Minggu, 05 Juni 2016

Tantangan Islam di Era Modernisasi



TANTANGAN ISLAM DI ERA MODERNISASI
A.    PENDAHULUAN
Islam sebagai sebuah din pada hakikatnya telah memiliki konsep yang jelas,lengkap, dan mencakup segala aspek. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang berlandaskan pada firman dan wahyu tuhan sebagai landasannya, tak terpengaruh oleh budaya dan sejarah manusia. Wahyu dalam islam bersifat otentik, tak terdistorsi oleh sejarah dan peradaban serta budaya manusia. Ringkasnya dari wahyu tuhan yang otentik ini, melahirkan worldview Islam yang menjadi landasan para pemeluknya dalam memandang seluruh kehidupan di dunia dan akhirat ini dalam bingkai Islam.[1]
Namun pihak. Mulai dari para orientalis barat yang tak pernah berhenti untuk mencari titik lemah Islam, kaum kafirun yang selalu memusuhi Islam dari sejak pertama kali diturunkan, bahkan hingga dari golongan ummat muslim sendiri yang berbalik memusuhi agamanya sendiri. Yang diserang pun bukan hanya sebatas fisik lagi, sebagaimana pada masa perjuangan nabi Muhammad SAW, melainkan dari segi pemikiran, intelektual, bahkan jiwa dan esensi dari seorang muslim sendiri.
Kemudian para orientalis juga mengkaji ulang Islam sebagai salah satu ilmu pengetahuan, dengan kata lain mengesampingkan berbagai unsur, konsep dan hal-hal lainnya dalam Islam. Dalam hal ini maka posisi Islam disetarakan dengan posisi agama lainnya. Mereka juga mengkaji Islam dengan menempatkannya dalam ranah budaya, sehingga berdampak pada sebuah konsekuensi bahwasanya Islam terikat dengan sejarah dan waktu, serta selalu berubah menyesuaikan dengan konteks budaya dan keadaan manusia yang hidup pada suatu zaman.
Selain para orientalis yang menyerang Islam, Kristen juga berusaha untuk melemahkan ummat Islam sekarang. Bila pada zaman dahulu mereka menyerang dengan perang fisik, maka sekarang mereka memerangi Islam dengan cara menjauhkan ummat muslim dari identitas keislamannya, hal ini sebagaimana dikutip dari pernyataan Samuel Zwemmer dalam sebuah konferensi misionaris pada tahuun 1935 :
Misi utama kita sebagai orang Kristen bukan menghancurkan kaum muslim, namun mengeluarkan seorang muslim dari Islam, agar jadi orang muslim yang tak berakhlak. Dengan begitu akan membuka pintu kemenangan imperialis di negeri-negeri Islam. Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam. Generasi muslim yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi yang malas, dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsunya.[2]
Menghadapi situasi seperti ini, tentu saja kita sebagai ummat Islam tak bisa berdiam diri tanpa mengambil tindakan apapun. Kita perlu mengklasifikasi berbagai jenis tantangan tersebut dan mencari langkah solusi dan pencegahan untuk tetap menjaga Islam sebagai satu-satunya agama yang otentik dari Allah SWT. Disini akan dipaparkan mengenai tantangan apa saja yang dihadapi ummat Islam di era ini beserta solusi untuk menghadapinya.

B.     BEBERAPA TANTANGAN ISLAM SEKARANG
1.      Masuknya Konsep Liberal Dalam Pemikiran Islam.
Liberal sendiri secara bahasa berarti bebas. Paham ini pertama kali diterapkan dalam ranah social, politik dan pemerintahan. Namun lambat laun juga memasuki ranah pemikiran intelektual. Paham liberal awal yang pertama digagas oleh Yunani kemudian diambil oleh kaum Barat . Memasuk abad 17 dunia Barat terobsesi untuk membebaskan diri mereka dalam bidang politik, keagamaan, politik, dan ekonomi dari tatanan moral, supranatural bahkan Tuhan. [3] Dalam ranah agama, mereka berusaha untuk menghapus hak-hak otoritas Tuhan, kebenaran mutlak dan doktrin gereja harus dihapuskan, dan agama menjadi bersifat individual. Penyebabnya karena Barat merasa kebebasan mereka selama ini terus dikungkung dan dibatasi oleh doktrin dan kekuasaan gereja yang mengatasnamakan wakil Tuhan.
Namun sayangnya, paham yang berasal dari dunia Barat ini malah diambil dan diterapkan dalam Islam. Para sarjana-sarjana Islam yang dididik oleh kaum Barat malah terpesona dengan paham liberalisasi ini dan mengaplikasikannya dalam ranah pemikiran Islam. Ini tentu saja tak bisa diterima, sebab berbeda dengan Kristen yang mengkungkung kebebasan para pemeluknya, sebaliknya Islam menjamin kebebasan para pemeluknya sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan.
Dampak dari masuknya konsep liberal ini juga banyak. Munculnya pengingkaran terhadap semua otoritas, bahkan Tuhan dan agama. Sebab otoritas dalam pandangan liberal menunjukkan adanya kekuatan di luar dan diatas manusia yang mengikutinya secara liberal. Berkembang juga inklusifisme agama. Menurut kaum liberal, kita sekarang tak bisa mengatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, begitu juga dengan mengatakan bahwa Kristen adalah satu-satunya agama yang benar juga. Dan juga kita tak bisa mengatakan bahwa agama selain itu adalah salah. Menurut mereka semua agama adalah sama, agama-agama bisa berbeda dalam ranah hukum dan syariatnya, tetapi tetap menuju Tuhan yang satu. Agama-agama pada ranah eksoteris bisa berbeda,tetapi pada ranah esoteris sama-sama menuju satu Tuhan yang sama.[4] Dengan kata lain mereka menolak sifat eksklusif dalam suatu agama. Inilah yang akan menjadi dasar dari paham pluralisme beragama.
Masuknya paham liberal dalam ranah intelektual juga menyebabkan setiap orang bebas untuk menafsirkan sebuah teks dan ajaran agama. Setiap orang punya kans yang sama untuk menafsikrkan kebenaran, walaupun tanpa memiliki bekal yang cukup. Sehingga lahir lah tokoh-tokoh seperti Nasr Hamid Abu Zaid yang menafsirkan teks-teks agam dengan penafsirannya sendiri. Lahir juga tkoh-tokoh serupa di Indonesia seperti Amin Abdulah, Aksin Wijaya dan sebagainya. Padahal dalam Islam sendiri, tidak semua orang bebas untuk menafsirkan teks Al Quran, ia harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu, seperti : terpercaya, bersifat objektif, menguasai ilmu bahasa Arab, adil dan sebagainya. Ini untuk menghindari penafsiran yang salah akan sebuah teks keagamaan.

2.                  Ilmu-Ilmu Sosial Menjadi Patokan Utama Dalam Dunia Pendidikan.
Masuknya ilmu-ilmu social dalam dunia pendidikan juga menjadi problematika sendiri, dimana dengan masuknya ilmu-ilmu tersebut semakin menyingkirkan ilmu-ilmu agama dalam dunia pendidikan. Bahkan ilmu-ilmu social juga digunakan untuk memahami suatu agama. Hal ini berkonsuensi bahwa Islam diposisikan sama dengan agama-agama lainnya yang ada. Islam hanya dipandang sebagai objek ilmu pengetahuan, terlepas dari berbagai macam konsep, struktur, dan aturan dalam Islam sendiri.
Ilmu-ilmu social yang sejak awalnya digunakan untuk memahami kondisi social suatu masyarakat, pada akhirnya digunakan juga untuk membedah dan memahami suatu agama. Maka muncullah dengan ini ilmu-ilmu baru seperti sosiologi agama, psikologi agama, dan antropologi agama.

3.                  Kendala Dalam Memahami Bahasa Arab.
Muncul anggapan dalam masyrakat sekarang bahwasanya bahasa Arab tidak mengandung signifikansi lagi,atau unexpected dan tak profitable lagi. Hal ini disebabkan bahwa mereka memahami bahasa arab bukanlah bahasa peradaban dan intelektual, melainkan hanya sebatas bahasa ritual atau agama. Sehingaa menjadikan masyrakat sekarang enggan untuk mendalami dan belajar bahasa arab. Padahal bila kita mengkaji lebih dalam lagi, bahasa Arab memiliki peran yang sangat signifikan dalam gerakan intelektual. Periode penerjemahan berbagai macam cabang ilmu dari bangsa lain seperti Yunani ke dalam bahasa Arab gencar dilakukan oleh ilmuiwan-ilmuwan muslim seperti Al Faraby, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain sebagainya. Mereka semua menerjemahkan karya-karya berbahasa asing tersebut,kemudian menyaring dan memverifikasinya lagi, barulah hasilnya dapat dipahami oleh masyarakat yang lebih luas. Ini jelas berlawanan dengan anggapan sebagian orang diatas, bahwa pada hakikatnya bahasa Arab mempunyai konstribusi yang besar dalam ranah intelektual dan pengetahuan.

4.                  Tidak Adanya Perbandingan Antara Peradaban Barat dan Peradaban Timur
Barat sebagai sebuah peradaban tentu berbeda dengan peradaban Islam. Hal ini dikarenakan peradaban Islam adalah peradaban yang dibangun atas dasar ilmu yang berlandasakan wahyu Tuhan yang otentisitasnya tak diragukan. Dari wahyu Al Quran inilah yang menghasilkan tradisi intelektual dan diaplikasikan dalam seluruh bidang kehidupan.[5] Berbeda dengan barat, peradaban Barat tak dibangun atas dasar ilmu dan wahyu Tuhan, bahkan mereka malah mengesampingkan peran Tuhan dalam kehidupan mereka. Ringkasnya peradaban Barat dibangun atas dasar sekularisme dan penolakan atas hak-hak Tuhan dan agama.
Namun apa yang terjadi berikutnya unsur dan elemen dari peradaban barat tersebut malah diambil dan diterapkan dalam Islam, Maka masuklah unsur-unsur seperti sekularisme, eksklusifisme beragama, pluralism beragama, feminism dan kesetaraan gender dan lain sebagainya. Kondisi seperti inilah yang menebabkan kebingungan dalam dunia pemikiran Islam, dimana masyarakat bingung untuk memilih antara dua unsur diatas.

C.     SOLUSI MENYIKAPI TANTANGAN DI ERA INI
1.                  Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of Knowledge) adalah gagasan yang diusung oleh beberapa intelektual muslim, yaitu Syed Muhammad Naquib Al Attas dan Ismail Raji Al Faruqy. Menurut Al Attas pengetahuan Barat telah membawa kebingungan dan skeptisime dalam dunia pemikiran. Barat juga telah mengangkat sesuatu masih dalam tahap keraguan dan dugaan ke derajat ilmiah dalam hal metodologi. Kebenaran dalam pandangan Barat tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan,melainkan atas tradisi budaya didukung oleh premis-premis filosofis yang didasarkan para perenungan-perenungan.[6] Disini masyarakat Islam berada dalam kebingungan antara mengikuti tradisi keislaman atau nilai-nilai peradaban barat.
Disinilah letak diperlukannya Islamisasi ilmu pengetahuan. Untuk menyingkirkan unsur-unsur peradaban dan intelektual Barat yang telah mengkontaminasi alam pemikiran Islam. Islamisasi sendiri berarti membawa sesuatu ke dalam Islam atau membuatnya dan menjadikan Islam. Sedangkan Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al Attas adalah melakukan aktifitas keilmuan, seperti mengungkap, menghubungkan dan menyebarluaskan menurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia.[7]
Sedangkan dalam prosesnya, Islamisasi ilmu pengetahuan yang dicanagkan oleh Al Attas mempunyai beberapa langkah yaitu :
a.       Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konspe kunci yang membentuk budaya  dan peradaban Barat. Unsur-unsur tersebut adalah :
·         Akal sebagai pembimbing kehidupan manusia
·         Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran
·         Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler
·         Membela doktrin humanism
·         Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang yang dominan dalam fitrah dan eksistensi manusia
b.      Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu pengetahuan saat ini yang relevan.Konsep utama tersebut yaitu : Konsep Agama, Konsep Manusia, Konsep Pengetahuan, Konsep kearifan dan sebagainya.[8]

2.      Pembangunan Kembali Tradisi Ilmu Dalam Islam
Belajar dari bagaimana Islam pernah mencapai masa kejayaannya di Baghdad, focus gerakan pembangunannya waktu itu adalah ilmu pengetahuan. Dan itu dilakukan secara sinergis, simultan dan konsisten. Ketika membangun bayt al Hikmah misalnya, dimana waktu itu para golongan penguasa, pemerintah, elit bangsawan, militer dan tentunya para saintis kerja bahu membahu dalam pendiriannya.
Dalam konteks umat Islam dewasa ini yang pertama diperlukan adalah membangun tradisi keilmuan Islam yang serius, baik dalam bentuk pusat studi atau universitas Islam yang khas. Tugas utamanya adalah merespon tantangan keilmuan kontemporer dan menjelaskan ulang konsep-konspe dasar Islam yang relevan untuk kebutuhan ummat masa kini.
Skenario ini dapat digambarkan dari pernyataan di bawah ini :
Marilah kita meletakkan scenario hipotesis : Jika kekuasaan Islam tak dilemahkan, dan jika ekonomi Negara-negara Islam tak dihancurkan, dan jika stabilitas politik tidak diganggu.
Dan jika para ilmuwan Muslim diberi stabilitas dan kemudahan dakam waktu 500 tahun lagi.
Apakah mereka akan gagal mencapai apai yang telah dicapai Copernicus, Galileo, Kepler, dan Newton ?
Model-model planetarium Ibn al Shatir dan astronomer-astronomer Muslim yang sekualitas Copernicus
Dan yang telah mendahului mereka 200 tahun membuktikan bahwa sistim heliosentris dapat diproklamirkan oleh saintis muslim, jika komunitas mereka terus eksis dibawah scenario hipotesis ini.
Maka untuk membangun kembali tradisi ilmu diperlukan paling tidak stabilitas politik dan ekonomi, serta stabilitas Islam yang tak diganggu oleh berbagai pihak. Hal ini dapat terwujud bilamana adanya kerjasama yang sinergis antara berbagai kelompok, saintis, penguasa, militer, elit bangsawan dan sebagainya. Dari produk ini diharapkan lahir komunitas ilmuwan yang aktif tidak hanya memperdalam disiplin ilmu keislaman, tapi juga mengasimilasi dan mengislamisasikan ilmu pengetahuan kontemporer, sehingga menghasilkan disiplin ilmu baru.[9]





DAFTAR PUSTAKA
Agus Syifa, Alex Nanang, Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Tinjauan atas Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al Attas dan Ismail Raji Al Faruqy) Jurnal Kalimah, vol 10 no. 1,Fakultas Ushuluddin Institut Studi Islam Darussalam, MAret 2012 
Ma’afi. Rif’at Husnul, Konsep Tauhid Sosial ; Studi Pemikiran Ismail Raji Al Faruqi dan M. Amien Rais, Jurnal Kalimah vol 9 no 1, Fakultas Ushuluddin Institus Studi Islam Darussalam, Maret 2011.
Shalahuddin Henri, Alquran Dihujat, Al Qalam, Depok, 2007
Rasjidi, H.M, Empat Kuliah Agama Islam Pada Perguruan Tinggi, Kalam Ilmu Indonesia, Depok, 2010
Zarkasyi. Hamid Fahmy, Misykat, Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam, INSISTS dan MIUMI, Jakarta Selatan, cetakan kedua, 2012
                                          , Sinergi Membangun Peradaban Islam, 10 Tahun Insists, 2013
                                          , Liberalisasi Pemikiran Keagamaan, Proyek Gabungan Kolonialisasi, Kristenisasi, dan Orientalisme, CIOS.
                                          ,  Membangun Peradaban Islam Dengan Ilmu.


[1] Wahyu dalam Islam sendiri adalah Alquran, yang baik teks ataupun maknanya diturunkan langsung dari Allah SWT, dan Allah sendiri juga yang menjamin akan keotentikan Al Quran hingga akhir zaman. Disamping itu tradisi menjaga hafalan AL Quran dilakukan secara turun temurun dengan metode yang terpercaya, sehingga mustahil Al Quran mengalami distorsi oleh sejarah dan kebudayaan manusia. Ini berbeda dengan wahyu dalam Kristen, Bibel, ataupun agama lainnya yang mana wahyu ini mengalami perubahan menyesuaikan waktu dan konteks budaya yang melingkupinya. Adnin Armas, Islam Agam Wahyu, bukan Agama Budaya dan Sejarah, INSISTS
[2] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Keagamaan,Proyek Gabungan Kolonialisasi, Kristenisasi dan Orientalisme, hal 26, CIOS
[3] Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat, Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam, hal108, MIUMI dan INSISTS
[4] Paham esoteric dan eksoteris agama ini dikembangkan oleh salah satu pemikir muslim, Fritchuof Schuorn. Dia menggagas ide “Transendent Unity of Religion” yang menyatakan bahwa semua agama menuju satu Tuhan yang sama pada ranah yang transenden, walaupun berbeda pada ranah syari’at dan aturannya. Paham inilah yang kemudian dikembangkan oleh penganut pluralism beragama. Fritchuof Schuorn, Transendent Unity of Religion
[5] Al-Quran sendiri sebagai wahtu Tuhan telah mengandung bakal konsep (seminal concept) tentang al-ilm,al-alim(manusia) dan al ma’lum(alam semesta). Selanjutnya melalui beberapa periode sehingga Al-Quran dapat menghasilkan tradisi intelektual. Periode pertama, lahirnya pandangan hidup Islam digambarkan dari kronologi turunnya wahyu dan penjelasan nabi tentang wahyu itu. Periode kedua timbul dari kesadaran wahyu yang turun dan dijelaskan nabi itu telah mengandung struktur fundamental scientific worldview, seperti struktur tentang dunia, tentang ilmu pengetahuan dsb. Periode ketiga lahirnya traidisi keilmuan dalam Islam, yang didasari oleh wujudnya komunitas ilmuwan, dan munculnya kerangka konspe keilmuan dalam Islam. Hamid Fahmy Zarkasyi, Membangun Peradaban Islam Dengan Ilmu. Tanpa penerbit, hal 3-6
[6] Alex Nanang Agus Syifa, Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Jurnal Tsaqafah volume 10, hal 92
[7] Ibid, hal 97
[8] Ibid, hal 100
[9] Hamid Fahmy Zarkasyi, Sinergi Membangun Peradaban Islam, 10 Tahun INSISTS, hal 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar