A. Latar
Belakang
Peradaban
Islam merupakan perkembangan umat muslim baik dalam hal seni, budaya, dan ilmu
pengetahuan. Salah satu bagian dari peradaban Islam dalam ilmu pengetahuan
adalah munculnya pemikiran-pemikiran dari para filosof muslim di berbagai
belahan dunia yang mempengaruhi perkembangan dunia hingga masa modern ini.
Pemikiran
filsuf muslim di sebaran Timur Tengah banyak menjadi sorotan bagi umat muslim
dunia saat ini. Namun, pemikiran-pemikiran Islam yang muncul di belahan dunia
lainnya juga menjadi perhatian bagi umat muslim dunia. Pemikiran Islam
modern di barat merupakan salah satu bagian dari Peradaban Islam yang sangat
mempengaruhi perkembangan dunia.
Dalam
karya ini akan lebih difokuskan pada filosof muslim dari Spanyol mempunyai
pengaruh besar di dunia. Yang menyebabkan berkembangnya pemikiran di dunia
khususnya di dunia barat. Filsuf tersebut dikenal dengan panggilan Averrois.
Yang akan dibahas mengenai filosof tersebut adalah: sejarah hidup dan
karya-karyanya, sanggahannya terhadap al-Ghazali tentang pemikiran para filosof
muslim, serta filsafat kenabian menurut Averrois.
B. Biografi Ibn
ar-Rusyd
Nama
lengkap Ibn Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad ibn Ahmad
ibn Rusyd, yang paling termansyur diantara pemikir muslim di Eropa dan terkenal
dengan Averrois. Dilahirkan di Cordova pada tahun 520 H (1126 M) dan wafat di
Maroko pada 595 H (1198 M). Dia tumbuh dalam keluarga ilmuwan.[1] Kakeknya
adalah seorang hakim kepala pada pengadilan tinggi Andalusia sekaligus sebagai imam
agung masjid Jami’ Cordova. Kedudukan serupa juga dijabat oleh ayahnya dan dia
sendiri, dikemudian hari. Dia belajar ilmu kedokteran pada Abu Ja’far Harun dan
Abu Marwan ibn Jarbul al Balansi, dan belajar filsafat pada Ibn Tufail.
Walaupun pada kasus yang terakhir ini ada yang meragukannya karena dia bertemu
Ibn Tufail setelah berumur lebih dari 40 tahun. Karena bekal dasar
intelegensinya yang tinggi, bukan hanya ilmu kedokteran dan filsafat yang
dikuasainya, tapi juga ilmu-ilmu lain seperti Fiqih, bahasa, dan Astronomi.
inilah yang membuatnya mengungguli filosof-filosof yang lain, karena
selain seorang filosof tetapi ia juga seorang faqih.[2]
Dalam buku karangan Nurcholis Madjid, dijelaskan
tentang penamaan Ibnu Rusyd, bahwa penyebutan Averrois untuk Ibnu Rusyd adalah
akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Oleh orang Yahudi,
kata Arab Ibnu diucapkan dalam bahasa Yahudi dengan Aben.
Sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan
demikian nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan tetapi, dalam bahasa
Spanyol huruf konsonan ‘b’ diubah menjadi ‘v’, maka Aben
menjadi Aven Rochd. Melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dalam
bahasa Arab disebut Idgham kemudian berubah menjadi Averrochd, karena
dalam bahasa Latin tidak ada huruf ‘sy’, huruf ‘sy’ dan d
dianggap dengan ‘s’ sehingga menjadi Averriosd. Kemudian,
rentetan ‘s’ dan ‘d’ dianggap sulit dalam bahasa Latin, maka
huruf ‘d’ dihilangkan sehingga
menjadi Averros. Agar tidak terjadi kekacauan antara huruf ‘s’ dengan ‘s’
posesif maka antara ‘o’ dan ‘s’ diberi sisipan ‘e’ sehingga Averroes,
dan ‘e’ sering mendapat tekanan sehingga menjadi Averrois.[3]
C. Karya-Karya
Ibn Rusyd
Diantara
karya-karyanya yang masih bisa dijumpai adalah sebagai berikut :
1.
Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Mustashid fi al-Fiqh.
2.
Kitab al-Kulliyat fi al-Thib, telah diterjemahkan dalam bahasa
Latin, Coliget.
3.
Tahafut al-Tahafut, yang merupakan sanggahan terhadap Kitab Al-Gazali, Tahafut
al-Falasifah, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi
Thomas van Aquinas.
4.
Al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah.
5.
Fashl al-Maqal fiima bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, mencoba mempertemukan
agama dengan filsafat.
D. Sanggahan Ibn Rusyd Terhadap al-Ghazali Tentang Pemikiran Para
Filosof
Sehubungan
serangan dan pengkafiran Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para filosof dari
serangan dan pengkafiran tersebut. Dalam rangka pembelaan itulah ia menulis
buku Tahafut al-Tahafut (Kekacauan dalam Kekacauan). Dari 20 persoalan yang
dilontarkan al-Ghazali ada 3 hal yang dianggap paling
membahayakan “kestabilan” umat yaitu : Qadimnya Alam, Pengetahuan
Tuhan terhadap hal-hal partikular, dan kebangkitan jasmani.[5]
1. Qadimnya
alam
Menurut
Al-Ghazali, pendapat para filosof bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula
tidak dapat diterima kalangan teologi Islam. Karena menurut konsep teologi
Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu
dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula,
berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta.
Pendapat seperti ini yang memunculkan bentuk kekafiran. Ibn Rusyd, begitu juga
para filosof lainnya, berpendapat bahwa creatio
ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam),
atau kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada (al-wujud). Yang
mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah
menjadi “ada” dalam bentuk lain.
Menurut
al-Ghazali, sesuai dengan kaum teolog Muslim, bahwa alam diciptakan Allah dari
tiada menjadi ada (al-’ijad min al’adam, atau cretio ex nihilo).
Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Yang ada tidak
membutuhkan yang mengadakan. Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada
menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim, alam ini qadim, artinya
alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.[6]
Bagi
Ibnu Rusyd, Al-Ghazali telah keliru dalam menarik kesimpulan bahwa tidak ada
seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qadimnya alam sama dengan
qadimnya Allah. Akan tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah
menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-’adam),
menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi.
Dari tidak ada (nihil) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itu, materi asal
alam ini mesti qadim.
Al-Ghazali
di sini juga membantah bahwa perkataan “Tuhan lebih dahulu adanya daripada
alam dan masa” ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedangkan alam belum
ada, kemudian Tuhan ada bersama-sama dengan alam. Dalam keadaan pertama kita
membayangkan adanya zat yang sendirian, yaitu zat Tuhan, dan dalam keadaan
kedua kita membayangkan dua zat, yaitu zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu
ada zat (wujud) yang ketiga, yaitu masa, apalagi yang dimaksud dengan masa
ialah gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam) sudah
barang tentu belum adanya masa.
Dalam
Fashl al-Maqal..., Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa perselisihan antara
mereka tentang alam ini hanyalah perselisihan dari segi penamaan atau
semantik. Lebih lanjut dijelaskan, mereka sepakat bahwa segala yang ada
ini terbagi ke dalam tiga jenis:
a.
Jenis Pertama, wujudnya karena sesuatu yang lain dari sesuatu, dengan arti
wujudnya ada Pencipta dan yang diciptakan dari benda serta didahului dengan
indera, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, dan lainnya. Wujud ini mereka
namakan dengan Baharu.
b.
Jenis Kedua, wujudnya tidak karena sesuatu, tidak pula dari sesuatu dan tidak
didahului oleh zaman. Wjud ini sepakat mereka namakan dengan qadim. Ia hanya
dapat diketahui dengan bukti pikiran. Ia yang menciptakan segala yang ada dan
memeliharanya. Wujud yang qadim inilah yang disebut Allah.
c.
Jenis Ketiga, Wujud yang ketiga ini adalah wujud di tengah-tengah antara kedua
jenis di atas, yaitu wujud yang buka dari sesuatu, tidak didahului oleh zaman,
tetapi terjadinya karena sesuatu (diciptakan). Wujud jenis ini adalah alam
semesta. Wujud alam ini ada kemiripannya dengan wujud jenis pertama dan yang kedua.
Dikatakan mirip dengan jenis yang pertama karena wujudnya dapat kita saksikan
dengan indera, dan dikatakan wujudnya mirip dengan jenis yang kedua karena
wujudnya tidak didahului oleh zaman dan adanya sejak azali. Yang mengutamakan
kemiripannya dengan baharu, maka wujud alam ini mereka sebut baharu, dan siapa
yang mengutamakan kemiripannya dengan yang qadim, maka mereka katakan ala ini
qadim. Namun sebenarnya, wujud pertengahan (alam) ini tidak benar-benar qadim
dan tidak pula benar-benar baharu. Sebab, yang benar-benar qadim adanya tanpa
sebab, dan yang benar-benar baharu pasti bersifat rusak.[7]
2. Pengetahuan
Tuhan tentang hal-hal yang partikular (juz’iyat)
Masalah
Kedua yang digugat oleh Al-Ghazali adalah tentang pengetahuan Tuhan terhadap
hal-hal kecil. Golongan filsuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mengetahui
hal-hal (peristiwa-peristiwa) rincian, kecuali dengan cara yang umum. Alasan
mereka ialah bahwa yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah,
sedangkan ilmu selalu mengikuti apa yang diketahui. Dengan perkataan lain,
perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu ini
berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu atau sebaliknya, berarti Tuhan
mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi
(mustahil).
Kritik
al-Ghazali kedua adalah tentang pernyataan yang mengatakan bahwa Tuhan hanya
mengetahui tentang diri-Nya, atau pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan Maha
Segala Tahu, tetapi pengetahuan-Nya itu bersifat kulli, tidak dapat dibenarkan.
Menurut Al-Ghazali, setiap yang maujud ini diciptakan karena kehendak Tuhan,
dan juga setiap yang terjadi di alam ini atas kehendak-Nya. Tentulah seluruhnya
itu diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang
dikehendakinya. Jadi, Tuhan tentunya mengetahui segala sesuatu yang secara
rinci.
Mengenai
penjelasan di atas, Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal
yang kecil, tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah
pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu.
Dalam hal ini, Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal
kecil tersebut.
Ibn
Rusyd rupanya ingin mengklarifikasi permasalahan yang diungkap oleh Al-Ghazali.
Menurut Ibn Rusyd, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filosof
tidak ada yang mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa
pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan
pengetahuan manusia tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd, pertentangan
antara Al-Ghazali dan para filosof timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan
dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh
melalui panca indera, dan dengan panca indera ini pulalah pengetahuan manusia
tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang
dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui
akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juz’iyyah)
yang materi itu.[8]
3. Kebangkitan
jasmani
Masalah
yang ketiga yang digugat oleh al-Ghazali adalah kebangkitan jasmani. Masalah
yang terakhir ini, para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena
mereka menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur jasmani (fisik)
manusia yang telah mati akan diproses oleh alam. Proses alam panjang tersebut
tidak menutup kemungkinan merubah unsur pertama menjadi bagian dari fisik
manusia yang lain. Dengan demikian, jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam
bentuk fisiknya yang semula, maka terdapat kemungkinan manusia yang
dibangkitkan dalam bentuk fisik yang tidak sempurna. Menurut Ibnu Rusyd, filosof
mengakui tentang adanya kebangkitan di akhirat, tetapi mereka berbeda
interpretasi mengenai bentuknya. Ada yang mengatakan bahwa yang akan
dibangkitkan hanya rohani saja dan ada yang mengatakan jasmani dan rohani.
Namun yang pasti, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan didunia ini.
Jadi para filosof tidak berpendapat seperti yang dituduhkan Al-Ghazali bahwa
filosof hanya berpaham bahwa kebangkitan hanya bersifat rohani.
Dari
uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pertentangan antara Ibn
Rusyd dengan al-Ghazali berkisar sekitar interprestasi tentang
ajaran-ajaran dasar Islam, bukan tentang terima atau tolaknya ajaran-ajaran
dasar itu sendiri. Baik Ibn Rusyd maupun al-Ghazali tetap mengakui Tuhan
sebagai pencipta alam diciptakan. Dengan demikian, menurut Ibn Rusyd, tuduhan
kafir yang dilontarkan al-Ghazâlî terhadap para filosof muslim dalam tiga
butir masalah di atas tidak pada tempatnya. Ini dikarenakan antara
al-Ghazâlî dengan filosof muslim terdapat perbedaan pandangan terhadap
ayat-ayat kebangkitan akhirat misalnya.
Hal ini lumrah terjadi di kalangan ulama Islam. Kendatipun diandaikan
interpretasi mereka keliru, namun kesalahan mereka termasuk kesalahan ijtihad
yang bisa dimaafkan. Ini sesuai sabda Nabi “Jika seorang benar dalam ijtihadnya
ia mendapat dua pahala, dan jika salah, mendapat satu”. Jika tuduhan
dilontarkan kepada para filosof muslim karena melanggar ijma’, maka dalam pemikiran
tidak terjadi ijma’ ulama secara pasti.[9]
E. Kesimpulan
Nama
lengkap Ibn Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad ibn Ahmad
ibn Wusyd, yang paling termansyur diantara pemikir muslim di Eropa dan terkenal
pula dengan Ibn Rusyd cucu. Dilahirkan di Cordova pada tahun 520 H (1126 M) dan
wafat di Maroko pada 595 H (1198 M). Dia tumbuh dalam keluarga ilmuwan.
Sanggahan-sanggahan
yang dilontarkan oleh Ibn ar-Rusyd terhadap al-Ghazali tentang pemikiran para
filosof terrangkum dalam 3 pokok bahasan. Yaitu: qodimnya alam, pengetahuan
tuhan tentang hal-hal yang bersifat juz’iyat, dan kebangkitan jasmani.
Menurutnya ini hanyalah sebuah kesalah-pahaman diantara al-Ghazali dengan para
filosof paripatetik. Perbedaan mendasarnya adalah pijakan yang digunakan oleh
keduanya. Al-Ghazali berpijak pada tasawuf, sedangkan para filosof berpijak
pada rasio. Namun subtansinya sama, mereka sama-sama mempercayai bahwa adanya
pencipta, percaya tetang keagungan Tuhan, dan percaya bahwa akan ada dunia
setelah kematian.
Daftar Pustaka
Dasoeki,
Thawil Akhyar. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang : Dina
Utama Semarang. 1993
Khan,
Ali Mahdi. Dasar-Dasar Filsafat Islam Pengantar ke Gerbang Pemikiran.
Bandung : Penerbit Nuansa. 2004
Madjid, Nurcholis. Kaki Langit Peradaban
Islam. Jakarta : Paramadina. 1997
Nasution,
Hasyimsyah. Filsafat Islam. Cet. Ke-3. Jakarta : Gaya Media Pratama.
2002
Suyono,
Yusuf. Bersama Ibn Rusyd Menengahi Filsafat dan Ortodoksi. Semarang :
Walisongo Press. 2008
Zakiah
Daradjat, dkk. Pengantar Filsafat Islam. Proyek Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama IAIN Jam'ah Ar-Raniry Banda Aceh. 1983
Zar,
Sirajuddin. Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya. Jakarta
: RajaGrafimdo Persada. 2012
[1]
Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam
Pengantar ke Gerbang Pemikiran, (Bandung : Penerbit Nuansa, 2004), hlm. 106
[2]
Yusuf Suyono, Bersama Ibn Rusyd Menengahi
Filsafat dan Ortodoksi, (Semarang : Walisongo Press, 2008), hlm. 13-14
[3]
Nurcholis
Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997),
hlm. 94-95
[4] Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi
Filsafat Islam, (Semarang; Dina Utama Semarang, 1993), hlm.. 86
[5]
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet.
Ke-3, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 83-84
[6]
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof
dan Filsafatnya, Jakarta: RajaGrafimdo Persada, 2012, hlm. 226-228
[7]
Zakiah Daradjat,dkk. Pengantar Filsafat
Islam. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Jam'ah Ar-Raniry
Banda Aceh.1983. hlm. 100
[8]
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam...op.cit.,
hlm. 229-230
[9]
Ibid, hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar