A. Latar
Belakang
Sosok
seorang pedoman atau panutan yang ideal yang hidup dimasa lampau, yang mampu
memberikan pengaruh yang besar dalam perubahan dunia. Sosok yang diagungkan,
sosok yang dimuliakan, sosok yang dihormati,dan disanjung-sanjung oleh seluruh
umat islam di dunia. Banyak orang yang mengaplikasikannya dengan bershalawat
kepadanya. Tapi, apakah hal itu cukup ? Banyak dari kalangan cendikiawan
berpendapat bahwa menghormati, mengagungkan, memuliakan, dan menyanjung
Rasulullah SAW tidak cukup hanya dengan bershalawat kepadanya. Selain itu
diperlukan untuk mengetahui sejarah hidup beliau.
Untuk
itu, sebagai kaum akademisi islam, kita perlu membahas tentang sejarah Nabi
Muhammad SAW. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam studi “Sirah Nabawi”,
yang telah menjelaskan tentang sejarah Rasulullah SAW mulai dari Arab
pra-isalam sampai kepada masa pemboikotan kaum Quraysh terhadap Rasullah SAW.
Maka dalam makalah ini akan membahas tentang umat Rasulullah SAW dari Mekkah
sampai pembatalan piagam, tahun berkabung, hijrah ke Ta’if, dan isra’ mi’raj. Pada
referensi dari buku karangan Muhammad Husain Haykal yang berjudul “Hayat
Muhammad” yang ditranslit menjadi “The Life of Muhammad” dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Sejarah Hidup Muhammad”.
B. Lari dari
Mekkah sampai Pembatalan Piagam
Selama
tiga tahun berturut-turut piagam
yang dibuat pihak
Quraisy untuk memboikot Muhammad
dan mengepung Muslimin itu tetap berlaku. Dalam pada itu Muhammad dan keluarga serta
sahabat-sahabatnya sudah mengungsi ke celah-celah gunung di luar kota Mekkah, dengan
mengalami pelbagai macam
penderitaan, sehingga untuk
mendapatkan bahan makanan sekadar menahan rasa
laparpun tidak ada.
Baik kepada Muhammad
atau kaum Muslimin
tidak diberikan kesempatan bergaul dan bercakap-cakap dengan orang,
kecuali dalam bulan-bulan suci. Pada
waktu itu orang-orang
Arab berdatangan ke Mekkah
berziarah, segala permusuhan
dihentikan, tak ada pembunuhan, tak ada penganiayaan, tak ada
permusuhan, tak ada balas dendam.[1]
Pada
bulan-bulan itu Muhammad turun, mengajak orang-orang Arab itu kepada agama
Allah, diberitahukannya kepada mereka arti pahala dan arti siksa. Segala
penderitaan yang dialami Muhammad demi
dakwah itu justru telah menjadi
penolongnya dari kalangan orang banyak.
Mereka yang telah mendengar tentang itu lebih bersimpati kepadanya,
lebih suka mereka menerima ajakannya.
Blokade
yang dilakukan Quraisy kepadanya, kesabaran dan ketabahan hatinya memikul semua
itu demi risalahnya, telah dapat memikat hati orang banyak, hati yang tidak
begitu membatu, tidak begitu kaku seperti hati Abu Jahl, Abu Lahab dan yang sebangsanya.
Akan
tetapi, penderitaan yang begitu lama, begitu banyak dialami kaum Muslimin karena
kekerasan pihak Quraisy (padahal mereka masih sekeluarga: saudara, ipar,
sepupu) banyak diantara mereka
itu yang merasakan
betapa beratnya kekerasan dan
kekejaman yang mereka lakukan itu. Sekiranya
tidak ada dari penduduk
yang merasa simpati
kepada kaum Muslimin,
membawakan makanan ke celah-celah gunung tempat mereka mengungsi itu,
niscaya mereka akan mati kelaparan. Dalam hal ini Hisyam ibn ‘Amr termasuk
salah seorang dari kalangan Quraisy yang
paling simpati kepada
Muslimin. Tengah malam ia
datang membawa unta
yang sudah dimuati
makanan atau gandum. Bilamana
ia sudah sampai
di depan celah
gunung itu, dilepaskannya tali
untanya lalu dipacunya supaya terus masuk ke tempat mereka dalam celah itu.
Merasa kesal melihat
Muhammad dan sahabat-sahabatnya dianiaya
demikian rupa, ia pergi menemui Zuhair bin Abi Umayya (Bani Makhzum).
Ibu Zuhair ini adalah Atika binti
Abdul Muttalib (Bani Hasyim).
“Zuhair”
kata Hisyam, “Kau sudi menikmati makanan, pakaian dan wanita-wanita,
padahal, seperti kau
ketahui, keluarga ibumu
tidak boleh berhubungan dengan
orang, berjual-beli, tidak boleh saling
mengawinkan? Aku bersumpah, bahwa kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibu,
keluarga Abul Hakam ibn Hisyam,
lalu aku diajak
seperti mengajak kau,
tentu akan kutolak.” Keduanya kemudian sepakat akan sama-sama
membatalkan piagam itu. Tapi
meskipun begitu harus
mendapat dukungan juga dari yang lain, dan secara rahasia mereka harus
diyakinkan. Pendirian kedua orang itu kemudian disetujui oleh Mut’im bin ‘Adi (Naufal), Abul Bakhtari
bin Hisyam dan Zamia bin al-Aswad
(keduanya dari Asad). Kelima mereka lalu sepakat akan mengatasi persoalan
piagam itu dan akan membatalkannya.[2]
Dengan
tujuh kali mengelilingi Ka’bah keesokan paginya Zuhair bin Umayya berseru
kepada orang banyak : “Hai penduduk Mekkah! Kamu sekalian enak-enak makan dan
berpakaian, padahal Bani Hasyim
binasa tidak dapat
mengadakan hubungan dagang! Demi
Allah saya tidak
akan duduk sebelum
piagam yang kejam ini
dirobek!” Tetapi Abu Jahl,
begitu mendengar ucapan
itu, iapun berteriak: “Bohong!
Tidak akan kita robek!” Saat itu juga terdengar suara-suara Zam’a, Abul Bakhtari,
Mut’im dan ‘Amr ibn Hisyam mendustakan
Abu Jahl dan mendukung Zuhair. Abu Jahl segera menyadari bahwa peristiwa ini
akan terselesaikan juga malam itu
dan orangpun sudah
menyetujui. Kalau dia
menentang mereka juga,
tentu akan timbul bencana. Merasa kuatir, lalu cepat-cepat ia pergi.
Waktu itu, ketika Mut’im bersiap akan merobek piagam tersebut, dilihatnya sudah mulai dimakan rayap, kecuali
pada bagian pembukaannya
yang berbunyi: “Atas
namaMu ya Allah...”
Demikian
terdapat kesempatan pada Muhammad dan
sahabat-sahabat pergi
meninggalkan celah bukit
yang curam itu dan kembali ke Mekah. Kesempatan berjual-beli
dengan Quraisy juga
terbuka, sekalipun hubungan antara keduanya seperti dulu juga,
masing-masing siap-siaga bila permusuhan itu
kelak sewaktu-waktu memuncak lagi.
Beberapa
penulis
biografi dalam hal ini berpendapat, bahwa diantara mereka
yang bertindak menghapuskan piagam itu terdapat orang-orang
yang masih menyembah berhala. Untuk
menghindarkan timbulnya bencana,
mereka mendatangi Muhammad dengan permintaan supaya ia mau saling
mengulurkan tangan dengan Quraisy
dengan misalnya memberi
hormat kepada dewa-dewa mereka sekalipun
cukup hanya dengan
jari-jarinya saja dikelilingkan. Agak cenderung juga
hatinya atas usul
itu, sebagai pengharapan
atas kebaikan hati mereka.
Dalam hatinya seolah
ia berkata: “Tidak
apa kalau saya lakukan
itu. Allah mengetahui bahwa
saya tetap taat.” Atau
karena mereka yang telah menghapuskan piagam dan beberapa orang lagi
itu, pada suatu
malam mengadakan pertemuan
dengan Muhammad sampai pagi. Perbicaraan itu mereka sangat
menghormatinya, menempatkannya sebagai
yang dipertuan atas mereka, mengajaknya
kompromi, seraya kata mereka:
“Tuan adalah pemimpin kami...”[3]
Sementara
mereka masih mengajaknya bicara itu, sampai-sampai hampir saja ia mengalah atas
beberapa hal menurut kehendak mereka. Iniadalah dua sumber hadis, yang
pertama sebagian diceritakan
oleh Sa’id b.
Jubair, sedang yang kedua
oleh Qatada. Kata
mereka kemudian Allah
melindungi Muhammad dari kesalahan, dengan
firman-Nya yang berarti :
“Dan hampir-hampir
saja mereka itu
menggoda kau tentang yang sudah Kami wahyukan kepadamu,
supaya engkau mau atas nama Kami memalsukan dengan yang lain. Ketika itulah
mereka mengambil engkau
menjadi kawan mereka.
Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampircenderung
juga kepada mereka barang sedikit. Dalam hal ini, akan Kami
timpakan kepadamu hukuman
berlipat ganda, dalam hidup dan
mati. Selanjutnya engkau tiada mempunyai penolong menghadapi
Kami.” (Q.S. al-Isra’, 17 : 73-75)
Apabila wahyu
turun kepadanya memberi
peringatan atas perbuatannya terhadap orang
buta itu, dan terhadap godaan
Quraisy yang hampir menjerumuskannya, maka kejujurannya dalam menyampaikan
wahyu itu kepada orang sama pula
seperti ketika menyampaikan
amanat Tuhan itu. Tak
ada sesuatu yang akan
menghalanginya ia menyatakan
apa yang sebenarnya tentang dirinya itu. Tak ada sikap
sombong dan congkak, tidak ada rasa tinggi hati.[4]
Jadi kebenaranlah,
dan hanya kebenaran
semata yang ada
dalam risalahnya itu. Apabila dalam menanggung siksaan orang lain
demi idea yang diyakininya, orang yang
berjiwa besar masih sanggup memikulnya, maka pengakuan orang besar itu bahwa ia
hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi kebiasaan, sekalipun oleh orang-orang
besar sendiri. Hal-hal
semacam itu biasanya
oleh mereka disembunyikan dan
yang diperhitungkan hanya harga dirinya, meskipun dengan susah payah.
Inilah kebesaran yang
tak ada taranya,
lebih besar dari
orang besar. Itulah sebenarnya kebesaran jiwa yang dapat memperlihatkan
kebenaran secara keseluruhan. Itulah yang juga lebih luhur dari segala
kebesaran, dan lebih besar dari segala
yang besar, yakni
sifat kenabian yang
menyertai Rasul itu dengan
segala keikhlasan dan
kejujurannya meneruskan Risalah
Kebenaran Tertinggi.
Sesudah
piagam disobek, Muhammad dan pengikut-pengikutnyapun keluar dari lembah bukit-bukit
itu. Seruannya dikumandangkan lagi
kepada penduduk Mekah dan
kepada kabilah-kabilah yang
pada bulan-bulan suci itu datang berziarah ke Mekah. Meskipun ajakan Muhammad
sudah tersiarkepada seluruh kabilah Arab di samping banyaknya mereka yang sudah
menjadi pengikutnya, tapi
sahabat-sahabat itu tidak selamat dari siksaan Quraisy, juga dia tidak dapat
mencegahnya.
C. Tahun
Berkabung atau Tahun Duka Cita
Beberapa bulan
kemudian sesudah penghapusan
piagam itu, secara tiba-tiba sekali dalam
satu tahun saja
Muhammad mengalami duka-cita
yang sangat menekan perasaan, yakni
kematian Abu Talib dan Khadijah secara
berturut-turut. Waktu itu
Abu Talib sudah
berusia delapan puluh tahun
lebih. Setelah Quraisy mengetahui
ia dalam keadaan
sakit yang akan
merupakan akhir hayatnya,
mereka merasa kuatir
apa yang akan
terjadi nanti antara mereka dengan
Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apalagi
sesudah ada Hamzah dan Umar yang
terkenal garang dan keras. Karena itu pemuka-pemuka Quraisy segera mendatangi
Abu Talib, untuk kemudian mengatakan: “Abu Talib, seperti kau
ketahui, kau adalah
dari keluarga kami
juga. Keadaan sekarang seperti
kau ketahui sendiri, sangat mencemaskan kami. Engkau juga sudah mengetahui
keadaan kami dengan
kemenakanmu itu. Panggillah
dia. Kami akan saling memberi dan saling menerima. Dia angkat tangan
dari kami, kamipun akan demikian.
Biarlah kami dengan
agama kami dan dia dengan agamanya sendiri
pula.”
Muhammad datang
tatkala mereka masih
berada di tempat
pamannya itu. Setelah diketahuinya
maksud kedatangan mereka,
iapun berkata: “Sepatah kata
saja saya minta,
yang akan membuat
mereka merajai semua orang
Arab dan bukan Arab.” “Ya, demi bapamu!”
jawab Abu Jahl.
“Sepuluh kata sekalipun
silakan!” Kata Muhammad: “Katakan,
tak ada tuhan
selain Allah, dan
tinggalkan segala
penyembahan yang selain
Allah.” “Muhammad, maksudmu supaya
tuhan-tuhan itu dijadikan
satu Tuhan saja?” kata
mereka. Kemudian mereka berkata
satu sama lain:
“Orang ini tidak
akan memberikan apa-apa seperti
yang kamu kehendaki.
Pergilah kalian!” Ketika Abu
Talib meninggal hubungan Muhammad dengan
pihak Quraisy lebih buruk
lagi dari yang
sudah-sudah.
Dan
sesudah Abu Talib, disusul pula dengan kematian Khadijah. Khadijah yang
menjadi sandaran Muhammad,
Khadijah yang telah mencurahkan segala rasa cinta dan
kesetiaannya, dengan perasaan yang lemah-lembut, dengan hati yang bersih, dengan
kekuatan iman yang ada padanya.
Khadijah, yang dulu menghiburnya bila ia
mendapat kesedihan, mendapat
tekanan dan yang menghilangkan rasa
takut dalam hatinya.
Ia adalah bidadari
yang penuh kasih sayang.
Pada kedua mata
dan bibirnya Muhammad
melihat arti yang
penuh percaya kepadanya, sehingga ia sendiripun tambah percaya kepada
dirinya. Abu Talib pun meninggal, orang yang menjadi pelindung danperisai
terhadap segala tindakan musuh. Pengaruh apakah yang begitu sedih, begitu pedih
menusuk jiwa Muhammad ? Yang pasti, dua peristiwa itu akan meninggalkan luka
parah dalam jiwa orang (yang bagaimanapun kuatnya), akan menusukkan racun
putus asa kedalam
hatinya. Ia akan
dikuasai perasaan sedih
dan duka, akan dirundung kepiluan dan
akan membuatnya jadi
lemah, tak dapat
berpikir lain diluar dua
peristiwa yang sangat
mengharukan itu.[5]
Sesudah
kehilangan dua orang yang selalu membelanya itu Muhammad melihat Quraisy makin
keras mengganggunya. Yang paling
ringan diantaranya ialah ketika seorang
pandir Quraisy mencegatnya
di tengah jalan
lalu menyiramkan tanah ke
atas kepalanya. Tahukah
orang apa yang
dilakukan Muhammad? Ia pulang ke rumah dengan tanah yang masih
diatas kepala. Fatimah puterinya lalu datang
mencucikan tanah yang
di kepala itu.
Ia membersihkannya sambil menangis. Tak ada yang lebih pilu
rasanya dalam hati seorang ayah dari pada mendengar tangis
anaknya, lebih-lebih anak
perempuan. Setitik air
mata kesedihan yang mengalir dari kelopak mata seorang puteri adalah sepercik api yang membakar jantung,
membuatnya kaku karena pilu, dan karena pilunya ia akan menangis
kesakitan. Juga secercah
duka yang menyelinap
kedalam hati adalah rintihan jiwa
yang sungguh keras, terasa mencekik leher dan hampir pula menggenangi mata.
Sebenarnya Muhammad
adalah seorang ayah
yang sungguh bijaksana
dan penuh kasih kepada puteri-puterinya. Apakah yang kita lihat ia lakukan terhadap
tangisan anak perempuan yang baru saja kehilangan ibunya itu? Yang menangis
hanya karena malapetaka yang menimpa ayahnya? Tidak lebih dan semua itu ia
hanya menghadapkan hatinya
kepada Allah dengan
penuh iman akan
segala pertolongan-Nya. “Jangan menangis anakku!” katanya kepada
puterinya yang sedang berlinang air mata
itu. “Tuhan akan
melindungi ayahmu.” Kemudian
diulangnya: “Sebelum wafat Abu Talib orang-orang Quraisy itu tidak
seberapa mengganggu saya.” Sesudah peristiwa itu gangguan Quraisy
kepada Muhammad makin menjadi-jadi. Ia merasa tertekan
sekali.[6]
D. Muhammad
Pergi ke Ta’if dan Penolakan Thaqif
Terasing seorang
diri, ia pergi
ke Ta’if,[7]
dengan tiada orang
yang mengetahuinya. Ia pergi
ingin mendapatkan dukungan
dari Bani Thaqif terhadap
masyarakatnya sendiri, dengan
harapan merekapun akan
dapat menerima Islam. Tetapi ternyata mereka juga menolaknya secara
kejam sekali. Kalaupun sudah begitu, ia masih mengharapkan mereka jangan
memberitahukan kedatangannya minta
pertolongan itu, supaya
jangan ia disoraki oleh
masyarakatnya sendiri. Tetapi permintaannya itupun tidak didengar. Bahkan mereka
menghasut orang-orang pandir
agar bersorak-sorai dan
memakinya. Ia pergi lagi
dari sana, berlindung
pada sebuah kebun
kepunyaan ‘Utba dan Syaiba anak-anak
Rabi’a. Orang-orang yang
pandir itu kembali
pulang. Ia lalu duduk
di bawah naungan
pohon anggur. Ketika
itu keluarga Rabi’a
sedang memperhatikannya dan melihat
pula kemalangan yang
dideritanya. Sesudah agak reda, ia mengangkat kepala menengadah ke atas,
ia hanyut dalam suatu doa yang berisi
pengaduan yang sangat
mengharukan: “Allahumma
yang Allah, kepadaMu
juga aku mengadukan
kelemahanku, kurangnya
kemampuanku serta kehinaan diriku
di hadapan manusia. Engkaulah Yang
Maha Pengasih, Yang Maha
Penyayang. Engkaulah yang
melindungi si lemah,
dan Engkaulah pelindungku. Kepada
siapa hendak Kau serahkan
daku? Kepada orang yang
memusuhiku dan berwajah muram kepadaku, atau kepada teman dekat yang Engkau
menguasai perkaraku ? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku. Bukannya aku tidak
berhati-hati, tapi jika aku tidak berlindung kepada cahaya wajah-Mu yang
menyinari langit dan menghapus segala kegelapan, dan menguasai segala perkara
di dunia maupun di akhirat kelak. Semoga
aku tidak membuat kesulitan bagi-Mu, atau Engkau murka kepadaku. Tak ada kekuatan selain pertolongan-Mu.”[8]
Dalam memperhatikan
keadaan itu hati
kedua orang anak
Rabi’a itu merasa tersentak. Mereka merasa iba dan
kasihan melihat nasib buruk yang dialaminya itu. Budak
mereka, seorang beragama
Nasrani bernama Eddas,
diutus kepadanya membawakan buah anggur dari kebun itu. Sambil meletakkan
tangan di atas buah-buahan itu Muhammad
berkata: “Bismillah!”
Lalu buah itu dimakannya. Eddas memandangnya
keheranan. “Kata-kata ini tak
pernah diucapkan oleh penduduk negeri
ini,” kata Eddas. Lalu
Muhammad menanyakan negeri
asal dan agama
orang itu. Setelah diketahui bahwa
orang tersebut beragama
Nasrani dari Nineveh,
katanya: “Dari negeri orang
baik-baik, Yunus anak
Matta.” “Dari mana tuan
kenal nama Yunus
anak Matta!” tanya
Eddas. “Dia saudaraku. Dia
seorang nabi, dan
aku juga Nabi,”
jawab Muhammad. Saat itu Eddas
lalu membungkuk mencium kepala, tangan dan kaki Muhammad. Sudah tentu
kejadian ini menimbulkan
keheranan keluarga Rabi’a yang melihatnya. Sungguhpun
begitu mereka tidak
sampai akan meninggalkan kepercayaan mereka.
Dan tatkala ‘Addas
sudah kembali mereka
berkata: “Eddas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari agamamu,
yang masih lebih baik dari pada
agamanya.”[9]
Gangguan orang
yang pernah dialami
Muhammad seolah dapat
meringankan perbuatan buruk yang
dilakukan Bani Thaqif itu,
meskipun mereka tetap kaku
tidak mau mengikutinya. Keadaan
itu sudah diketahui
pula oleh Quraisy
sehingga gangguan mereka kepada
Muhammad makin menjadi-jadi.
Tetapi hal ini
tidak mengurangi kemauan Muhammad
menyampaikan dakwah Islam.
Kepada kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah, itu ia memperkenalkan
diri, mengajak mereka mengenal arti
kebenaran. Diberitahukannya kepada
mereka, bahwa ia adalah
Nabi yang diutus,
dan dimintanya mereka
mempercayainya.
Namun
sungguhpun begitu, Abu Lahab pamannya tidak membiarkannya, bahkan
dibuntutinya ke mana
ia pergi. Dihasutnya
orang supaya jangan mau mendengarkan. Muhammad sendiri
tidak cukup hanya
memperkenalkan diri kepada
kabilah-kabilah Arab pada
musim ziarah di
Mekah saja, bahkan
ia mendatangi Bani Kinda ke rumah-rumah mereka, mendatangi
Bani Kalb, juga ke rumah-rumah mereka, Bani Hanifa dan Bani ‘Amir bin
Sha’sha’a. Tapi tak seorangpun dari mereka
yang mau mendengarkan. Bani Hanifa bahkan
menolak dengan cara yang
buruk sekali. Sedang
Banu ‘Amir menunjukkan
ambisinya, bahwa kalau Muhammad mendapat
kemenangan, maka sebagai
penggantinya, segala persoalan
nanti harus berada di tangan mereka. Tetapi setelah dijawab, bahwa masalah itu
berada di tangan
Tuhan, merekapun lalu
membuang muka dan menolaknya seperti
yang lain-lain.
Adakah kegigihan
kabilah-kabilah yang mengadakan
oposisi terhadap Muhammad itu
karena sebab-sebab yang
sama seperti yang
dilakukan oleh Quraisy? Kita
sudah melihat, bahwa
Bani ‘Amir ini
mempunyai ambisi ingin memegang kekuasaan
bila bersama-sama mereka
nanti ia mendapat kemenangan. Sebaliknya kabilah
Thaqif pandangannya lain lagi. Ta’if di samping sebagai tempat
musim panas bagi
penduduk Mekah karena
udaranya yang sejuk dan
buah anggurnya yang
manis-manis, juga kota
ini merupakan pusat tempat
penyembahan al-Lat.[10] Ke
tempat itu orang
berziarah dan menyembah berhala.
Kalau Bani Thaqif ini sampai menjadi
pengikut Muhammad, maka kedudukan al-Lat
akan hilang. Permusuhan
mereka dengan Quraisypun
akan timbul, yang sudah tentu
akibatnya akan mempengaruhi perekonomian mereka pada musim dingin. Begitu juga
halnya dengan yang lain, setiap kabilah mempunyai penyakit sendiri yang
disebabkan oleh keadaan
perekonomian setempat. Dalam menentang Islam
itu, pengaruh ini
lebih besar terhadap
mereka daripada pengaruh kepercayaan
mereka dan kepercayaan
nenek-moyang mereka, termasuk penyembahan
berhala-berhala.
E. Isra’ Mi’raj
Makin
besar oposisi yang dilakukan kabilah-kabilah itu, Muhammad makin mau
menyendiri. Makin gigih
pihak Quraisy melakukan
gangguan kepada sahabat-sahabatnya, makin
pula ia merasakan
pedihnya. Masa berkabung terhadap Khadijah itupun sudah pula berlalu.
Terpikir olehnya akan beristeri, kalau-kalau
isterinya itu kelak
akan dapat juga
menghiburnya, dapat
mengobati luka dalam
hatinya, seperti dilakukan
Khadijah dulu. Tetapi dalam hal ini ia melihat pertaliannya
dengan orang-orang Islam yang mula-mula itu harus makin dekat dan perlu
dipererat lagi. Itu sebabnya ia segera melamar puteri Abu Bakr, Aisyah. Oleh karena waktu itu ia masih gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun,
maka yang sudah dilangsungkan baru akad nikah, sedang perkawinan berlangsung
dua tahun kemudian,
ketika usianya mencapai sembilan tahun. Sementara itu
ia kawin pula
dengan Sauda, seorang
janda yang suaminya pernah ikut mengungsi ke Abisinia[11]
dan kemudian meninggal setelah kembali ke Mekah.
Pada
masa itulah Isra’ dan Mi’raj terjadi. Malam itu Muhammad sedang berada di
rumah saudara sepupunya,
Hindun puteri Abu
Talib yang mendapat
nama panggilan Umm Hani’.
Ketika itu Hindun
mengatakan: “Malam itu Rasulullah
bermalam di rumah
saya. Selesai salat
akhir malam, ia tidur
dan kamipun tidur.
Pada waktu sebelum
fajar Rasulullah sudah membangunkan kami. Sesudah melakukan
ibadat pagi bersama-sama kami, ia berkata:
‘Umm Hani’, saya
sudah salat akhir
malam bersama kamu
sekalian seperti yang kau lihat di lembah ini. Kemudian saya ke Baitul Maqdis
(Yerusalem) dan bersembahyang di sana. Sekarang saya sembahyang siang
bersama-sama kamu seperti kau lihat.” Kataku: “Rasulullah, janganlah
menceritakan ini kepada orang lain. Orang akan mendustakan dan
mengganggumu lagi!” “Tapi harus saya ceritakan
kepada mereka” jawabnya.
Orang yang
mengatakan, bahwa Isra’ dan Mi’raj Muhammad dengan ruh itu
berpegang kepada keterangan Umm Hani’ ini, dan juga kepada yang pernah
dikatakan oleh Aisyah: “Jasad Rasulullah
SAW tidak hilang,
tetapi Allah menjadikan
isra’ itu dengan ruhnya.” Juga
Mu’awiya bin Abi Sufyan ketika
ditanya tentang isra’
Rasul menyatakan: Itu adalah
mimpi yang benar
dari Tuhan. Di samping
semua itu orang berpegang kepada
firman Tuhan: “Tidak lain mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu adalah
sebagai ujian bagi
manusia.” (Q.S. al-Isra’, 17 : 60)
Sebaliknya
orang yang berpendapat, bahwa isra’ dari Mekah ke Baitul Maqdis itu dengan
jasad, landasannya ialah apa yang pernah dikatakan oleh Muhammad, bahwa dalam
isra’ itu ia
berada di pedalaman,
seperti yang akan disebutkan ceritanya nanti. Sedang mi’raj ke
langit adalah dengan ruh. Disamping mereka itu ada lagi pendapat bahwa isra’
dan mi’raj itu keduanya dengan jasad. Polemik sekitar perbedaan
pendapat ini di
kalangan ahli-ahli iImu
kalam banyak sekali dan
ribuan pula tulisan-tulisan sudah
dikemukakan orang. Sekitar
arti isra’ ini.
Dengan
indah sekali Dermenghem melukiskan kisah ini yang disarikannya dari
pelbagai buku sejarah
hidup Nabi, yang
terjemahannya sebagai berikut: “Pada tengah
malam yang sunyi
dan hening, burung-burung
malampun diam membisu, binatang-binatang buas
sudah berdiam diri,
gemercik air dan
siulan angin juga sudah tak terdengar lagi, ketika itu Muhammad
terbangun oleh suara yang
memanggilnya: “Hai orang
yang sedang tidur,
bangunlah!” Dan bila ia
bangun, dihadapannya sudah
berdiri Malaikat Jibril
dengan wajah yang
putih berseri dan berkilauan seperti salju, melepaskan rambutnya yang pirang
terurai, dengan mengenakan pakaian
berumbaikan mutiara dan
emas. Dan dari sekelilingnya sayap-sayap
yang beraneka warna
bergeleparan. Tangannya memegang seekor hewan yang ajaib, yaitu buraq[12] yang bersayap seperti sayap garuda. Hewan
itu membungkuk di hadapan Rasul, dan Rasulpun naik. “Maka meluncurlah
buraq itu seperti
anak panah membubung
di atas pegunungan Mekah,
di atas pasir-pasir
sahara menuju arah ke
utara. Dalam perjalanan itu ia
ditemani oleh malaikat. Lalu berhenti di gunung Sinai di tempat Tuhan berbicara
dengan Musa. Kemudian berhenti lagi di Bethlehem tempat Isa dilahirkan. Sesudah
itu kemudian meluncur
di udara. “Sementara itu
ada suara-suara misterius
mencoba menghentikan Nabi,
orang yang begitu ikhlas
menjalankan risalahnya. Ia
melihat, bahwa hanya
Tuhanlah yang dapat menghentikan
hewan itu di
mana saja dikehendaki-Nya.
Seterusnya mereka
sampai ke Baitul Maqdis. Muhammad
mengikatkan hewan
kendaraannya itu. Di
puing-puing kuil Sulaiman
ia bersembahyang bersama-sama
Ibrahim, Musa dan
Isa. Kemudian dibawakan
tangga, yang lalu dipancangkan diatas
batu Ya’qub. Dengan
tangga itu Muhammad cepat-cepat naik ke
langit. Langit pertama terbuat
dari perak murni
dengan bintang-bintang yang digantungkan dengan
rantai-rantai emas. Tiap
langit itu dijaga
oleh malaikat, supaya jangan ada
setan-setan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang akan mendengarkan
rahasia-rahasia langit. Di langit inilah Muhammad memberi hormat kepada
Adam. Di tempat
ini pula semua
makhluk memuja dan
memuji Tuhan. Pada keenam langit berikutnya Muhammad bertemu dengan Nuh,
Harun, Musa, Ibrahim, Daud,
Sulaiman, Idris, Yahya
dan Isa. Juga
di tempat itu ia
melihat Malaikat maut Izrail, yang karena besarnya jarak antara kedua matanya
adalah sejauh tujuh ribu hari perjalanan. Dan karena kekuasaan-Nya, maka yang
berada di bawah perintahnya adalah seratus ribu kelompok. Ia sedang mencatat
nama-nama mereka yang
lahir dan mereka
yang mati, dalam sebuah
buku besar. Ia melihat
juga Malaikat Air mata,
yang menangis karena
dosa-dosa orang, Malaikat Dendam
yang berwajah tembaga
yang menguasai anasir
api dan sedang duduk
di atas singgasana
dari nyala api.
Dan dilihatnya juga
ada malaikat yang besar
luar biasa, separo
dari api dan
separo lagi dari
salju, dikelilingi oleh malaikat-malaikat yang merupakan kelompok yang
tiada hentinya menyebut-nyebut nama Tuhan:
Oh Tuhan, Engkau telah
menyatukan salju dengan api,
telah menyatukan semua
hamba-Mu setia menurut
ketentuan-Mu.[13]
Langit
ketujuh adalah tempat orang-orang yang adil, dengan malaikat yang lebih besar
dari bumi ini seluruhnya. Ia mempunyai tujuh puluh ribu kepala, tiap kepala
tujuh puluh ribu mulut, tiap mulut tujuh puluh ribu lidah, tiap lidah dapat
berbicara dalam tujuh puluh
ribu bahasa, tiap
bahasa dengan tujuhpuluh
ribu dialek. Semua itu
memuja dan memuji
serta mengkuduskan Tuhan. “Sementara ia
sedang merenungkan makhluk-makhluk ajaib
itu, tiba-tiba ia membubung
lagi sampai di
Sidratul Muntaha yang terletak
di sebelah kanan ‘Arsy,
menaungi berjuta-juta ruh
malaikat. Sesudah melangkah,
tidak sampai sekejap matapun
ia sudah menyeberangi
lautan-lautan yang begitu luas
dan daerah-daerah cahaya yang
terang-benderang, lalu bagian
yang gelap gulita disertai berjuta
juta tabir kegelapan,
api, air, udara
dan angkasa. Tiap
macam dipisahkan oleh jarak
500 tahun perjalanan.
Ia melintasi tabir-tabir
keindahan, kesempurnaan, rahasia, keagungan dan kesatuan. Dibalik itu
terdapat tujuh puluh ribu kelompok malaikat
yang bersujud tidak
bergerak dan tidak
pula diperkenankan meninggalkan tempat.
Kemudian terasa
lagi ia membubung
ke atas ke
tempat Yang Maha Tinggi. Tiba-tiba bumi dan langit menjadi satu,
hampir-hampir tak dapat lagi ia
melihatnya, seolah-olah sudah hilang
tertelan. Keduanya tampak hanya
sebesar biji-bijian di
tengah-tengah ladang yang
membentang luas. “Begitu seharusnya
manusia itu, di
hadapan Raja semesta
alam.”
Kemudian
lagi ia sudah berada di hadapan ‘Arsy, sudah
dekat sekali. Ia sudah dapat
melihat Tuhan dengan
persepsinya, dan melihat
segalanya yang tidak dapat
dilukiskan dengan lidah,
di luar jangkauan
otak manusia akan
dapat menangkapnya. Maha Agung
Tuhan mengulurkan sebelah
tangan-Nya di dada Muhammad
dan yang sebelah
lagi di bahunya.
Ketika itu Nabi
merasakan kesejukan di tulang
punggungnya. Kemudian rasa
tenang, damai, lalu
fana ke dalam Diri
Tuhan yang terasa
membawa kenikmatan. Sesudah berbicara (?)
Tuhan memerintahkan hamba-Nya
itu supaya setiap Muslim setiap hari sembahyang lima puluh
kali. Begitu Muhammad kembali turun dari
langit, ia bertemu
dengan Musa. Musa berkata
kepadanya: “Bagaimana kau harapkan pengikut-pengikutmu akan
dapat melakukan salat lima puluh kali tiap hari? Sebelum
engkau aku sudah punya pengalaman, sudah kucoba terhadap anak-anak Israil
sejauh yang dapat kulakukan. Percayalah dan kembali kepada
Tuhan, minta supaya
dikurangi jumlah sembahyang
itu.” Muhammadpun kembali. Jumlah
sembahyang juga lalu
dikurangi menjadi empat puluh. Tetapi
Musa menganggap itu
masih di luar
kemampuan orang. Disuruhnya lagi
Nabi penggantinya itu
berkali-kali kembali kepada
Tuhan sehingga berakhir dengan
ketentuan yang lima
kali.
Sekarang Jibril
membawa Nabi mengunjungi
surga yang sudah
disediakan sesudah hari kebangkitan, bagi mereka yang teguh iman.
Kemudian Muhammad kembali dengan tangga itu ke bumi. Buraqpun dilepaskan. Lalu
ia kembali dari Baitul Maqdis ke Mekah.
Demikian cerita
Dermenghem tentang Isra’
dan Mi’raj. Kitapun
dapat melihat, apa yang
diceritakannya itu memang
tersebar luas dalam
buku-buku sejarah hidup Nabi,
sekalipun akan kita
lihat juga bahwa
semua itu berbeda-beda.
Di sana-sini dilebihi atau
dikurangi.
Salah
satu contoh misalnya cerita Ibn Hisyam melalui ucapan Nabi SAW sesudah berjumpa
dengan Adam di
langit pertama, ketika
mengatakan: “Kemudian
kulihat orang-orang bermoncong
seperti moncong unta,
tangan mereka memegang segumpal api seperti batu-batu, lalu dilemparkan ke dalam mulut mereka
dan keluar dari
dubur. Aku bertanya:
“Siapa mereka itu,
Jibril?”. “Mereka yang memakan harta anak-anak yatim secara tidak sah,” jawab Jibril.
Kemudian
ku lihat orang-orang dengan perut yang belum
pernah kulihat dengan cara
keluarga Fir’aun menyeberangi
mereka seperti unta
yang kena penyakit dalam kepalanya,
ketika dibawa ke
dalam api. Mereka
diinjak-injak tak dapat beranjak dari tempat mereka. Aku
bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril ?”. “Mereka itu tukang-tukang
riba,” jawabnya. Kemudian
kulihat orang-orang, di
hadapan mereka ada daging
yang gemuk dan
baik, di samping
ada daging yang
buruk dan busuk. Mereka makan daging yang buruk dan busuk itu dan
meninggalkan yang gemuk dan
baik. Aku bertanya:
“Siapakah mereka itu,
Jibril ?” “Mereka orang-orang yang
meninggalkan wanita yang
dihalalkan Tuhan dan
mencari wanita yang diharamkan,” jawabnya. Kemudian aku melihat wanita-wanita
yang digantungkan pada buah dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapa mereka itu,
Jibril?” “Mereka itu wanita yang memasukkan laki-laki lain bukan dari keluarga
mereka ...” Kemudian aku dibawa ke surga. Di sana kulihat seorang budak
perempuan, bibirnya merah. Kutanya
dia: “Kepunyaan siapa
engkau?” Aku tertarik sekali waktu
kulihat. “Aku kepunyaan
Zaid ibn Haritha,”
jawabnya. Maka Rasulullah SAW lalu
memberi selamat kepada
Zaid ibn Haritha.”[14]
Selain
dari buku Ibn Hisyam ini, dalam buku-buku sejarah hidup Nabi yang lain dan dalam
buku-buku tafsir orang
akan melihat bermacam-macam hal
lagi di samping itu. Sudah
menjadi hak setiap penulis sejarah bila akan bertanya-tanya, sampai di mana benar
ketelitian dan penyelidikan
yang mereka adakan
dalam hal ini semua, mana
yang boleh dijadikan
pegangan (askripsi) sampai
kepada Nabi sesuai dengan pegangan yang sahih (otentik), dan mana pula
yang hanya berupa buah khayal
orang-orang tasawuf dan
sebangsanya. Kalau di sini
tidak cukup ruangan
untuk mengadakan ketentuan
atau penyelidikan dalam bidang
tersebut, dan kalau
bukan pula di
sini tempatnya untuk menyatakan
apakah isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan jasad, ataukah mi’raj dengan ruh
dan isra’ dengan jasad, ataukah isra’dan mi’raj itu semuanya dengan ruh
- maka sudah
tentu bahwa tiap
pendapat itu akan ada
dasarnya pada ahli-ahli ilmu kalam dan tak ada salahnya, kalau atas
pendapat-pendapat itu orang menyatakan
pendiriannya sendiri, yang
akan berbeda pula
satu dari yang lain.
Jadi
barangsiapa yang mau menyatakan pendapatnya, bahwa isra’ dan mi’raj itu
keduanya dengan ruh, maka dasarnya adalah seperti yang kita kemukakan tadi dan
sudah berulang-ulang pula disebutkan dalam Qur’an dan diucapkan Rasul.
“Sungguh aku ini
manusia seperti kamu
juga yang diberikan wahyu kepadaku. Tetapi Tuhanmu
adalah Tuhan Yang Esa,”(Q.S. al-Kahfi, 18 : 110) dan bahwa satu-satunya mujizat
Muhammad ialah Qur’an, dan “Bahwasanya Allah
tidak akan mengampuni dosa orang yang mempersekutukan-Nya, tetapi
Dia mengampuni segala
dosa selain (syirik) itu, siapa saja yang dikehendaki-Nya.”(Q.S. an-Nisa,
4 : 48)[15]
Orang
yang berpendapat demikian ini -sebenarnya melebihi yang lain- ia akan bertanya,
apa sebenarnya arti isra’ dan mi’raj itu. Di
sinilah letak pendapat yang ingin
kami kemukakan. Kami belum
mengetahui, sudah adakah orang mengemukakan hal
ini sebelum kami,
atau belum. Isra’ dan
mi’raj ini dalam
hidup kerohanian Muhammad
mempunyai arti yang tinggi
dan agung sekali,
suatu arti yang
lebih besar dari
yang biasa mereka lukiskan itu, yang kadang tidak
sedikit dikacau dan dirusak oleh imajinasi ahli-ahli ilmu kalam yang subur itu.
Jiwa yang sungguh kuat itu, tatkala terjadi isra’ dan mi’raj, telah
dipersatukan oleh kesatuan wujud ini,
yang sudah sampai pada puncak kesempurnaannya. Pada saat itu
tak ada sesuatu tabir ruang dan waktu atau
sesuatu yang dapat
mengalangi intelek dan
jiwa Muhammad, yang
akan membuat penilaian kita tentang hidup ini menjadi nisbi, terbatas
oleh kekuatan-kekuatan kita yang
sensasional, yang dapat
diarahkan menurut akal
pikiran.
Pada
saat itu semua batas jadi hanyut di depan hati nurani Muhammad. Seluruh alam
semesta ini sudah bersatu ke dalam jiwanya, yang lalu disadarinya, sejak
dari awal yang
azali sampai pada
akhir yang abadi.
Digambarkannya dalam perkembangan kesunyian dirinya
dalam mencapai kesempurnaan
itu, dengan jalan kebaikan dan
keindahan dan kebenaran,
dalam mengatasi dan
mengalahkan segala kejahatan,
kekurangan, keburukan dan kebatilan, dengan karunia dan ampunan Tuhan juga.
Orang tidak akan
mencapai keluhuran demikian
itu, kalau tidak dengan
suatu kekuatan yang
berada di atas
kodrat manusia yang
pernah dikenalnya.
Apabila sesudah
itu kemudian datang
orang-orang yang menjadi
pengikut Muhammad yang tidak
sanggup mengikuti jejak
pikirannya yang begitu tinggi, dengan kesadaran yang begitu kuat
tentang kesatuan alam, kesempurnaan serta perjuangannya mencapai
kesempurnaan itu, maka
hal ini tidak
mengherankan dan bukan pula
aib tentunya. Dalam kita mencapai kebenaran inipun selalu
terbentur pada batas-batas ini, tenaga
kita sudah tidak
mampu mengatasinya.
Apabila kita
mau menyebutkan sebagai contoh cerita orang-orang buta
yang ingin mengetahui
gajah itu apa,
maka salah seorang
dari mereka itu akan berkata, bahwa gajah itu ialah seutas tali yang
panjang, sebab kebetulan yang terpegang adalah buntutnya; yang seorang lagi berkata, bahwa gajah itu
sebatang pohon, sebab
kebetulan yang dijumpainya
adalah kakinya; yang ketiga
berkata, bahwa gajah
itu runcing seperti
anak panah, sebab kebetulan yang
dijumpainya adalah taringnya;
yang keempat berkata, bahwa gajah itu bulat panjang dan bengkok,
banyak bergerak-gerak, sebab kebetulan yang
dipegangnya adalah belalainya.
Contoh
ini sebenarnya masih sejalan dengan gambaran yang terbayang ketika orang yang
tidak buta itu melihat gajah
untuk pertama kalinya.
Boleh juga kiranya kita
mengambil perbandingan antara
persepsi (kesadaran) Muhammad menangkap esensi kesatuan alam ini serta
penggambarannya kedalam isra’dan mi’raj
yang berhubungan dengan
waktu pertama sejak
sebelum Adam sampai pada
akhir hari kebangkitan
dan yang akan
menghilangkan pula kesudahan ruang ini,
ketika ia melihat dengan mata batin dari
Sidratul Muntaha ke alam semesta
ini, yang ada sekarang di hadapannya dan sudah seperti kabut dengan persepsi (kesadaran) kebanyakan orang
yang dapat menangka parti isra’ mi’raj itu.
Tatkala itu ia
berhadapan dengan bagian-bagian
yang tidak termasuk kesatuan alam, sedang
hidupnya hanya seperti
partikel-partikel tubuh, bahkan seperti partikel-partikel yang
melekat pada tubuh
itu dengan susunannya
yang tidak terpengaruh karenanya.
Dari mana pula
partikel-partikel dari pada hidup tubuh
itu, dari denyutan
jantungnya, pancaran jiwanya,
pikirannya yang penuh dengan
enersi yang tak
kenal batas sebab,
dari wujud hidup
itulah ia berhubungan dengan
segala kehidupan alam
ini.
Isra’
dengan ruh dalam pengertiannya adalah seperti isra’ dan mi’raj juga yang
semuanya dengan ruh.
Ini adalah begitu
luhur, begitu indah
dan agung. Ia merupakan suatu gambaran yang kuat sekali
dalam arti kesatuan rohani sejak dari awal yang azali sampai pada akhir
yang abadi. Ini adalah suatu pendakian
ke atas Gunung Sinai, tatkala Tuhan berbicara dengan Musa, dan ke Bethlehem,
tempat Isa dilahirkan.
Pertemuan rohani demikian
ini sudah mengandung selawat bagi
Muhammad, Isa, Musa
dan Ibrahim, suatu
manifestasi yang kuat sekali
dalam arti kesatuan
hidup agama sebagai
suatu sendi kesatuan alam dalam
edarannya yang terus-menerus
menuju kepada kesempurnaan. Ilmu pengetahuan pada masa kita
sekarang ini mengakui isra’ dengan ruh dan mengakui pula
mi’raj dengan ruh. Apabila tenaga-tenaga
yang bersih itu bertemu,
maka sinar yang
benarpun akan memancar.
Dalam bentuk tertentu sama pula halnya dengan
tenaga-tenaga alam ini, yang telah membukakan jalan kepada Marconi
ketika ia menemukan
suatu arus listrik
tertentu dari kapalnya yang sedang berlabuh di Venesia.
Dengan suatu kekuatan gelombang ether arus listrik itu
telah dapat menerangi
kota Sydney di
Australia.
IImu
pengetahuan zaman kita sekarang ini membenarkan pula teori telepati serta pengetahuan
lain yang bersangkutan dengan itu. Demikian juga transmisi suara di atas
gelombang ether dengan radio, telephotography (facsimile transmisi) dan
teleprinter lainnya, suatu
hal yang tadinya
masih dianggap suatu
pekerjaan khayal belaka. Tenaga-tenaga
yang masih tersimpan
dalam alam semesta
ini setiap hari masih
selalu memperlihatkan yang
baru kepada alam kita.
Apabila jiwa sudah mencapai kekuatan dan kemampuan yang begitu tinggi
seperti yang sudah dicapai oleh
jiwa Muhammad itu,
lalu Allah memperjalankan dia pada
suatu malam dari
Masjidil Haram ke al-Masjidil Aqsha, yang
disekelilingnya sudah diberi berkah
guna memperlihatkan tanda-tanda
kebesaran-Nya, maka itupun oleh
ilmu pengetahuan dapat
pula dibenarkan. Arti
semua ini ialah pengertian-pengertian yang begitu kuat
dan luhur, begitu indah dan agung, dan telah
pula membayangkan kesatuan
rohani dan kesatuan
alam semesta ini begitu jelas dan tegas dalam jiwa
Muhammad. Orang akan dapat memahami arti semua ini apabila ia dapat berusaha
menempatkan diri lebih tinggi dari bayangan hidup yang singkat ini. Ia berusaha
mencapai esensi kebenaran tertinggi itu guna memahami kedudukannya yang
sebenarnya dan kedudukan alam ini seluruhnya.
Orang-orang Arab
penduduk Mekah tidak
dapat memahami semua pengertian ini. Itulah
pula sebabnya, tatkala
soal isra’ itu
oleh Muhammad disampaikan
kepada mereka, merekapun
lalu menanggapinya dari
bentuk materi (mungkin atau
tidaknya isra’ itu).
Apa yang dikatakannya
itu kemudian menimbulkan kesangsian juga
pada beberapa orang
pengikutnya, pada orang-orang
yang tadinya sudah percaya.
Mereka banyak yang
mengatakan: Masalah ini
sudah jelas. Perjalanan kafilah yang terus-meneruspun antara Mekah-Syam memakan waktu sebulan
pergi dan sebulan
pulang. Mana boleh
jadi Muhammad hanya satu
malam saja pergi-pulang
ke Mekah?!
Tidak sedikit
mereka yang sudah
Islam itu kemudian
berbalik murtad. Mereka yang
masih menyangsikan hal
ini lalu mendatangi
Abu Bakr dan
keterangan yang diberikan Muhammad
itu dijadikan bahan
pembicaraan. “Kalian berdusta,” kata
Abu Bakr. “Sungguh?” kata
mereka. “Dia di masjid sedang
bicara dengan orang
banyak.” “Dan kalaupun itu yang dikatakannya?” kata Abu Bakr lagi, “tentu dia bicara yang sebenarnya. Dia
mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi,
pada waktu malam
atau siang, aku
percaya. Ini lebih
lagi dari yang kamu
herankan.” Abu Bakr lalu mendatangi Nabi dan mendengarkan ia melukiskan
Baitul Maqdis. Abu Bakr sudah
pernah berkunjung ke
kota itu. Selesai Nabi
melukiskan keadaan mesjidnya,
Abu Bakr berkata: “Rasulullah, saya percaya.” Sejak
itu Muhammad memanggil Abu Bakr
dengan “Ash-Shiddiq.”[16]
Alasan mereka
yang berpendapat bahwa
isra’ itu dengan
jasad ialah karena ketika Quraisy mendengar tentang
kejadian Suraqa mereka menanyakannya dan mereka yang sudah beriman juga
menanyakan tentang peristiwa yang luar biasa itu. Mereka
memang belum pernah
mendengar hal semacam itu.
Lalu diceritakannya tentang adanya
kafilah yang pernah
dilaluinya di tengah
jalan. Ketika ada seekor unta dari kafilah tersesat, dialah yang
menunjukkan. Pernah ia minum dari sebuah
kafilah lain dan
sesudah minum lalu ditutupnya bejana
itu. Pihak Quraisy menanyakan hal tersebut. Kedua kafilah itupun
membenarkan apa yang telah diceritakan
Muhammad itu.
F. Analisis
Kekejaman
yang dilakukan kaum Quraisy kepada Nabi Muhammad SAW selama beberapa tahun
membuktikan sifat kerasnya pendirian kaum Quraisy terhadap kepercayaannya
kepada agama yang dianutnya. Mereka sangat setia kepada agama yang mereka
yakini (agama jahiliyah), sehingga sulit bagi mereka menerima agama baru
terlebih dibawa oleh anak kecil walaupun ia termasuk dari keluarga pemuka.
Sehingga mereka menghujani Nabi Muhammad SAW dan ummatnya siksaan-siksaan yang
kejam. Selama paman nabi Abu Thalib dan istrinya Khadijah masih hidup, siksaan dan
caciankaum Quraisy tidaklah begitu kejam dibandingkan dengan setelah mereka
meninggal. Ketika peristiwa tersebut Nabi Muhammad mengalami duka yang hebat.
Jikalau manusia biasa yang mengalami hal tersebut, apakah ia masih akan
melanjutkan dakwahnya ? Setelah kehilangan paman yang sangat menyayanginya dan
selalu menjaganya. Kemudian disusul kepergian sang isteri tercinta yang
menyayanginya dengan sepenuh hati, yang menjadi sandaran ketika ia sedih atau
dalam masalah, dan yang selalu mendukung apa saja yang akan ia kerjakan.
Umumnya orang pasti tidak mau melanjutkan dakwahnya setelah peristiwa tersebut
dengan siksaan dan cacian yang telah menunggu di depan.
Namun
Nabi Muhammad berbeda, beliau tetap melanjutkan dakwahnya walaupun melalui
banyak rintangan sulit dan kepahitan hidup yang terus menanti di depannya.
Karena keteguhan hati, keikhlasan, kesabaran, dan keuletan beliaulah yang
menjadikan beliau pantas menjadi suri tauladan bagi ummatnya. Walaupun
demikian, sosok yang begitu mulia ini masih diragukan kebenarannya (wahyu yang
ia bawa) oleh sebagian ummatnya dari zaman dahulu sampai sekarang. Yaitu ketika
beliau mendapat wahyu tentang isra’ mi’raj. Banyak dari ummatnya yang sudah
beriman menjadi murtad karena tidak mempercayai hal tersebut. Bagi mereka hal
tersebut tidak masuk akal. Secara akal tidak mungkin dari Mekkah-Syam
pergi-pulang dalam waktu semalam, karena pada zaman itu perjalanan pergi-pulang
membutuhkan waktu dua bulan. Tapi apakah tidak ada yang mungkin jika Tuhan yang
menguasai alam ini menghendaki hal tersebut ? Kurasa itu cukup untuk ummat
terdahulu. Lalu bagaimana untuk umat yang sekarang ?
Seiring
berkembangnya zaman dan teknologi dewasa ini, jawaban tersebut kurang bisa
diterima. Kemudian jawaban seperti apakah yang diinginkan ummat zaman ini
inginkan ? Jawabnya kita butuh meneliti dan mengupas kembali permasalahan
tersebut untuk mewujudkan iman yang dapat dibenarkan oleh akal bukan hanya
dibenarkan oleh hati saja.
G. Kesimpulan
Selam
tiga tahun perjanjian yang dibuat kaum Quraisy untuk memboikot Nabi Muhammad
SAW berlaku, beliau bersama umatnya bersembunyi dicelah-celah gunung. Tanpa
persediaan makanan yang cukup, tanpa hubungan sosial (seperti dagang), dan
hanya boleh keluar pada bulan-bulan tertentu untuk berziarah dan lain
sebagainya. Karena tak tega melihat itu semua, Hasyim bin ‘Amr salah seorang
dari Bani Hasyim pergi kecelah-celah gunung dengan membawa makanan. Keesokan
harinya ia mengumpulkan semua kaum Quraisy dan menyatakan membatalkan
perjanjian pemboikotan kepada Bani Hasyim, dan disetujui oleh semuanya kecuali
Abu Jahal dan Abu Lahab.
Beberapa
bulan kemudian setelah penghapusan piagam, pamannya Abu Thalib jatuh sakit. Dan
pada ahirnya meninggal dunia. Kemudian disusul oleh sang istri tercinta
Khadijah. Muhammad SAW pun merasakan kesedian tiada tara. Karena hal tersebut,
tahun ini disebut ‘tahun berkabung atau tahun duka cita’.
Selang
beberapa bulan dari kejadian itu, nabi hijrah ke Ta’if dengan tujuan mencari
dukungan. Tapi sesampainya di sana beliau mendapatkan penolan Bani Thaqif
dengan tegas. Begitu pula dengan kabilah-kabilah lainnya, dengan
alasan-alasannya masing-masing.
Berjarak
beberapa bulan Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu isra’ dan mi’raj. Tentang
bagaimana peristiwa itu berlangsung ada yang mengemukakan dengan ruh dan ada
juga yang mengemukakan dengan jasad.
Mungkin
cukup ini yang dapat kami sampaikan dalam karya ini, apabila ada kesalahan
dalam penulisan, kami mohon kritik dan saran dari para pembaca. Karena masihlah
manusia biasa tempatnya salah dan lupa. Terima kasih telah bersadia membaca
tulisan ini.
H. Daftar
Pustaka
al-Buti, M. Sa’id Ramadhan. Fiqh al-Sirah 1. terjemah Mohd.
Darus Sanawi. Kuala Lumpur : Dewan Pustaka Fajar. 1983
Ali, Maulana M. Muhammad The Prophet. terjemah Suyud SA Syurayudha.
Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah. 2007
Haykal, Muhammad
Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta : Tintomas. 1972
_____________. The Life of Muhammad. translated by Ismail Razi A.
Al-Faruqi. Chicago : The University of Chicago Press. 1968
Spancer, Robert. The Truth about Muhammad. New York :
Regnery Publishing. Inc. 1947
[1]
Maulana M. Ali, Muhammad The Prophet, terjemah Suyud SA Syurayudha,
Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah, 2007, hlm. 94-95
[2]
Muhammad Husain Haykal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta : Tintomas,
1972, hlm. 153-154
[3]
Muhammad Husayn Haykal, The Life of Muhammad, translated by Ismail Razi
A. Al-Faruqi, Chicago : The University of Chicago Press, 1968,hlm. 190-192
[4]
M. Husain Haykal, Sejarah Op.cit., hlm. 155-156
[5]
M. Husayn Haykal, The Life Op.cit., hlm. 194
[6]
M. Sa’id Ramadhan al-Buti, Fiqh al-Sirah 1, terjemah Mohd. Darus Sanawi,
Kuala Lumpur : Dewan Pustaka Fajar, 1983, hlm. 74
[7]
Sebuah kota di Selatan Mekkah. Lihat di : Robert Spancer, The Truth about Muhammad, New
York : Regnery Publishing, Inc. 1947, hlm. 8
[8]
Maulana M. Ali, Muhammad Op.cit., hlm. 99
[9]
M. Sa’id Ramadhan al-Buti, Fiqh Op.cit., hlm. 77-80
[10]
Dewi yang disembah kaum pagan Quraysh (kedudukannya sama dengan al-‘Uzza).
Lihat di : Robert Spancer, The Truth
Op.cit., hlm. 78
[11]
Kota dimana Nabi SAW dan umatnya mencari perlindungan dari orang-orang Quraysh
atas siksaan yang mereka berikan. Dalam buku lain kota ini dikenal dengan nama
Habsyah. Lihat di Maulana M. Ali, Muhammad Op.cit., hlm.79-81
[12]
Kuda bersayap berkepala manusia yang dipercaya menemani perjalanan isra’ dan
mi’raj Nabi Muhammad. Lihat di : Robert
Spancer, The Truth Op.cit., hlm.7
[13] M. Husain
Haykal, Sejarah Op.cit., hlm.159-161
[14] Ibid,
hlm.161-162
[15] M.
Husayn Haykal, The Life Op.cit., hlm.202
[16] Ibid,
hlm. 204-205
Tidak ada komentar:
Posting Komentar