Selasa, 07 Juni 2016

Ibnu Ryush



A. Latar Belakang
Peradaban Islam merupakan perkembangan umat muslim baik dalam hal seni, budaya, dan ilmu pengetahuan. Salah satu bagian dari peradaban Islam dalam ilmu pengetahuan adalah munculnya pemikiran-pemikiran dari para filosof muslim di berbagai belahan dunia yang mempengaruhi perkembangan dunia hingga masa modern ini.
Pemikiran filsuf muslim di sebaran Timur Tengah banyak menjadi sorotan bagi umat muslim dunia saat ini. Namun, pemikiran-pemikiran Islam yang muncul di belahan dunia lainnya juga menjadi perhatian bagi umat muslim dunia.  Pemikiran Islam modern di barat merupakan salah satu bagian dari Peradaban Islam yang sangat mempengaruhi perkembangan dunia.
Dalam karya ini akan lebih difokuskan pada filosof muslim dari Spanyol mempunyai pengaruh besar di dunia. Yang menyebabkan berkembangnya pemikiran di dunia khususnya di dunia barat. Filsuf tersebut dikenal dengan panggilan Averrois. Yang akan dibahas mengenai filosof tersebut adalah: sejarah hidup dan karya-karyanya, sanggahannya terhadap al-Ghazali tentang pemikiran para filosof muslim, serta filsafat kenabian menurut Averrois.

B. Biografi Ibn ar-Rusyd
Nama lengkap Ibn Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, yang paling termansyur diantara pemikir muslim di Eropa dan terkenal dengan Averrois. Dilahirkan di Cordova pada tahun 520 H (1126 M) dan wafat di Maroko pada 595 H (1198 M). Dia tumbuh dalam keluarga ilmuwan.[1] Kakeknya adalah seorang hakim kepala pada pengadilan tinggi Andalusia sekaligus sebagai imam agung masjid Jami’ Cordova. Kedudukan serupa juga dijabat oleh ayahnya dan dia sendiri, dikemudian hari. Dia belajar ilmu kedokteran pada Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan ibn Jarbul al Balansi, dan belajar filsafat pada Ibn Tufail. Walaupun pada kasus yang terakhir ini ada yang meragukannya karena dia bertemu Ibn Tufail setelah berumur lebih dari 40 tahun. Karena bekal dasar intelegensinya yang tinggi, bukan hanya ilmu kedokteran dan filsafat yang dikuasainya, tapi juga ilmu-ilmu lain seperti Fiqih, bahasa, dan Astronomi. inilah yang membuatnya mengungguli filosof-filosof yang lain, karena selain  seorang filosof tetapi ia juga seorang faqih.[2]
Dalam buku karangan Nurcholis Madjid, dijelaskan tentang penamaan Ibnu Rusyd, bahwa penyebutan Averrois untuk Ibnu Rusyd adalah akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Oleh orang Yahudi, kata Arab Ibnu diucapkan dalam bahasa Yahudi dengan Aben. Sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam bahasa Spanyol huruf konsonan ‘b’ diubah menjadi ‘v’, maka Aben menjadi Aven Rochd. Melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dalam bahasa Arab disebut Idgham kemudian berubah menjadi Averrochd, karena dalam bahasa Latin tidak ada huruf ‘sy’, huruf ‘sy’ dan d dianggap dengan ‘s’ sehingga menjadi Averriosd. Kemudian, rentetan ‘s’ dan ‘d’ dianggap sulit dalam bahasa Latin, maka huruf  d’ dihilangkan sehingga menjadi Averros. Agar tidak terjadi kekacauan antara huruf ‘s’ dengan ‘s’ posesif maka antara ‘o’ dan ‘s’ diberi sisipan ‘e’ sehingga Averroes, dan ‘e’ sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois.[3]

C. Karya-Karya Ibn Rusyd
Diantara karya-karyanya yang masih bisa dijumpai adalah sebagai berikut :
1.      Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Mustashid fi al-Fiqh.
2.      Kitab al-Kulliyat fi al-Thib, telah diterjemahkan dalam bahasa Latin, Coliget.
3.      Tahafut al-Tahafut, yang merupakan sanggahan terhadap Kitab Al-Gazali, Tahafut al-Falasifah, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi Thomas van Aquinas.
4.      Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah.
5.      Fashl al-Maqal fiima bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, mencoba mempertemukan agama dengan filsafat.
6.      Dhamimah li Masalah al-Qadim.[4]

D. Sanggahan Ibn Rusyd Terhadap al-Ghazali Tentang Pemikiran Para Filosof
Sehubungan serangan dan pengkafiran Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para filosof dari serangan dan pengkafiran tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis buku Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Dari 20 persoalan yang dilontarkan al-Ghazali ada 3 hal yang dianggap paling membahayakan “kestabilan” umat yaitu : Qadimnya Alam, Pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal partikular, dan kebangkitan jasmani.[5]
1. Qadimnya alam
Menurut Al-Ghazali, pendapat para filosof bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam. Karena menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini yang memunculkan bentuk kekafiran. Ibn Rusyd, begitu juga para filosof  lainnya, berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), atau kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada (al-wujud). Yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.
Menurut al-Ghazali, sesuai dengan kaum teolog Muslim, bahwa alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (al-’ijad min al’adam, atau cretio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak membutuhkan yang mengadakan. Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim, alam ini qadim, artinya alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.[6]
Bagi Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan qadimnya Allah.  Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-’adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal alam ini mesti qadim.
Al-Ghazali di sini juga membantah bahwa perkataan “Tuhan lebih dahulu adanya daripada alam dan masa” ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum ada, kemudian Tuhan ada bersama-sama dengan alam. Dalam keadaan pertama kita membayangkan adanya zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua kita membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu ada zat (wujud) yang ketiga, yaitu masa, apalagi yang dimaksud dengan masa ialah gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah barang tentu belum adanya masa.
Dalam Fashl al-Maqal..., Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara mereka tentang alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau semantik.  Lebih lanjut dijelaskan, mereka sepakat bahwa segala yang ada ini terbagi ke dalam tiga jenis:
a.       Jenis Pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dari sesuatu, dengan arti wujudnya ada Pencipta dan yang diciptakan dari benda serta didahului dengan indera, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka namakan dengan Baharu.
b.      Jenis Kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman. Wjud ini sepakat mereka namakan dengan qadim. Ia hanya dapat diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan memeliharanya. Wujud yang qadim inilah yang disebut Allah.
c.       Jenis Ketiga, Wujud yang ketiga ini adalah wujud di tengah-tengah antara kedua jenis di atas, yaitu wujud yang buka dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman, tetapi terjadinya karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam semesta. Wujud alam ini ada kemiripannya dengan wujud jenis pertama dan yang kedua. Dikatakan mirip dengan jenis yang pertama karena wujudnya dapat kita saksikan dengan indera, dan dikatakan wujudnya mirip dengan jenis yang kedua karena wujudnya tidak didahului oleh zaman dan adanya sejak azali. Yang mengutamakan kemiripannya dengan baharu, maka wujud alam ini mereka sebut baharu, dan siapa yang mengutamakan kemiripannya dengan yang qadim, maka mereka katakan ala ini qadim. Namun sebenarnya, wujud pertengahan (alam) ini tidak benar-benar qadim dan tidak pula benar-benar baharu. Sebab, yang benar-benar qadim adanya tanpa sebab, dan yang benar-benar baharu pasti bersifat rusak.[7]
2. Pengetahuan Tuhan tentang hal-hal yang partikular (juz’iyat)
Masalah Kedua yang digugat oleh Al-Ghazali adalah tentang pengetahuan Tuhan terhadap hal-hal kecil.  Golongan filsuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal (peristiwa-peristiwa) rincian, kecuali dengan cara yang umum. Alasan mereka ialah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui. Dengan perkataan lain, perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu ini berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya, berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi (mustahil).
Kritik al-Ghazali kedua adalah tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya mengetahui tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha Segala Tahu, tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan. Menurut Al-Ghazali, setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan, dan juga setiap yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu yang secara rinci.
Mengenai penjelasan di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam hal ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut.
Ibn Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-Ghazali. Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filosof tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan antara Al-Ghazali dan para filosof timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juz’iyyah) yang materi itu.[8]
3. Kebangkitan jasmani
Masalah yang ketiga yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani. Masalah yang terakhir ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik) manusia yang telah mati akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut tidak menutup kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik manusia yang lain. Dengan demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisik yang tidak sempurna. Menurut Ibnu Rusyd, filosof mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani. Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini. Jadi para filosof tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa filosof hanya berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani.
Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pertentangan antara Ibn Rusyd  dengan al-Ghazali  berkisar sekitar interprestasi tentang ajaran-ajaran dasar Islam, bukan tentang terima atau tolaknya ajaran-ajaran dasar itu sendiri. Baik Ibn Rusyd maupun al-Ghazali tetap mengakui Tuhan sebagai pencipta alam diciptakan. Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd, tuduhan kafir yang dilontarkan al-Ghazâlî terhadap para filosof muslim dalam tiga butir masalah di atas tidak pada tempatnya. Ini dikarenakan antara al-Ghazâlî dengan filosof muslim terdapat perbedaan pandangan terhadap ayat-ayat  kebangkitan akhirat misalnya. Hal ini lumrah terjadi di kalangan ulama Islam. Kendatipun diandaikan interpretasi mereka keliru, namun kesalahan mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Ini sesuai sabda Nabi “Jika seorang benar dalam ijtihadnya ia mendapat dua pahala, dan jika salah, mendapat satu”. Jika tuduhan dilontarkan kepada para filosof muslim karena melanggar ijma’, maka dalam pemikiran tidak terjadi ijma’ ulama secara pasti.[9]

E. Kesimpulan
Nama lengkap Ibn Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Wusyd, yang paling termansyur diantara pemikir muslim di Eropa dan terkenal pula dengan Ibn Rusyd cucu. Dilahirkan di Cordova pada tahun 520 H (1126 M) dan wafat di Maroko pada 595 H (1198 M). Dia tumbuh dalam keluarga ilmuwan.
Sanggahan-sanggahan yang dilontarkan oleh Ibn ar-Rusyd terhadap al-Ghazali tentang pemikiran para filosof terrangkum dalam 3 pokok bahasan. Yaitu: qodimnya alam, pengetahuan tuhan tentang hal-hal yang bersifat juz’iyat, dan kebangkitan jasmani. Menurutnya ini hanyalah sebuah kesalah-pahaman diantara al-Ghazali dengan para filosof paripatetik. Perbedaan mendasarnya adalah pijakan yang digunakan oleh keduanya. Al-Ghazali berpijak pada tasawuf, sedangkan para filosof berpijak pada rasio. Namun subtansinya sama, mereka sama-sama mempercayai bahwa adanya pencipta, percaya tetang keagungan Tuhan, dan percaya bahwa akan ada dunia setelah kematian.

Daftar Pustaka
Dasoeki, Thawil Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang : Dina Utama Semarang. 1993
Khan, Ali Mahdi. Dasar-Dasar Filsafat Islam Pengantar ke Gerbang Pemikiran. Bandung : Penerbit Nuansa. 2004
Madjid, Nurcholis.  Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta : Paramadina. 1997
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Cet. Ke-3. Jakarta : Gaya Media Pratama. 2002
Suyono, Yusuf. Bersama Ibn Rusyd Menengahi Filsafat dan Ortodoksi. Semarang : Walisongo Press. 2008
Zakiah Daradjat, dkk. Pengantar Filsafat Islam. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Jam'ah Ar-Raniry Banda Aceh. 1983
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya.  Jakarta : RajaGrafimdo Persada. 2012


[1] Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam Pengantar ke Gerbang Pemikiran, (Bandung : Penerbit Nuansa, 2004), hlm. 106
[2] Yusuf Suyono, Bersama Ibn Rusyd Menengahi Filsafat dan Ortodoksi, (Semarang : Walisongo Press, 2008), hlm. 13-14
[3] Nurcholis Madjid,  Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 94-95 
[4] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang; Dina Utama Semarang, 1993), hlm.. 86
[5] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 83-84
[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya,  Jakarta: RajaGrafimdo Persada, 2012, hlm. 226-228
[7] Zakiah Daradjat,dkk. Pengantar Filsafat Islam. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Jam'ah Ar-Raniry Banda Aceh.1983. hlm. 100
[8] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam...op.cit., hlm. 229-230
[9] Ibid, hlm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar