BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masyarakat
manusia dalam berbagai bentuk kesatuannya seperti komunitas, umat, negara,
maupun sekadar kelembagaan organisasi adalah kategori dinamis, tidak statis.
Karena itu, pola kepemimpinan yang baik selamanya harus memperhatikan dinamika
masyarakat tersebut. Ungkapan seharihari bahwa seorang pemimpin harus pandai
membaca tanda-tanda zaman, atau jangan sampai digulung oleh perkembangan zaman,
adalah petunjuk populer ke arah ketentuan kepemimpinan yang dinamis itu. Di
kalangan para pemikir syariah, kesadaran akan hal ini tercermin dalam kaidah
ushûl fiqh, “Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum karena perubahan
zaman.” Dalam Al-Quran Surat Al-Qashash, 28 : 28 yang berbunyi :
tA$s% Ï9ºs ÓÍ_øt/ y7uZ÷t/ur ( $yJr& Èû÷,s#y_F{$# àMøÒs% xsù cºurôãã ¥n?tã ( ª!$#ur 4n?tã $tB ãAqà)tR ×@Å2ur ÇËÑÈ
“Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan
kamu. mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, Maka
tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). dan Allah adalah saksi atas apa
yang kita ucapkan".
Jika hal
tersebut kita terima sebagai hukum umum, yaitu bahwa masyarakat selamanya akan
mengalami perubahan dari zaman ke zaman. Maka ungkapan “kepemimpinan pada masa
perubahan sosial” harus dipahami sebagai acuan kepada kondisi yang sangat
khusus, yaitu kondisi perubahan sosial yang besar dan fundamental. Karena kekhususannya
itu, maka pola kepemimpinan yang cocok pun memerlukan sejumlah kualifikasi tertentu
yang lebih daripada tuntutan pola kepemimpinan dalam kondisi normal.[1]
Untuk itu, mari
kita bahas bersama-sama masalah kepemimpinan berdasarkan sumber hukum pertama
(Al-Qur’an) beserta penjelasan-penjelasannya dari berbagai sumber yang ada,
menggunakan metode-metode yang sudah ada maupun yang akan muncul dengan seiring
berjalannya waktu.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimana tafsir ayat yang bersangkutan dengan kemasyarakatan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir Ayat Tentang Kemasyarakatan
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[2]
(Hai
orang-orang beriman! Taatlah kamu kepada Allah dan kepada rasul-Nya serta
pemegang-pemegang urusan) artinya para penguasa (di antaramu) yakni jika mereka
menyuruhmu agar menaati Allah dan Rasul-Nya. (Dan jika kamu berbeda pendapat)
atau bertikai paham (tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah)
maksudnya kepada kitab-Nya (dan kepada Rasul) sunah-sunahnya; artinya
selidikilah hal itu pada keduanya (yakni jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari akhir. Demikian itu) artinya mengembalikan pada keduanya (lebih
baik) bagi kamu daripada bertikai paham dan mengandalkan pendapat manusia (dan
merupakan rujukan yang sebaik-baiknya). Ayat berikut ini turun tatkala terjadi
sengketa di antara seorang Yahudi dengan seorang munafik. Orang munafik ini
meminta kepada Kaab bin Asyraf agar menjadi hakim di antara mereka sedangkan
Yahudi meminta kepada Nabi saw. lalu kedua orang yang bersengketa itu pun
datang kepada Nabi saw. yang memberikan kemenangan kepada orang Yahudi. Orang
munafik itu tidak rela menerimanya lalu mereka mendatangi Umar dan si Yahudi
pun menceritakan persoalannya. Kata Umar kepada si munafik, "Benarkah
demikian?" "Benar," jawabnya. Maka orang itu pun dibunuh oleh
Umar.[3]
(Tidakkah kamu
perhatikan orang-orang yang mengakui diri mereka telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu; mereka hendak
bertahkim kepada tagut) artinya orang yang banyak berbuat kedurhakaan, yaitu
Kaab bin Asyraf (padahal mereka sudah dititahkan untuk mengingkarinya) dan tak
akan memuliakan serta tidak mengangkatnya sebagai pemimpin. (Dan setan
bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya) yakni dari
kebenaran.[4]
Ringkasnya,
kita diharuskan mematuhi pemimpin (ulil amri), tetapi tidak boleh
sembarangan dalam menetapkan atau memutuskannya. Karena salah memilih seorang
pemimpi akan membawa kehancuran suatu masyarakat.
B. Keterkaitan Perintah Allah dengan
Hukum Kemasyarakatan (Pemimpin)
Dalam shahih
Muslim diriwayatkan hadits dari Abu Dzarr:
ان
رسول الله ص.م. سئل : أي الكلام أفضل ؟ قال : "ما اصطفى الله لملا ئكته سبحان
الله و بحمده
"Bahwa
Rasulullah SAW pernah ditanya: 'Ucapan apa yang pahng baik?' Beliau menjawab: 'Yaitu apa
yang dipilih oleh Allah SWT bagi para Malaikat-Nya; Mahasuci Allah, segala puji
bagi-Nya."
Mengenai
firman-Nya: قال
اني اعلم ما لا تعلمون”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Qatadah mengatakan : “Allah SWT sudah mengetahui bahwa diantara khalifah itu akan
ada para Nabi, Rasul, kaum yang shalih dan para penghuni surga.”
Al-Qurthubi dan
ulama lainnya menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan keharusan
mengangkat pemimpin untuk memutuskan perkara di tengah-tengah ummat manusia,
mengakhiri pertikaian mereka, menolong orang-orang teraniaya dari yang
menzhalimi, menegakkan hukum, mencegah berbagai perbuatan keji, dan berbagai
hal yang penting lainnya yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya
pemimpin, dan "Sesuatu yang menjadikan suatu kewajiban tidak sempurna
kecuali dengannya, maka sesuatu itu sendiri merupakan hal wajib pula."
Imam itu
diperoleh melalui nash, sebagaimana yang dikatakan oleh segolongan ulama
Ahlus Sunnah terhadap kepemimpinan Abu Bakar. Atau melalui pengisyaratan menurut
pendapat lainnya. Atau melalui penunjukan pada akhir masa jabatan kepada orang
lain, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq terhadap
'Umar bin Khathab ra. Atau dengan menyerahkan permasalahan untuk
dimusyawarahkan oleh orang-orang shalih, sebagaimana yang pernah dilakukan
'Umar bin al-Khathab ra. Atau dengan kesepakatan bersama ahlulhalli wal
'aqdi untuk membai'atnya, atau dengan bai'at salah seorang dari mereka
kepadanya dan dengan demikian wajib diikuti oleh mayoritas anggota. Hal tersebut
menurut Imam al-Haramain merupakan ijma' (konsensus), Wallahu a'lam. Atau
dengan memaksa seseorang menjadi pemimpin untuk selanjutnya ditaati. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi perpecahan dan perselisihan, sebagaimana dinyatakan
oleh Imam asy-Syafi'i.[5]
Pada dasarnya
masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada di dalamnya haruslah
memerintah dam memimpin diri sendiri (Hadis : “kullukum raain wa kullukum
mas uulun ‘an raiyyatih”-Mutafaqun’Alaih). Oleh karena itu pemerintah
haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari masyarakat sendiri. Pemerintah
haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,
menjalankan kebijaksanaan atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan
dimana keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu. Kekuatan yang
sebenarnya di dalam negara ada ditangan rakyat, dan pemerintah harus
bertanggung jawab pada rakyat.
Perwujudan
menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh adalah menegakkan keadilan
dibidang ekonomi atau pembagian kekayaan diantara anggota masyarakat. Dalam
masyarakat yang tidak menganal batas-batas individual, sejarah merupakan
perjuangan dialektisyang berjalan tanpa kendali dari
pertentangan-pertentangangolongan yang didorong oleh ketidak serasian antara
pertumbuhan kekuatan produksi disatu pihak dan pengumpuln kekayaan oleh
golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa dilain pihak. Karena
kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara
kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam.bila sudah mencapai batas maksimal,
pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan
membinasakan kemanusiaan dan peradabannya.
Dalam
masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk dan
menyerahkan diri, manusia dapat diperbudak oleh harta benda. Tidak lagi pekerja
menguasai hasil pekerjaannya, tetapi justru malah dikuasai oleh hasil pekerjaan
itu. Kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti
keserakahan, ketamakan dan kebengisan. Oleh karena itu, menegakkan keadilan
bukan saja dengan amar ma’ruf nahi munkar saja, tetapi juga melalui pendidikan
yang intensif pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari
secara mendalam akan adanya Tuhan.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sudah menjadi
kewajiban kitra selaku umat muslim untuk mencari seorang peminpin (ulil amri)
yang amanat akan tanggung jawabnya. Kita tidak diperbolehkan mencari dan
menentukan seorang pemimpin itu dengan sembarangan. Tujuan dari adanya seorang
pemimpin di tengah-tengah masyarakat adalah untuk mempinpin masyarakat, menjadi
solusi disetiap perkara dan agar tidak terjadinya perselisihan diantara
masyarakat. Pemimpin juga menjadi panutan dan penggerak dalam menegakkan amar
ma;ruf nahi munkar.
Jadi, pemimpin
yang baik akan membawa masyarakatnya pada kedamaiaan dan kebahagiaan. Begitu
pula sebaliknya, pemimpin yang buruk hanyalah akan membawa masyarakatnya kepada
kehancuran. Maka pilihlah seorang pemimpin diantara kamu yang benar-benar ia
bisa mengemban amanat tersebut.
Demikian yang
dapat kami sampaikan, bila ada kesalahan penulisan atau yang lainnya kami mohon
kritik dan saran dari para pembaca. Karena kritik dan saran dari kalian semua
akan bermanfaat bagi kami. Terima kasih, semoga bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Surat An-Nisa’, 4: 59
As-Syuyuti,
Jalaluddin & Jalaluddin M. Ibn A. Al-Mahally. Tafsir Jalalain.
Tasikmalaya : Pesantren Persatuan Islam 91. 2009
Madjid,
Nurcholish dkk. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI. Bogor : Pengurus
Cabang Bogor. 2011
Rachman,
Budhy Munawar. Ensiklopedi Nurcholish Madjid Edisi Digital. Jakarta :
Democracy Project. 2012
Syaikh,
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Isyhaq Alu. Tafsir Ibnu Katsir
Jilid 1. Bogor : Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2003
[1]
Budhy Munawar Rachman. Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Hlm 2512-2513
[2]
Q.S. An-Nisa’, 4: 59
[3]
Jalaluddin as-Syuyuti & Jalaluddin M. Ibn Ahmad al-Mahally. Tafsir
Jalalain. An-Nisa : 59
[4]
Ibid. An-Nia’ : 60
[5]
DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Isyhaq Alu Syaikh. Tafsir Ibnu
Kasir Jilid 1. Hlm. 97
[6]
Nurcholish Majid, dkk. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI. Hlm. 15-16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar