Minggu, 05 Juni 2016

Tafsir Ayat tentang Kemasyarakatan



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat manusia dalam berbagai bentuk kesatuannya seperti komunitas, umat, negara, maupun sekadar kelembagaan organisasi adalah kategori dinamis, tidak statis. Karena itu, pola kepemimpinan yang baik selamanya harus memperhatikan dinamika masyarakat tersebut. Ungkapan seharihari bahwa seorang pemimpin harus pandai membaca tanda-tanda zaman, atau jangan sampai digulung oleh perkembangan zaman, adalah petunjuk populer ke arah ketentuan kepemimpinan yang dinamis itu. Di kalangan para pemikir syariah, kesadaran akan hal ini tercermin dalam kaidah ushûl fiqh, “Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum karena perubahan zaman.” Dalam Al-Quran Surat Al-Qashash, 28 : 28 yang berbunyi :
tA$s% šÏ9ºsŒ ÓÍ_øŠt/ y7uZ÷t/ur ( $yJ­ƒr& Èû÷,s#y_F{$# àMøŸÒs% Ÿxsù šcºurôãã ¥n?tã ( ª!$#ur 4n?tã $tB ãAqà)tR ×@Å2ur ÇËÑÈ  
“Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, Maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan".
Jika hal tersebut kita terima sebagai hukum umum, yaitu bahwa masyarakat selamanya akan mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Maka ungkapan “kepemimpinan pada masa perubahan sosial” harus dipahami sebagai acuan kepada kondisi yang sangat khusus, yaitu kondisi perubahan sosial yang besar dan fundamental. Karena kekhususannya itu, maka pola kepemimpinan yang cocok pun memerlukan sejumlah kualifikasi tertentu yang lebih daripada tuntutan pola kepemimpinan dalam kondisi normal.[1]
Untuk itu, mari kita bahas bersama-sama masalah kepemimpinan berdasarkan sumber hukum pertama (Al-Qur’an) beserta penjelasan-penjelasannya dari berbagai sumber yang ada, menggunakan metode-metode yang sudah ada maupun yang akan muncul dengan seiring berjalannya waktu.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana tafsir ayat yang bersangkutan dengan kemasyarakatan ?













BAB II
PEMBAHASAN

A. Tafsir Ayat Tentang Kemasyarakatan
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[2]
(Hai orang-orang beriman! Taatlah kamu kepada Allah dan kepada rasul-Nya serta pemegang-pemegang urusan) artinya para penguasa (di antaramu) yakni jika mereka menyuruhmu agar menaati Allah dan Rasul-Nya. (Dan jika kamu berbeda pendapat) atau bertikai paham (tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah) maksudnya kepada kitab-Nya (dan kepada Rasul) sunah-sunahnya; artinya selidikilah hal itu pada keduanya (yakni jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Demikian itu) artinya mengembalikan pada keduanya (lebih baik) bagi kamu daripada bertikai paham dan mengandalkan pendapat manusia (dan merupakan rujukan yang sebaik-baiknya). Ayat berikut ini turun tatkala terjadi sengketa di antara seorang Yahudi dengan seorang munafik. Orang munafik ini meminta kepada Kaab bin Asyraf agar menjadi hakim di antara mereka sedangkan Yahudi meminta kepada Nabi saw. lalu kedua orang yang bersengketa itu pun datang kepada Nabi saw. yang memberikan kemenangan kepada orang Yahudi. Orang munafik itu tidak rela menerimanya lalu mereka mendatangi Umar dan si Yahudi pun menceritakan persoalannya. Kata Umar kepada si munafik, "Benarkah demikian?" "Benar," jawabnya. Maka orang itu pun dibunuh oleh Umar.[3]
(Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang mengakui diri mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu; mereka hendak bertahkim kepada tagut) artinya orang yang banyak berbuat kedurhakaan, yaitu Kaab bin Asyraf (padahal mereka sudah dititahkan untuk mengingkarinya) dan tak akan memuliakan serta tidak mengangkatnya sebagai pemimpin. (Dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya) yakni dari kebenaran.[4]
Ringkasnya, kita diharuskan mematuhi pemimpin (ulil amri), tetapi tidak boleh sembarangan dalam menetapkan atau memutuskannya. Karena salah memilih seorang pemimpi akan membawa kehancuran suatu masyarakat.

B. Keterkaitan Perintah Allah dengan Hukum Kemasyarakatan (Pemimpin)
Dalam shahih Muslim diriwayatkan hadits dari Abu Dzarr:
ان رسول الله ص.م. سئل : أي الكلام أفضل ؟ قال : "ما اصطفى الله لملا ئكته سبحان الله و بحمده
"Bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya: 'Ucapan apa yang pahng baik?' Beliau menjawab: 'Yaitu apa yang dipilih oleh Allah SWT bagi para Malaikat-Nya; Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya."
Mengenai firman-Nya:  قال اني اعلم ما لا تعلمون”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Qatadah mengatakan : “Allah SWT sudah mengetahui bahwa diantara khalifah itu akan ada para Nabi, Rasul, kaum yang shalih dan para penghuni surga.”
Al-Qurthubi dan ulama lainnya menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan keharusan mengangkat pemimpin untuk memutuskan perkara di tengah-tengah ummat manusia, mengakhiri pertikaian mereka, menolong orang-orang teraniaya dari yang menzhalimi, menegakkan hukum, mencegah berbagai perbuatan keji, dan berbagai hal yang penting lainnya yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya pemimpin, dan "Sesuatu yang menjadikan suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu sendiri merupakan hal wajib pula."
Imam itu diperoleh melalui nash, sebagaimana yang dikatakan oleh segolongan ulama Ahlus Sunnah terhadap kepemimpinan Abu Bakar. Atau melalui pengisyaratan menurut pendapat lainnya. Atau melalui penunjukan pada akhir masa jabatan kepada orang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq terhadap 'Umar bin Khathab ra. Atau dengan menyerahkan permasalahan untuk dimusyawarahkan oleh orang-orang shalih, sebagaimana yang pernah dilakukan 'Umar bin al-Khathab ra. Atau dengan kesepakatan bersama ahlulhalli wal 'aqdi untuk membai'atnya, atau dengan bai'at salah seorang dari mereka kepadanya dan dengan demikian wajib diikuti oleh mayoritas anggota. Hal tersebut menurut Imam al-Haramain merupakan ijma' (konsensus), Wallahu a'lam. Atau dengan memaksa seseorang menjadi pemimpin untuk selanjutnya ditaati. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perpecahan dan perselisihan, sebagaimana dinyatakan oleh Imam asy-Syafi'i.[5]
Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada di dalamnya haruslah memerintah dam memimpin diri sendiri (Hadis : “kullukum raain wa kullukum mas uulun ‘an raiyyatih”-Mutafaqun’Alaih). Oleh karena itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaan atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan dimana keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu. Kekuatan yang sebenarnya di dalam negara ada ditangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat.
Perwujudan menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh adalah menegakkan keadilan dibidang ekonomi atau pembagian kekayaan diantara anggota masyarakat. Dalam masyarakat yang tidak menganal batas-batas individual, sejarah merupakan perjuangan dialektisyang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangangolongan yang didorong oleh ketidak serasian antara pertumbuhan kekuatan produksi disatu pihak dan pengumpuln kekayaan oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa dilain pihak. Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam.bila sudah mencapai batas maksimal, pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya.
Dalam masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk dan menyerahkan diri, manusia dapat diperbudak oleh harta benda. Tidak lagi pekerja menguasai hasil pekerjaannya, tetapi justru malah dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti keserakahan, ketamakan dan kebengisan. Oleh karena itu, menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma’ruf nahi munkar saja, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan adanya Tuhan.[6]








BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sudah menjadi kewajiban kitra selaku umat muslim untuk mencari seorang peminpin (ulil amri) yang amanat akan tanggung jawabnya. Kita tidak diperbolehkan mencari dan menentukan seorang pemimpin itu dengan sembarangan. Tujuan dari adanya seorang pemimpin di tengah-tengah masyarakat adalah untuk mempinpin masyarakat, menjadi solusi disetiap perkara dan agar tidak terjadinya perselisihan diantara masyarakat. Pemimpin juga menjadi panutan dan penggerak dalam menegakkan amar ma;ruf nahi munkar.
Jadi, pemimpin yang baik akan membawa masyarakatnya pada kedamaiaan dan kebahagiaan. Begitu pula sebaliknya, pemimpin yang buruk hanyalah akan membawa masyarakatnya kepada kehancuran. Maka pilihlah seorang pemimpin diantara kamu yang benar-benar ia bisa mengemban amanat tersebut.
Demikian yang dapat kami sampaikan, bila ada kesalahan penulisan atau yang lainnya kami mohon kritik dan saran dari para pembaca. Karena kritik dan saran dari kalian semua akan bermanfaat bagi kami. Terima kasih, semoga bermanfaat bagi kita semua.






DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Surat An-Nisa’, 4: 59
As-Syuyuti, Jalaluddin & Jalaluddin M. Ibn A. Al-Mahally. Tafsir Jalalain. Tasikmalaya : Pesantren Persatuan Islam 91. 2009
Madjid, Nurcholish dkk. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI. Bogor : Pengurus Cabang Bogor. 2011
Rachman, Budhy Munawar. Ensiklopedi Nurcholish Madjid Edisi Digital. Jakarta : Democracy Project. 2012
Syaikh, Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Isyhaq Alu. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1. Bogor : Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2003



[1] Budhy Munawar Rachman. Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Hlm 2512-2513
[2] Q.S. An-Nisa’, 4: 59
[3] Jalaluddin as-Syuyuti & Jalaluddin M. Ibn Ahmad al-Mahally. Tafsir Jalalain. An-Nisa : 59
[4] Ibid. An-Nia’ : 60
[5] DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Isyhaq Alu Syaikh. Tafsir Ibnu Kasir Jilid 1. Hlm. 97
[6] Nurcholish Majid, dkk. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI. Hlm. 15-16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar