[1]
Salah  satu  hal  terpenting  ketika  menelaah  sebuah  arus  pemikiran  yang berkembang  dalam  Islam  adalah  bagaimana  mengkaji  dan  memahami  kerangka metodologi  yang  digunakan.  Hal  ini  dikatakan  penting  tidak  lain  karena  kalau diibaratkan  bahwa  sebuah  arus  pemikiran  sebagai  sebuah  produk  dari  pabrikan, maka  konstruksi  metodologi  mencoba  untuk  memahami  bagaimana  sebuah produk itu muncul, bagaimana sebuah produk itu dihasilkan, bagaimana langkah-langkah  yang  dipakai.  Demikian  halnya  dengan  apa  yang  akan  dibahas  dalam tulisan ini. Kami akan mencoba untuk mengkaji bagaimana sebuah arus  pemikiran teologi  feminisme  itu  diproduksi  dan  dihasilkan  dalam  ranah  pemikiran  Islam modern.
Dalam makalah ini kami akan membahas tentang salah satu tokoh yang menawarkan sebuah metodologi memahami tentang feminisme yang ada dalam al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
a.       Siapakah Riffet Hasan sebenarnya ?
b.      Bagaimana pendapatnya tentang feminisme ?
c.       Metode apa yang beliau tawarkan ?
C. Riwayat Hidup Riffet Hasan
Ia dilahirkan di Lahore Pakistan dengan kenangan masa kecil yang tanpa keceriaan. Tujuh belas tahun perjalanan hidupnya digambarkan sebagai penuh kegelapan dan tiada keindahan. Apa yang diingat dengan jelas dari kenangan masa kecil adalah betapa sepi dirasakannya sebuah rumah yang dihuni banyak orang dan betapa ketidakbahagiaan, ketakutan dan kebingungan selalu melingkupinya hampir sepanjang waktu (Riffat Hasan, 1996). Riffat Hasan bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan terlahir dari keluarga Sayyid (Keturunan Nabi Muhammad SAW) kelas atas.
Ayahnya menganut pandangan dan cara hidup yang sangat tradisional terutama keyakinannya mengenai peranan seks dan bahwa yang terbaik bagi gadis-gadis adalah kawin pada usia enam belas tahun dengan seseorang yang telah dipilih orang tua. Meskipun ayahnya benar-benar seorang yang baik dan suka membantu menyelesaikan masalah orang lain. Sementara ibunya bersikap tak mau kompromi dengan kebudayaan Islam tradisional khususnya kultur yang meneguhkan inferioritas dan ketundukan perempuan kepada laki-laki. Penolakan ibunya terhadap cita-cita dan praktik budaya patriarkhi serta komitmennya untuk membebaskan anak perempuannya dari chardewari (empat dinding) rumah tangga yang terpusat dan didominasi laki-laki menempatkannya ke dalam kategori feminis radikal.
Kesan Riffat Hasan terhadap ibunya adalah sebagai figur penyelamat yang selalu melindunginya. Sedangkan ayahnya yang dikagumi dan dicintai banyak orang adalah figur yang menakutkan, mewakili moralitas adat dalam sebuah masyarakat yang menuntut anak perempuan dibedakan sejak saat dilahirkan. Tiga hal yang memungkinkan ia lepas dari kesulitan hidup adalah keyakinannya akan Tuhan yang adil dan penyayang, seni menulis puisi, dan kecintaannya yang dalam kepada buku. Ia lalui masa kecilnya dengan tiga hal tersebut, hingga akhirnya ia bisa meraih prestasi-prestasi akademik yang membanggakan. Di usia kesebelas kesadaran Riffat Hasan akan perjuangan sebagai seorang feminis bermula, hal itu terutama karena peristiwa pernikahan kakak perempuannya yang berusia enam belas tahun dengan lelaki kaya tapi berpendidikan rendah. Kakaknya telah berusaha menolak namun tetap saja tak kuasa menghadapi adat yang telah ada, di mana penolakan perempuan untuk tunduk pada otoritas patriarkhi sama dengan bid’ah. Dari peristiwa inilah ia menyadarkan dirinya untuk belajar berperang, mempertahankan hidup dari tekanan dominasi laki-laki. Jiwa pemberontaknya mulai bergolak dan itu semua berpuncak tatkala Riffet Hasan di usia ketujuh belas berkeinginan melanjutkan kuliahnya di St. Mary’s College, Universitas Durham Inggris. Ia meraih gelar doktor filsafatnya pada usia dua puluh empat tahun dengan spesialisasi Filsafat Muhammad Iqbal.[2]
Karir intelektual Riffat mulai menampakkan kemantapannya sejak ia menetap di Amerika Serikat pada tahun 1976. Di negara ini, ia menduduki jabatan sebagai Ketua  Jurusan Religious Study Program di University of  Lousville,  Kentucky.  Selain  itu,  ia  juga  menjadi  dosen tamu di Harvard  Divinity School. Pada saat  menjadi  dosen  tamu  inilah  ia  berhasil menyelesaikan karyanya Equal Before Allah yang didasarkan  pada risetnya selama  setahun (1986-1987). Ia juga menjabat sebagai penasehat guru besar Perhimpunan Mahasiswa Muslim di University Oklahoma, Stillwater.[3]
Setelah itu ia kembali ke tanah kelahirannya Pakistan hingga ia kemudian menikah dengan lelaki bernama Dawar. Namun karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya menjadikan ia tampak lebih menonjol dibanding suaminya, dan hidup di masyarakat yang menilai laki-laki harus lebih dari perempuan membuat pernikahannya tidak berusia lama. Setelah gagal untuk yang pertama kali, Riffat Hasan pun menikah lagi dengan Mahmoud, seorang Muslim Arab Mesir, yang berusia tiga puluh tahun di atasnya. Mahmoud terbiasa memerintah untuk melakukan apa saja yang diinginkan atas nama Tuhan dan Riffat dianggap tidak punya hak untuk menolak, karena dalam kultur Islam menolak untuk melakukan apa yang menyenangkan hati suami sama dengan menolak melakukan apa yang disenangi Tuhan. Perkawinan kedua ini berlangsung singkat, tetapi melelahkan Riffat Hasan secara fisik dan mental karena berada di tangan seorang laki-laki yang tidak saja unggul secara berlebih-lebihan, tapi juga seorang fanatik yang bisa meminta atas nama Tuhan untuk melakukan tindakan-tindakan kejam dan sangat tidak berperasaan terhadap manusia yang lain. Pengalaman hidup yang demikian itulah yang membuatnya menjadi feminis dengan ketetapan hati untuk mengembangkan teologi dalam kerangka tradisi Islam, sehingga mereka yang disebut laki-laki Tuhan tidak bisa mengeksploitasi perempuan muslim atas nama Tuhan.[4]
D. Pemikiran Riffet Hasan (Hak yang Dimiliki Perempuan)
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa masih ada sebagian umat Islam yang berlaku zalim dengan melarang perempuan menikmati haknya dalam memperdalam pengetahuan agama, berperan dalam dunia kerja, dan pergi ke mesjid-mesjid untuk beribadah atau belajar, padahal itu semua diperbolehkan oleh ajaran Islam. Di samping itu, perempuan juga memiliki hak. Diantara hak-hak yang dimiliki oleh kaum perempuan menurut pandangan Islam adalah sebagai berikut :
1. Hak-hak perempuan dalam bidang politik
Didalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang dapat dijadikan dalil bahwa perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki untuk berperan dalam wilayah politik. Salah satu ayat yang sering kali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah dalam QS.At-Taubah : 71.
2. Hak-hak perempuan dalam memilih pekerjaan
Perempuan dalam pandangan Islam mempunyai hak untuk bekerja disegala bidang pekerjaan yang legal, sebagaimana laki-laki juga mempunyai hak bekerja disegala bidang pekerjaan yang legal. Pekerjaan dan aktivitas yang dilakukan oleh perempuan pada masa Nabi cukup beraneka ragam, sampai-sampai mereka terlibat secara langsung dalam peperangan, bahu membahu dengan kaum lelaki. Disamping itu para perempuan pada masa Nabi aktif dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, ada juga yang menjadi perawat atau bidan, dll.
3. Hak dan kewajiban belajar
Islam memandang setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan bertanggung jawab terhadap nilai keimanannya kepada Allah pada hari kemudian. Apabila dalam masalah akidah, tidak diperkenankan adanya taklid buta. Karena pencapaian nilai keimanan membutuhkan proses pemikiran dan perolehan ilmu untuk memperluas cakrawala pemikiran dan pengetahuan, maka wanita sebagaimana pria memerlukan pengembangan potensi rasionalitasnya dengan ilmu.
E. Refleksi Pemikiran Riffet Hasan
Pemikiran seseorang tidak bisa dilepaskan dari eksistensi kehidupannya, semua manusia akan menangkap realitas berdasarkan perspektif dirinya, latar belakang sosial dan psikologi individu yang mengetahui tidak bias dilepaskan dalam proses berpikir yang kemudian melahirkan formulasi-formulasi ide. Hal ini terkait dengan hal-hal sebagai berikut[5]:
1. Problem Perempuan dalam Islam
Perbicangan tentang problem perempuan dalam Islam merupakan suatu kesenjangan antara teoritis dan praksis, karena antara cita ideal dan realitas empiris menjadi fenomena dominan dalam kehidupan perempuan.
Bentuk-bentuk pemasungan terhadap perempuan masih menjadi bagian dari tradisi masyarakat Islam. Misalnya negara Pakistan (salah satu) Negara Islam yang memperlakukan perempuan secara sewenang-wenang. Program islamisasi yang dicanangkan pemerintah dimulai dengan upaya domestikasi perempuan, dengan cara memaksa perempuan masuk kembali ke rumah, menutup seluruh tubuh mereka dan mengekang mereka dengan peraturan-peraturan yang memberatkan.
Perlakuan yang demikian menurut Riffat menunjukkan kebencian terhadap perempuan. Bahkan seakan-akan pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk memulai islamisasi. Sebab dibutuhkan waktu lama untuk merumuskan konsep-konsep politik, negara atau ekonomi Islam secara solid, sehingga jilbabisasi perempuan merupakan cara yang termudah untuk membedakan diri dari negara-negara non-islam. Karena menurut Riffat, perintah berjilbab adalah agar perempuan menjaga kesopanan.
Hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan yang benar untuk melakukan domestikasi perempuan dan mengeluarkannya dari keterlibatan di sector publik. Dalam hal tersebut perlu adanya dekonstruksi secara holistik dan sistematis untuk mengurai lebih jauh tentang sebab perilaku tidak adil dan penindasan terhadap perempuan. Karena sistem patriarki dalam sejarah manusia sangat dominan, maka pembongkaran konsep dan implementasinya dapat dilakukan melalui berbagai dimensi yaitu sosiologis kultural, psikologis, antropologis dan teologis. Dalam konteks ini Riffat Hasan yang mengaku pemikirannya sangat dipengatruhi tokoh neo-modernis (Fazlur Rahman) mencoba mencermati melalui dimensi teologis.
2. Dekonstruksi tradisi islam
Tradisi Islam yang perlu penataan ulang bahkan pembongkaran pemahaman adalah didasarkan pada asumsi bahwa konstruksi teologi yang misoginis yang disebabkan pengaruh budaya Arab pra Islam yang misoginis dan bias anti perempuan yang diserap Islam dari tradisi agama Kristen dan Yahudi. Beberapa hal yang terkait dengan pembahasan teologi feminis dalam tradisi Islam perlu dipaparkan bahasan yang sistematis.
3. Feminisme
Feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan. Diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki di masyarakat. Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia. Operasionalisasi upaya pembebasan kaum perempuan dari berbagai ketimpangan perlakuan dalam segala aspek kehidupan disebut gerakan feminis. Sebagai suatu gerakan, titik tolak pembahasan feminism harus mengacu pada definisi operasional bukan dari definisi ideologis. Sehingga feminisme dilihat sebagai suatu seruan beraksi atau suatu gerakan dan bukan sebagai fanatisme keyakinan.[6] Feminisme sebagai suatu gerakan, memiliki dimensi sejarah panjang, dimulai pada abad ke-14 disebutkan ada lima dasar preposisi feminisme pada abad ke-14 sampai abad ke-18 yaitu :
a.       Timbulnya kesadaran beroposisi terhadap fitnah dan kekeliruan perlakuan terhadap perempuan dalam bentuk oposisi dialektis terhadap praktik misogyny (kekejaman kaum pria terhadap kaum perempuan)
b.      Adanya suatu keyakinan bahwa jenis kelamin bersifat kultural dan bukanbersifat biologis
c.       Adanya suatu keyakinan bahwa kelompok sosial perempuan merupakan penajaman pendapat kelompok sosial laki-laki tentang ketidak sempurnaan jenis kelamin tertentu sebagai makhluk manusia
d.      Adanya suatu warisan sudut pandang dalam menerima sistem nilai yang berlaku dengan cara mengekspos dan menentang prasangka serta pembatasan perbedaan jenis kelamin berdasarkan perspektif kultur
e.       Adanya keinginan untuk menerima konsep manusia dan perikemanusiaan. Semua preposisi tersebut dimaksudkan untuk memberi kemungkinan menjadi yang terbaik untuk setiap anak manusia (termasuk perempuan) karena adanya potensi diri yang memungkinkan hal tersebut dapat terjadi.
Oleh karena itu makna feminis di sini adalah mencai peluang kebebasan perempuan untuk perempuan. Dengan demikian gerakan feminis pada saat pertama kali dimulai tidak ada hubungannya dengan bias perlakuan terhadap laki-laki karena perempuan hanya ingin memperhatikan dirinya sendiri dengan lebih baik. Feminisme sebagai suatu gerakan, menurut Aida memiliki tujuan sebagai berikut :
a.       Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan mengikuti kesamaan gender (jenis kelamin) dalam konteks hubungan kemitraan universal dengan sesama manusia
b.      Menolak setiap perbedaan antar manusia yang dibuat atas dasar perbedaan jenis kelamin
c.       Menghapuskan semua hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasan tertentu atas dasar jenis kelamin
d.      Berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyeluruh tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hukum dan peraturan tentang manusia dan kemanusiaan.
4. Tranformasi sosial islam
Untuk memahami interpretasi terhadap ajaran agama sangat dipengaruhi oleh background penafsirnya, artinya tafsir agama erat kaitannya dengan aspek ekonomi, politik, kultural dan juga ideologi. Dari sinilah diperlukan kajian kritis guna mengakhiri bias dan dominasi dalam penafsiran agama. Suatu proses kolektif yang mengkombinasikan studi, investigasi, analisissosial, pendidikan serta aksi untuk membahas isu perempuan.
Perubahan kacamata pandang yang digunakan dalam penafsiran masalah-masalah sosial Islam diharapkan dapat memberikan semangat dan kesempatan perlawanan kepada kaum perempuan guna mengembangkan tafsiran ajaran agama yang tidak bias laki-laki. Usaha ini dimaksudkan untuk menciptakan perimbangan dan perubahan radikal dengan menempatkan perempuan sebagai pusat perubahan. Proses ini termasuk menciptakan kemungkinan bagi kaum perempuan untuk membuat, mengontrol dan menggunakan pengetahuannya sendiri. Usaha seperti yang tersebut di atas itulah yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran kritis menuju transformasi kaum perempuan. Gerakan transformasi ini mempercepat transformasi social secara luas dan menyeluruh.
F. Metodologi Riffat Hasan
Sebelum membahas metodologis  teologi feminisme  Riffat  Hassan, ada baiknya terlebih  dahulu dijelaskan bagaimana pendekatan (approach) yang digunakan Riffat dalam  konstruksi  pemikirannya. Sebagaimana dijelaskan dalam  salah  satu  artikel  yang  dimuat  jurnal  Ulumul Qur’an, Feminisme dan al-Qur’an -- artikel ini merupakan hasil wawancara Wardah Hafidz dengan Riffat Hassan -- dalam membangun pemikiran teologi feminismenya,  Riffat menggunakan pendekatan dua level yaitu: Pertama, pendekatan ideal-normatif. Pendekatan ini ditempuh untuk melihat bagaimana al-Qur’an  menggariskan prinsip-prinsip ideal-normatif  tentang perempuan. Seperti bagaimana seharusnya perempuan itu menurut al-Qur’an, tingkah lakunya, relasinya  dengan Tuhannya, orang lain maupun dirinya sendiri.  Kedua, pendekatan empiris. Pendekatan ini dilakukan dalam rangka untuk melihat secara empirik realitas sosiologis yang terjadi dan dialami perempuan. Misalnya, bagaimana perempuan memandang dirinya dan bagaimana orang lain memandang perempuan dalam  masyarakat  Islam.[7] Dua  pendekatan  ini  dalam  realitasnya merupakan  intertwine. Dalam pengertian  bahwa di antara kedua pendekatan tersebut merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ia adalah satu kesatuan. Melalui dua pendekatan ini, Riffat berupaya mendapatkan realitas empirik sekaligus gambaran idealis-normatif sehingga memungkinkannya untuk mengadakan  evaluasi,  penilaian  dan  kritik  terhadap realitas yang dialami kaumnya. Berdasarkan pendekatan ini Riffat mampu  membaca adanya kesenjangan antara idealitas-normatif  dan  realitas  empiris  yang  dialami  kaum perempuan.
Hal inilah yang  kemudian  mendorongnya  untuk  melakukan pelacakan  dan  sekaligus pengkajian secara mendalam terhadap teks-teks keagamaan yang telah  membentuk  sedimen  dalam  realitas  sosio-historis masyarakat Muslim. Selain pendekatan di atas, Riffat juga menggunakan pendekatan historis di dalam membangun pemikiran teologi feminismenya. Hal ini adalah sesuatu yang secara niscaya mesti dilakukan dalam  rangka  untuk  mencermati  secara  kritis realitas Islam yang telah berdiri kokoh  dalam  bangunan  sejarah.  Sebagaimana dijelaskan oleh Charles J. Adams dalam  Islamic Religious Tradition  bahwa untuk dapat  memberikan  pemaknaan  yang  benar  terhadap  Islam,  pendekatan  historis adalah  sebuah  keniscayaan.  Hal  ini  tidak  lain  karena  Islam  sebagai  sebuah  visi hidup dalam realitasnya tidak sepi dari dialektikanya dengan realitas sejarah yang selalu berubah dan berkembang.[8]
Melalui pendekatan yang dipilihnya ini memungkinkan Riffat untuk secara leluasa  melakukan pengkajian-pengkajian berkenaan dengan teks-teks yang terhampar dalam  realitas  empiris  sosiologis  maupun yang  telah terekam  dalam  sejarah  peradaban  manusia  melalui warisan tertulisnya. Pendekatan  ini  kemudian  dikombinasikan  dengan  serangkaian  kerangka metodologi. Dalam hal ini ia memang tidak secara eksplisit-holistik menjelaskan kerangka metodologi  yang gunakan. Namun demikian, berdasarkan sebaran  pemikiran  yang  dikedepankannya,  kita  setidaknya  bisa  melacak  dan membuat  konstruksi  berkenaan  dengan  hal  tersebut.  Berikut  akan  dijelaskan konstruksi metodologi teologi feminisme Riffat Hassan.
Pertama,  metode  dekonstruksi.  Metode  ini  digunakan  Riffat  sebagai sebuah  keniscayaan  tidak  lain  karena  hakekat  dicetuskannya  ide  tentang  teologi feminisme tidak lain adalah untuk membongkar dan melakukan kritik konstruktif terhadap berbagai konsep keagamaan yang bias patriakhi. Menurut Riffat, adanya diskriminasi  dan  segala  bentuk  ketidakadilan  yang  menimpa  kaum  perempuan dalam  lingkungan  umat  Islam  bersumber  dari  adanya  pemahaman  yang  bias  dimana  orientasi  patriarkhi  sangat  kental  mewarnai  wajah-wajah  pemahaman  alQur’an.  Al-Qur’an adalah sumber utama dan paling otoritatif dalam tradisi Islam. “Of  all  the  sources  of  Islamic  tradition,  undoubtedly,  the  most  important  is  the Qur’an  which  is  regarded  by  Muslims  in  general,  as  primary  and  most authoritative  sources  of  normative  Islam” demikian Riffat Hasan menjelaskan.[9]
Kedua, metode hermeneutik. Salah  satu  upaya  signifikan  yang  mesti dilakukan  berkaitan  dengan adanya realitas ketidak adilan terhadap perempuan adalah dengan melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks al-Qur’an yang selama ini  dijadikan  instrumen  legitimasi  bagi tindakan-tindakan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam konteks ini metode hermeneutik menjadi sebuah keniscayaan. Hermeneutik, sebagaimana asal katanya  ‘hermeneutikos’ yang berarti ‘upaya menjelaskan dan menelusuri’ adalah sebuah upaya menghadirkan, membaca, dan  memaknai  kembali  sebuah teks masa  lalu  sehingga  sesuai  dengan  realitas kekinian. Carl Braaten dalam “History and Hermeneutics” secara lebih  detail menjelaskan bahwa hermeneutik adalah “sebuah ilmu  yang  mencoba menggambarkan  bagaimana  sebuah  kata   atau  suatu  kejadian  dalam  waktu  dan budaya lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang”.[10] Hermeneutik,  dengan  demikian,  dapat  kita  fahami  akan senantiasa melibatkan tiga hal mendasar yaitu teks, konteks dan kontekstualisasi. Melalui metode hermeneutik ini Riffat melakukan pengkajian kembali terhadap teks-teks al-Qur’an dalam relasinya dengan teologi  feminisme  yang dikonstruksinya.
Dalam kinerja hermeneutiknya, sebagaimana dijelaskan dalam Women’s Interpretation of Islam, Riffat menggunakan tiga prinsip utama dalam interpretasi, yaitu:  Pertama,  akurasi  linguistik.  Prinsip  ini  pada  dasarnya  berupaya  untuk mendapatkan  makna  sebuah  terma  atau  konsep  secara  tepat  dengan  melihat  dan merujuk kepada semua leksikon klasik dan lain-lain apa  yang dimaksud  dengan kata itu dalam kebudayaan di mana ia dipergunakan.  Kedua, kriteria konsistensi filosofis (criterion of philosophical consistency). Prinsip ini adalah untuk melihat bagaimana berbagai penggunaan kata-kata (dalam al-Qur’an) itu secara  filosofis konsisten dan tidak bertentangan.  Ketiga, kriteria etis  (ethical criterion). Prinsip ini digunakan sebagai acuan dan bingkai (frame) utama dalam melakukan kritik, evaluasi dan sekaligus langkah progresif dalam membaca al-Qur’an. “Apabila Tuhan  adil,  keadilan  itu  haruslah  terefleksikan di dalam al-Qur’an. Tuhan tidak dapat melakukan ketidakadilan. Apabila tampak ketidakadilan di dalam al-Qur’an,  meskipun dari sudut pandang manusia, penafsir haruslah berupaya mendapatkan sebuah interpretasi yang lebih adil dan pantas tentangnya”.[11]
G. Kesimpulan
Riffat Hasan dilahirkan di Lahore Pakistan dengan kenangan masa kecil yang tanpa keceriaan. Ia bersama lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan terlahir dari keluarga Sayyid (Keturunan Nabi Muhammad SAW) kelas atas. Diusia ketujuh belas ia berkeinginan melanjutkan kuliahnya di St. Mary’s College, Universitas Durham Inggris. Ia meraih gelar doktor filsafatnya pada usia dua puluh empat tahun dengan spesialisasi Filsafat Muhammad Iqbal.
Menurutnya, perempuan juga mempunyai hak. Diantaranya adalah hak dalam politik, hak dalam memilih pekerjaan, serta hak dan kewajiban belajar. Refleksi pemikirannya terkait hal-hal tentang problem perempuan dalam islam, dekontruksi tradisi islam, feminisme, dan transformasi sosial islam.
Dalam membangun pemikiran teologi feminismenya,  Riffat  menggunakan pendekatan dua level yaitu: pendekatan ideal-normatif dan pendekatan empiris. Melalui pendekatan-pendekatan terseut, ia merumuskan metodologinya. Metode dekonstruksi dan metode hermeneutik.
Aplikasi  metodologis  ini  dapat  dengan  jelas  kita  lihat misalnya ketika Riffat menjelaskan dan melakukan reinterpretasi kata adam. Reinterpretasi ini menjadi keniscayaan dalam konteks teologi feminismenya tidak lain karena sebagaimana diketahui  bahwa  terdapat  asumsi teologis mendasar yang menjadikan  perasaan superioritas  laki-laki  atas  perempuan,  dari  sisi  penciptaan,  adam  adalah  sosok mahluk  pertama  maskulin  dan  berasal  dari  padanya  penciptaan Hawwa  berasal. Riffat  pun  mempertanyakan,  benarkah  adam  sebagai  mahluk  yang  pertama kali diciptakan  tersebut  sosok  laki-laki  sebagaimana  yang  menjadi  maistream pemikiran  umat  Islam  selama  ini?   Dalam  upaya  pembacaan  ulang  tersebut, Riffat  melakukan  pelacakan  terminologis  untuk  mendapatkan  maknanya  yang akurat.
Kata  adam adalah  istilah  Ibrani  berasal  dari  kata  adamah yang  artinya tanah.  Kata  yang  muncul  di  dalam  al-Qur‟an  sebanyak  dua  puluh  lima  kali  ini dalam relasinya dengan fenomena penciptaan manusia hanya muncul sekali, Surat Ali Imran, 3: 59 dan itu pun hanya berbicara dalam konteks bahwa  adam  adalah sosok  mahluk  yang  diciptakan  dari  tanah  dan  sama sekali tidak menjelaskan secara  eksplisit  tentang  jenis  kelaminnya.[12] Pemaknaan  bahwa  adam  berjenis kelamin maskulin, menurut Riffat, tidak lain berasal dari “analisis” linguistik yang selama  ini  dilakukan  oleh  para interpretator.  Secara  linguistik  kata  benda   itu memang maskulin namun bukan menyangkut jenis kelamin, bahkan berdasarkan pemahaman  terhadap  ayat-ayat  lainnya  seperti  surat  al-A’raf,  7:  26,  27,  31,  35, 172; dan al-Isra’, 17: 70, istilah “adam” berfungsi sebagai kata benda kolektif dan mengacu kepada seluruh manusia.[13]
Berdasarkan analisis tersebut sebuah kesimpulan meyakinkan yang dapat ditarik, adalah tidak bisa langsung diartikan bahwa adam itu laki-laki. “Al-Qur’an tidak pernah menyatakan  bahwa  adam  adalah  manusia  pertama  dan  tidak  pula menyatakan  bahwa  ia  laki-laki”, demikian  kata  Riffat.  Hal  ini  berarti  bahwa pemahaman  secara  kontekstual  terhadap  term  adam  dan  zauj  sebagaimana  yang terdapat dalam surat al-Baqarah, 2: 35, al-A’raf, 7: 19 dan Taha, 20: 117 menjadi sebuah  kemestian.  Kata  zauj  yang  biasa  ditafsirkan  sebagai  “Hawwa”, bagi Riffat,  menjadi  tidak  relevan  lagi.[14] Hal  ini  tidak  lain  karena  kalau  term  adam tidak lagi dimaknai sebagai sosok manusia maskulin, maka berarti kata  zauj  tidak dapat  dimaknai  sebagai  ‘Hawwa’  yang  feminim. Itulah  sebabnya  Riffat memaknainya  secara  kontekstual sebagai sesuatu yang menunjukkan terhadap pengalaman  hidup  manusia  secara  kolektif,  laki-laki  dan  perempuan  secara bersama-sama. Melalui  pembacaan  ulang  sebagaimana di atas, secara  jelas Riffat telah melakukan kontekstualisasi terhadap teks al-Qur’an.











DAFTAR PUSTAKA
al-Idlibi, Salahuddin. Manhaj Naqd al-Matn ‘Ind ‘Ulama’ al-Hadis al-Nabawi. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah. 1983.
al-Zahabî, M. Husain. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Jilid I. Mesir: Dâr al-Kutûb al-Haditsah. 1961.
Braaten, Carl. History and Hermeneutics. Philadelphia: Forterrs. 1966.
Charles J. Adams. Islamic Religious Tradition. dalam Leonard Binder (ed.),  The Study of the Middle East. Canada: John Wiley & Sons, Inc.. 1976.
Fatima Mernisi dan Riffat Hassan. Setara di Hadapan Allah. (terj.) Tim LSPPA. Yogyakarta: LSPPA. 2000.
Hassan, Riffat.   Are  Human  Right  Compatible  with  Islam?  The  Issue  of  the  Right  of Women in Muslim Communities, dalam Jurnal Profetika. Vol 3. No. 1. 2001.
Hassan, Riffat. Women’s  Interprretation  of  Islam.  dalam  Hans  Thijsen  (ed.).  Women and Islam in Muslim Society. The Hague: Ministry of Foreign Affairs. 1994.
http//pemikiran-riffat-hasan/index.php/articel/17/12, diakses 26 Oktober 2014, pkl 22:31
Rachman, Budi Munawar. Ensiklopedi Nur Cholis Madjid. jilid I. Jakarta: Demokrasi Project. 2011.
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim. Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1989.



[1] Muhammad Husain al-Zahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Jilid I, Mesir: Dâr al-Kutûb al-Haditsah, 1961, h. 59
[2] Fatima Mernisi dan Riffat  Hassan,  Setara di Hadapan Allah, (terj.) Tim LSPPA, Yogyakarta: LSPPA, 2000. h.25
[3] Ibid,
[5] http//pemikiran-riffat-hasan/index.php/articel/17/12, diakses 26 Oktober 2014, pkl 22:31
[6] Budi Munawar Rachman, Ensiklopedi Nur Cholis Madjid, jilid I, Jakarta: Demokrasi Project, 2011, h.699
[7] Taufik  Abdullah  dan  M.  Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h.87
[8] Charles J. Adams, Islamic Religious Tradition, dalam Leonard Binder (ed.),  The Study of the Middle East, (Canada: John Wiley & Sons, Inc., 1976), h.31
[9] Riffat  Hassan,  Are  Human  Right  Compatible  with  Islam?  The  Issue  of  the  Right  of Women in Muslim Communities, dalam Jurnal Profetika, Vol 3, No. 1, Jauarri 2001, h.26
[10] Carl Braaten, History and Hermeneutics, (Philadelphia: Forterrs, 1966, h.131
[11] Riffat  Hassan,  Women’s  Interprretation  of  Islam,  dalam  Hans  Thijsen  (ed.),  Women and Islam in Muslim Society, (The Hague: Ministry of Foreign Affairs, 1994), h.116
[12] Ayat tersebut menyatakan, “Sesungguhnya (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah dia”.(Q.S. Ali Imran, 3: 59.
[13] Fatima Mernisi dan Riffat Hassan, Op.Cit., h.58
[14] Ibid, h.59-60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar