Minggu, 19 Juni 2016

Sirah Nabawi: Lari Dari Mekkah Sampai Isra' Mi'raj



A. Latar Belakang
Sosok seorang pedoman atau panutan yang ideal yang hidup dimasa lampau, yang mampu memberikan pengaruh yang besar dalam perubahan dunia. Sosok yang diagungkan, sosok yang dimuliakan, sosok yang dihormati,dan disanjung-sanjung oleh seluruh umat islam di dunia. Banyak orang yang mengaplikasikannya dengan bershalawat kepadanya. Tapi, apakah hal itu cukup ? Banyak dari kalangan cendikiawan berpendapat bahwa menghormati, mengagungkan, memuliakan, dan menyanjung Rasulullah SAW tidak cukup hanya dengan bershalawat kepadanya. Selain itu diperlukan untuk mengetahui sejarah hidup beliau.
Untuk itu, sebagai kaum akademisi islam, kita perlu membahas tentang sejarah Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam studi “Sirah Nabawi”, yang telah menjelaskan tentang sejarah Rasulullah SAW mulai dari Arab pra-isalam sampai kepada masa pemboikotan kaum Quraysh terhadap Rasullah SAW. Maka dalam makalah ini akan membahas tentang umat Rasulullah SAW dari Mekkah sampai pembatalan piagam, tahun berkabung, hijrah ke Ta’if, dan isra’ mi’raj. Pada referensi dari buku karangan Muhammad Husain Haykal yang berjudul “Hayat Muhammad” yang ditranslit menjadi “The Life of Muhammad” dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Sejarah Hidup Muhammad”.
B. Lari dari Mekkah sampai Pembatalan Piagam
Selama tiga tahun  berturut-turut  piagam  yang  dibuat  pihak  Quraisy  untuk memboikot Muhammad dan mengepung Muslimin itu tetap berlaku. Dalam pada itu  Muhammad dan keluarga  serta  sahabat-sahabatnya sudah mengungsi ke celah-celah gunung di luar kota Mekkah,  dengan  mengalami pelbagai  macam penderitaan,  sehingga  untuk  mendapatkan  bahan  makanan sekadar  menahan rasa  laparpun  tidak  ada.  Baik  kepada  Muhammad  atau  kaum  Muslimin  tidak diberikan kesempatan bergaul dan bercakap-cakap dengan orang, kecuali dalam bulan-bulan  suci.  Pada  waktu  itu  orang-orang  Arab  berdatangan  ke  Mekkah berziarah,  segala  permusuhan  dihentikan, tak  ada  pembunuhan, tak ada penganiayaan, tak ada permusuhan, tak ada balas dendam.[1]
Pada bulan-bulan itu Muhammad turun, mengajak orang-orang Arab itu kepada agama Allah, diberitahukannya kepada mereka arti pahala dan arti siksa. Segala penderitaan yang dialami  Muhammad demi dakwah itu justru telah  menjadi penolongnya dari kalangan orang banyak.  Mereka yang telah mendengar tentang itu lebih bersimpati kepadanya, lebih suka mereka menerima ajakannya.
Blokade yang dilakukan Quraisy kepadanya, kesabaran dan ketabahan hatinya memikul semua itu demi risalahnya, telah dapat memikat hati orang banyak, hati yang tidak begitu membatu, tidak begitu kaku seperti hati Abu Jahl, Abu Lahab dan yang sebangsanya.
Akan tetapi, penderitaan yang begitu lama, begitu banyak dialami kaum Muslimin karena kekerasan pihak Quraisy (padahal mereka masih sekeluarga: saudara, ipar, sepupu) banyak  diantara  mereka  itu  yang  merasakan  betapa  beratnya kekerasan dan kekejaman yang mereka lakukan itu. Sekiranya  tidak  ada dari  penduduk  yang  merasa  simpati  kepada  kaum  Muslimin,  membawakan makanan ke celah-celah gunung tempat mereka mengungsi itu, niscaya mereka akan mati kelaparan. Dalam hal ini Hisyam ibn ‘Amr termasuk salah seorang dari kalangan  Quraisy  yang  paling  simpati  kepada  Muslimin. Tengah  malam  ia  datang  membawa  unta  yang  sudah  dimuati  makanan  atau gandum.  Bilamana  ia  sudah  sampai  di  depan  celah  gunung itu,  dilepaskannya tali untanya lalu dipacunya supaya terus masuk ke tempat mereka dalam celah itu. Merasa  kesal  melihat  Muhammad  dan  sahabat-sahabatnya  dianiaya  demikian rupa, ia pergi menemui Zuhair bin Abi Umayya (Bani Makhzum). Ibu Zuhair ini adalah  Atika  binti  Abdul Muttalib (Bani Hasyim).
“Zuhair” kata Hisyam, “Kau sudi menikmati makanan, pakaian dan wanita-wanita, padahal,  seperti  kau  ketahui,  keluarga  ibumu  tidak  boleh berhubungan dengan orang, berjual-beli, tidak boleh  saling mengawinkan? Aku bersumpah, bahwa kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibu, keluarga Abul Hakam  ibn  Hisyam,  lalu  aku  diajak  seperti  mengajak  kau,  tentu  akan  kutolak.” Keduanya kemudian sepakat akan sama-sama membatalkan  piagam itu. Tapi meskipun  begitu  harus  mendapat dukungan juga dari yang lain, dan secara rahasia mereka harus diyakinkan. Pendirian kedua orang itu kemudian disetujui oleh  Mut’im bin ‘Adi (Naufal),  Abul Bakhtari  bin Hisyam dan Zamia  bin al-Aswad (keduanya dari Asad). Kelima mereka lalu sepakat akan mengatasi persoalan piagam  itu dan akan membatalkannya.[2]
Dengan tujuh kali mengelilingi Ka’bah keesokan paginya Zuhair bin Umayya berseru kepada orang banyak : “Hai penduduk Mekkah! Kamu sekalian enak-enak makan dan berpakaian, padahal  Bani  Hasyim  binasa  tidak  dapat  mengadakan hubungan  dagang!  Demi  Allah  saya  tidak  akan  duduk  sebelum  piagam  yang kejam  ini  dirobek!” Tetapi  Abu  Jahl,  begitu  mendengar  ucapan  itu, iapun  berteriak: “Bohong! Tidak akan kita robek!” Saat itu juga terdengar suara-suara Zam’a, Abul Bakhtari, Mut’im dan ‘Amr ibn Hisyam  mendustakan Abu Jahl dan mendukung Zuhair. Abu Jahl segera menyadari bahwa peristiwa ini akan terselesaikan juga malam itu  dan  orangpun  sudah  menyetujui.  Kalau  dia  menentang  mereka  juga,  tentu akan timbul bencana. Merasa kuatir, lalu cepat-cepat ia pergi. Waktu itu, ketika Mut’im bersiap akan merobek piagam tersebut, dilihatnya  sudah mulai dimakan rayap,  kecuali  pada  bagian  pembukaannya  yang  berbunyi:  “Atas  namaMu ya Allah...”
Demikian terdapat kesempatan pada Muhammad dan  sahabat-sahabat pergi  meninggalkan  celah  bukit  yang  curam  itu dan kembali ke Mekah. Kesempatan  berjual-beli  dengan  Quraisy  juga  terbuka,  sekalipun  hubungan antara keduanya seperti dulu juga, masing-masing siap-siaga bila permusuhan itu  kelak sewaktu-waktu memuncak lagi.
Beberapa  penulis  biografi  dalam  hal ini berpendapat, bahwa diantara mereka yang  bertindak  menghapuskan piagam itu terdapat orang-orang yang masih menyembah berhala. Untuk  menghindarkan  timbulnya  bencana,  mereka mendatangi Muhammad dengan permintaan supaya ia mau saling mengulurkan tangan  dengan  Quraisy  dengan  misalnya  memberi  hormat  kepada  dewa-dewa mereka  sekalipun  cukup  hanya  dengan  jari-jarinya  saja  dikelilingkan.  Agak cenderung  juga  hatinya  atas  usul  itu,  sebagai  pengharapan  atas  kebaikan  hati mereka.  Dalam  hatinya  seolah  ia  berkata:  “Tidak  apa  kalau saya  lakukan  itu. Allah  mengetahui  bahwa  saya  tetap  taat.” Atau  karena mereka yang telah menghapuskan piagam dan beberapa orang lagi itu,  pada  suatu  malam  mengadakan  pertemuan  dengan Muhammad sampai pagi. Perbicaraan itu mereka sangat menghormatinya, menempatkannya sebagai  yang  dipertuan  atas  mereka,  mengajaknya  kompromi, seraya  kata mereka: “Tuan adalah pemimpin kami...”[3]
Sementara mereka masih mengajaknya bicara itu, sampai-sampai hampir saja ia mengalah atas beberapa hal menurut kehendak mereka. Iniadalah dua sumber hadis,  yang  pertama  sebagian  diceritakan  oleh  Sa’id  b.  Jubair,  sedang  yang kedua  oleh  Qatada.  Kata  mereka  kemudian  Allah  melindungi  Muhammad  dari kesalahan,  dengan  firman-Nya yang berarti :
“Dan  hampir-hampir  saja  mereka  itu  menggoda  kau  tentang yang sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas nama Kami memalsukan dengan yang lain. Ketika itulah mereka  mengambil  engkau  menjadi  kawan  mereka.  Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampircenderung juga kepada mereka barang sedikit. Dalam hal ini, akan  Kami  timpakan  kepadamu  hukuman  berlipat  ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya engkau tiada mempunyai penolong  menghadapi  Kami.” (Q.S. al-Isra’, 17 : 73-75)
Apabila  wahyu  turun  kepadanya  memberi  peringatan  atas  perbuatannya terhadap  orang  buta  itu, dan terhadap godaan Quraisy yang hampir menjerumuskannya, maka kejujurannya dalam menyampaikan wahyu itu kepada orang  sama  pula  seperti  ketika  menyampaikan  amanat  Tuhan itu.  Tak  ada sesuatu  yang  akan  menghalanginya  ia  menyatakan  apa  yang  sebenarnya tentang dirinya itu. Tak ada sikap sombong dan congkak, tidak ada rasa tinggi hati.[4]
Jadi  kebenaranlah,  dan  hanya  kebenaran  semata  yang  ada  dalam risalahnya itu. Apabila dalam menanggung siksaan orang lain demi  idea yang diyakininya, orang yang berjiwa besar masih sanggup memikulnya, maka pengakuan orang besar itu bahwa ia hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi kebiasaan, sekalipun oleh  orang-orang  besar  sendiri.  Hal-hal  semacam  itu  biasanya  oleh  mereka disembunyikan dan yang diperhitungkan hanya harga dirinya, meskipun dengan susah  payah.  Inilah  kebesaran  yang  tak  ada  taranya,  lebih  besar  dari  orang besar. Itulah sebenarnya kebesaran jiwa yang dapat memperlihatkan kebenaran secara keseluruhan. Itulah yang juga lebih luhur dari segala kebesaran, dan lebih besar  dari  segala  yang  besar,  yakni  sifat  kenabian  yang  menyertai  Rasul  itu dengan  segala  keikhlasan  dan  kejujurannya  meneruskan  Risalah  Kebenaran Tertinggi.
Sesudah piagam disobek, Muhammad dan pengikut-pengikutnyapun keluar dari lembah  bukit-bukit  itu.  Seruannya  dikumandangkan  lagi  kepada  penduduk Mekah  dan  kepada  kabilah-kabilah  yang  pada bulan-bulan suci itu datang berziarah ke Mekah. Meskipun ajakan Muhammad sudah tersiarkepada seluruh kabilah Arab di samping banyaknya mereka yang  sudah  menjadi  pengikutnya, tapi sahabat-sahabat itu tidak selamat dari siksaan Quraisy, juga dia tidak dapat mencegahnya.
C. Tahun Berkabung atau Tahun Duka Cita
Beberapa  bulan  kemudian  sesudah  penghapusan  piagam  itu, secara  tiba-tiba sekali  dalam  satu  tahun  saja  Muhammad  mengalami  duka-cita  yang sangat menekan  perasaan,  yakni  kematian  Abu Talib dan Khadijah  secara  berturut-turut.  Waktu  itu  Abu  Talib  sudah  berusia  delapan puluh  tahun  lebih.  Setelah Quraisy  mengetahui  ia  dalam  keadaan  sakit  yang  akan  merupakan akhir hayatnya,  mereka  merasa  kuatir  apa  yang  akan  terjadi  nanti antara  mereka dengan  Muhammad  dan  sahabat-sahabatnya.  Apalagi  sesudah ada  Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras. Karena itu pemuka-pemuka Quraisy segera  mendatangi  Abu Talib, untuk  kemudian  mengatakan: “Abu Talib, seperti  kau  ketahui,  kau  adalah  dari  keluarga  kami  juga.  Keadaan sekarang seperti kau ketahui sendiri, sangat mencemaskan kami. Engkau juga sudah  mengetahui  keadaan  kami  dengan  kemenakanmu  itu.  Panggillah  dia. Kami akan saling memberi dan saling menerima. Dia angkat tangan dari kami, kamipun  akan  demikian.  Biarlah  kami  dengan  agama  kami dan dia  dengan agamanya  sendiri  pula.”
Muhammad  datang  tatkala  mereka  masih  berada  di  tempat  pamannya  itu. Setelah  diketahuinya  maksud  kedatangan  mereka,  iapun  berkata: “Sepatah  kata  saja  saya  minta,  yang  akan  membuat  mereka  merajai  semua orang  Arab dan bukan Arab.” “Ya, demi bapamu!”  jawab  Abu  Jahl.  “Sepuluh  kata  sekalipun  silakan!” Kata  Muhammad:  “Katakan,  tak  ada  tuhan  selain  Allah,  dan  tinggalkan  segala penyembahan  yang  selain  Allah.” “Muhammad,  maksudmu  supaya  tuhan-tuhan  itu  dijadikan  satu  Tuhan  saja?” kata  mereka. Kemudian  mereka  berkata  satu  sama  lain:  “Orang  ini  tidak  akan  memberikan apa-apa  seperti  yang  kamu  kehendaki.  Pergilah  kalian!” Ketika Abu Talib meninggal hubungan Muhammad dengan  pihak Quraisy lebih buruk  lagi  dari  yang  sudah-sudah.
Dan sesudah Abu Talib, disusul pula dengan kematian Khadijah. Khadijah yang menjadi  sandaran  Muhammad,  Khadijah  yang  telah mencurahkan segala rasa cinta dan kesetiaannya, dengan perasaan yang lemah-lembut, dengan hati yang bersih,  dengan  kekuatan  iman  yang  ada  padanya.  Khadijah,  yang dulu menghiburnya bila  ia  mendapat  kesedihan,  mendapat  tekanan  dan  yang menghilangkan  rasa  takut  dalam  hatinya.  Ia  adalah  bidadari  yang  penuh  kasih sayang.  Pada  kedua  mata  dan  bibirnya  Muhammad  melihat  arti  yang  penuh percaya kepadanya, sehingga ia sendiripun tambah percaya kepada dirinya. Abu Talib pun meninggal, orang yang menjadi pelindung danperisai terhadap segala tindakan musuh. Pengaruh apakah yang begitu sedih, begitu pedih menusuk jiwa Muhammad ? Yang pasti, dua peristiwa itu akan meninggalkan luka parah dalam jiwa orang (yang bagaimanapun kuatnya), akan menusukkan racun putus  asa  kedalam  hatinya.  Ia  akan  dikuasai  perasaan  sedih  dan  duka,  akan dirundung  kepiluan  dan  akan  membuatnya  jadi  lemah,  tak  dapat  berpikir  lain diluar  dua  peristiwa  yang  sangat  mengharukan  itu.[5]
Sesudah kehilangan dua orang yang selalu membelanya itu Muhammad melihat Quraisy  makin  keras  mengganggunya. Yang paling ringan diantaranya  ialah ketika  seorang  pandir  Quraisy  mencegatnya  di  tengah  jalan  lalu  menyiramkan tanah  ke  atas  kepalanya.  Tahukah  orang  apa  yang  dilakukan  Muhammad?  Ia pulang ke rumah dengan tanah yang masih diatas kepala. Fatimah puterinya lalu datang  mencucikan  tanah  yang  di  kepala  itu.  Ia  membersihkannya  sambil menangis. Tak ada yang lebih pilu rasanya dalam hati seorang ayah dari pada mendengar  tangis  anaknya,  lebih-lebih  anak  perempuan.  Setitik  air  mata kesedihan yang mengalir dari kelopak mata seorang puteri  adalah sepercik api yang membakar jantung, membuatnya kaku karena pilu, dan karena pilunya ia akan  menangis  kesakitan.  Juga  secercah  duka  yang  menyelinap  kedalam  hati adalah rintihan jiwa yang sungguh keras, terasa mencekik leher dan hampir pula menggenangi  mata.
Sebenarnya  Muhammad  adalah  seorang  ayah  yang  sungguh  bijaksana  dan penuh kasih kepada puteri-puterinya.  Apakah yang kita lihat ia lakukan terhadap tangisan anak perempuan yang baru saja kehilangan ibunya itu? Yang menangis hanya karena malapetaka yang menimpa ayahnya? Tidak lebih dan semua itu ia hanya  menghadapkan  hatinya  kepada  Allah  dengan  penuh  iman  akan  segala pertolongan-Nya. “Jangan menangis anakku!” katanya kepada puterinya yang sedang berlinang air mata  itu.  “Tuhan  akan  melindungi  ayahmu.” Kemudian diulangnya: “Sebelum wafat Abu Talib orang-orang Quraisy itu tidak seberapa  mengganggu  saya.” Sesudah peristiwa itu gangguan Quraisy kepada Muhammad makin menjadi-jadi. Ia  merasa  tertekan  sekali.[6]
D. Muhammad Pergi ke Ta’if dan Penolakan Thaqif
Terasing  seorang  diri,  ia  pergi  ke Ta’if,[7] dengan  tiada  orang  yang mengetahuinya.  Ia  pergi  ingin  mendapatkan  dukungan  dari Bani Thaqif terhadap  masyarakatnya  sendiri,  dengan  harapan  merekapun  akan  dapat menerima Islam. Tetapi ternyata mereka juga menolaknya secara kejam sekali. Kalaupun sudah begitu, ia masih mengharapkan mereka jangan memberitahukan  kedatangannya  minta  pertolongan  itu,  supaya  jangan  ia disoraki oleh masyarakatnya sendiri. Tetapi permintaannya itupun tidak didengar. Bahkan  mereka  menghasut  orang-orang  pandir  agar  bersorak-sorai dan memakinya. Ia  pergi  lagi  dari  sana,  berlindung  pada  sebuah  kebun  kepunyaan  ‘Utba dan Syaiba  anak-anak  Rabi’a.  Orang-orang  yang  pandir  itu  kembali  pulang.  Ia  lalu duduk  di  bawah  naungan  pohon  anggur.  Ketika  itu  keluarga  Rabi’a  sedang memperhatikannya  dan  melihat  pula  kemalangan  yang  dideritanya.  Sesudah agak  reda, ia mengangkat kepala menengadah ke atas, ia hanyut dalam suatu doa  yang  berisi  pengaduan  yang  sangat  mengharukan: “Allahumma  yang  Allah,  kepadaMu  juga  aku  mengadukan  kelemahanku, kurangnya  kemampuanku serta  kehinaan diriku di  hadapan manusia. Engkaulah Yang Maha  Pengasih,  Yang Maha  Penyayang.  Engkaulah  yang  melindungi  si  lemah,  dan Engkaulah  pelindungku.  Kepada  siapa  hendak  Kau serahkan  daku?  Kepada orang yang memusuhiku dan berwajah muram kepadaku, atau kepada teman dekat yang Engkau menguasai perkaraku ? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku. Bukannya aku tidak berhati-hati, tapi jika aku tidak berlindung kepada cahaya wajah-Mu yang menyinari langit dan menghapus segala kegelapan, dan menguasai segala perkara di dunia  maupun di akhirat kelak. Semoga aku tidak membuat kesulitan bagi-Mu, atau Engkau murka kepadaku.  Tak ada kekuatan selain pertolongan-Mu.”[8]
Dalam  memperhatikan  keadaan  itu  hati  kedua  orang  anak  Rabi’a  itu  merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan melihat nasib buruk yang dialaminya itu.  Budak  mereka,  seorang  beragama  Nasrani  bernama  Eddas,  diutus kepadanya membawakan buah anggur dari kebun itu. Sambil meletakkan tangan di atas buah-buahan  itu  Muhammad  berkata:  Bismillah!” Lalu  buah  itu dimakannya. Eddas  memandangnya  keheranan. “Kata-kata  ini  tak  pernah  diucapkan  oleh  penduduk  negeri  ini,”  kata  Eddas. Lalu  Muhammad  menanyakan  negeri  asal  dan  agama  orang  itu.  Setelah diketahui  bahwa  orang  tersebut  beragama  Nasrani  dari  Nineveh,  katanya: “Dari  negeri  orang  baik-baik,  Yunus  anak  Matta.” “Dari  mana  tuan  kenal  nama  Yunus  anak  Matta!”  tanya  Eddas. “Dia  saudaraku.  Dia  seorang  nabi,  dan  aku  juga  Nabi,”  jawab  Muhammad. Saat itu Eddas lalu membungkuk mencium kepala, tangan dan kaki Muhammad. Sudah  tentu  kejadian  ini  menimbulkan  keheranan  keluarga Rabi’a  yang melihatnya.  Sungguhpun  begitu  mereka  tidak  sampai  akan  meninggalkan kepercayaan  mereka.  Dan  tatkala  ‘Addas  sudah  kembali  mereka  berkata: “Eddas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari agamamu, yang masih lebih  baik  dari pada  agamanya.”[9]
Gangguan  orang  yang  pernah  dialami  Muhammad  seolah  dapat  meringankan perbuatan  buruk  yang  dilakukan  Bani Thaqif  itu,  meskipun  mereka tetap  kaku  tidak mau  mengikutinya.  Keadaan  itu  sudah  diketahui  pula  oleh  Quraisy  sehingga gangguan  mereka  kepada  Muhammad  makin  menjadi-jadi.  Tetapi  hal  ini  tidak mengurangi  kemauan  Muhammad  menyampaikan  dakwah  Islam.  Kepada kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah, itu ia memperkenalkan diri, mengajak mereka  mengenal  arti  kebenaran.  Diberitahukannya  kepada  mereka,  bahwa  ia adalah  Nabi  yang  diutus,  dan  dimintanya  mereka  mempercayainya.
Namun sungguhpun begitu, Abu Lahab pamannya tidak membiarkannya, bahkan dibuntutinya  ke  mana  ia  pergi.  Dihasutnya  orang  supaya jangan  mau mendengarkan. Muhammad  sendiri  tidak  cukup  hanya  memperkenalkan  diri  kepada  kabilah-kabilah  Arab  pada  musim  ziarah  di  Mekah  saja,  bahkan  ia  mendatangi  Bani Kinda ke rumah-rumah mereka, mendatangi Bani Kalb, juga ke rumah-rumah mereka, Bani Hanifa dan Bani ‘Amir bin Sha’sha’a. Tapi tak seorangpun dari mereka  yang  mau  mendengarkan. Bani Hanifa  bahkan  menolak  dengan  cara yang  buruk  sekali.  Sedang  Banu  ‘Amir  menunjukkan  ambisinya, bahwa  kalau Muhammad  mendapat  kemenangan,  maka  sebagai  penggantinya,  segala persoalan nanti harus berada di tangan mereka. Tetapi setelah dijawab, bahwa masalah  itu  berada  di  tangan  Tuhan,  merekapun  lalu  membuang  muka  dan menolaknya  seperti  yang  lain-lain.
Adakah  kegigihan  kabilah-kabilah  yang  mengadakan  oposisi  terhadap Muhammad  itu  karena  sebab-sebab  yang  sama  seperti  yang  dilakukan  oleh Quraisy?  Kita  sudah  melihat,  bahwa  Bani  ‘Amir  ini  mempunyai  ambisi  ingin memegang  kekuasaan  bila  bersama-sama  mereka  nanti  ia  mendapat kemenangan. Sebaliknya kabilah Thaqif pandangannya lain lagi. Ta’if di samping sebagai  tempat  musim  panas  bagi  penduduk  Mekah  karena  udaranya  yang sejuk  dan  buah  anggurnya  yang  manis-manis,  juga  kota  ini  merupakan  pusat tempat  penyembahan  al-Lat.[10]  Ke  tempat  itu  orang  berziarah dan  menyembah berhala. Kalau Bani Thaqif  ini sampai menjadi pengikut Muhammad, maka kedudukan al-Lat  akan  hilang.  Permusuhan  mereka  dengan  Quraisypun  akan timbul,  yang sudah tentu akibatnya akan mempengaruhi perekonomian mereka pada musim dingin. Begitu juga halnya dengan yang lain, setiap kabilah mempunyai penyakit sendiri  yang  disebabkan  oleh  keadaan  perekonomian  setempat.  Dalam menentang  Islam  itu,  pengaruh  ini  lebih  besar  terhadap  mereka  daripada pengaruh  kepercayaan  mereka  dan  kepercayaan  nenek-moyang  mereka, termasuk  penyembahan  berhala-berhala.
E. Isra’ Mi’raj
Makin besar oposisi yang dilakukan kabilah-kabilah itu, Muhammad makin mau menyendiri.  Makin  gigih  pihak  Quraisy  melakukan  gangguan  kepada  sahabat-sahabatnya,  makin  pula  ia  merasakan  pedihnya. Masa berkabung terhadap Khadijah itupun sudah pula berlalu. Terpikir olehnya akan  beristeri,  kalau-kalau  isterinya  itu  kelak  akan  dapat  juga  menghiburnya, dapat  mengobati  luka  dalam  hatinya,  seperti  dilakukan  Khadijah  dulu.  Tetapi dalam hal ini ia melihat pertaliannya dengan orang-orang Islam yang mula-mula itu harus makin dekat dan perlu dipererat lagi. Itu sebabnya ia segera melamar puteri Abu Bakr, Aisyah. Oleh  karena waktu itu ia masih  gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun, maka yang sudah dilangsungkan baru akad nikah, sedang perkawinan  berlangsung  dua  tahun  kemudian,  ketika  usianya  mencapai sembilan  tahun. Sementara  itu  ia  kawin  pula  dengan  Sauda,  seorang  janda  yang  suaminya pernah ikut mengungsi ke Abisinia[11] dan kemudian meninggal setelah kembali ke Mekah.
Pada masa itulah Isra’ dan Mi’raj terjadi. Malam itu Muhammad sedang berada di rumah  saudara  sepupunya,  Hindun  puteri  Abu  Talib  yang  mendapat  nama panggilan  Umm  Hani’.  Ketika  itu  Hindun  mengatakan: “Malam  itu Rasulullah bermalam  di  rumah  saya.  Selesai  salat  akhir  malam,  ia tidur  dan  kamipun  tidur.  Pada  waktu  sebelum  fajar  Rasulullah  sudah membangunkan kami. Sesudah melakukan ibadat pagi bersama-sama kami, ia berkata:  ‘Umm  Hani’,  saya  sudah  salat  akhir  malam  bersama  kamu  sekalian seperti yang kau lihat di lembah ini. Kemudian saya ke Baitul Maqdis (Yerusalem) dan bersembahyang di sana. Sekarang saya sembahyang siang bersama-sama kamu  seperti  kau lihat.” Kataku: “Rasulullah, janganlah menceritakan ini kepada orang lain. Orang akan mendustakan  dan  mengganggumu  lagi!” “Tapi  harus  saya  ceritakan  kepada  mereka”  jawabnya.
Orang  yang  mengatakan,  bahwa  Isra’ dan Mi’raj Muhammad dengan ruh itu berpegang kepada keterangan Umm Hani’ ini, dan juga kepada yang  pernah  dikatakan  oleh  Aisyah: “Jasad  Rasulullah  SAW  tidak  hilang,  tetapi  Allah  menjadikan  isra’ itu  dengan ruhnya.” Juga Mu’awiya bin Abi  Sufyan  ketika  ditanya  tentang  isra’  Rasul menyatakan:  Itu  adalah  mimpi  yang  benar  dari  Tuhan.  Di samping  semua  itu orang berpegang kepada firman Tuhan: “Tidak lain mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu  adalah  sebagai  ujian  bagi  manusia.” (Q.S. al-Isra’, 17 : 60)
Sebaliknya orang yang berpendapat, bahwa isra’ dari Mekah ke Baitul Maqdis itu dengan jasad, landasannya ialah apa yang pernah dikatakan oleh Muhammad, bahwa  dalam  isra’  itu  ia  berada  di  pedalaman,  seperti yang  akan  disebutkan ceritanya nanti. Sedang mi’raj ke langit adalah dengan ruh. Disamping mereka itu ada lagi pendapat bahwa isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan jasad. Polemik sekitar  perbedaan  pendapat  ini  di  kalangan  ahli-ahli  iImu  kalam  banyak  sekali dan  ribuan  pula  tulisan-tulisan  sudah  dikemukakan  orang. Sekitar arti  isra’ ini.
Dengan indah sekali Dermenghem melukiskan kisah ini yang disarikannya dari pelbagai  buku  sejarah  hidup  Nabi,  yang  terjemahannya  sebagai  berikut: “Pada  tengah  malam  yang  sunyi  dan  hening,  burung-burung  malampun  diam membisu,  binatang-binatang  buas  sudah  berdiam  diri,  gemercik  air  dan  siulan angin juga sudah tak terdengar lagi, ketika itu Muhammad terbangun oleh suara yang  memanggilnya:  “Hai  orang  yang  sedang  tidur,  bangunlah!”  Dan  bila  ia bangun,  dihadapannya  sudah  berdiri  Malaikat  Jibril  dengan  wajah  yang  putih berseri dan berkilauan seperti salju, melepaskan rambutnya yang  pirang  terurai, dengan  mengenakan  pakaian  berumbaikan  mutiara  dan  emas.  Dan  dari sekelilingnya  sayap-sayap  yang  beraneka  warna  bergeleparan. Tangannya memegang seekor hewan yang ajaib, yaitu buraq[12]  yang bersayap seperti sayap garuda.  Hewan  itu  membungkuk  di hadapan Rasul, dan  Rasulpun naik. “Maka  meluncurlah  buraq  itu  seperti  anak  panah  membubung  di  atas pegunungan  Mekah,  di  atas  pasir-pasir  sahara  menuju  arah ke  utara.  Dalam perjalanan itu ia ditemani oleh malaikat. Lalu berhenti di gunung Sinai di tempat Tuhan berbicara dengan Musa. Kemudian berhenti lagi di Bethlehem tempat Isa dilahirkan.  Sesudah  itu  kemudian  meluncur  di  udara. “Sementara  itu  ada  suara-suara  misterius  mencoba  menghentikan  Nabi,  orang yang  begitu  ikhlas  menjalankan  risalahnya.  Ia  melihat,  bahwa  hanya  Tuhanlah yang  dapat  menghentikan  hewan  itu  di  mana  saja  dikehendaki-Nya.
Seterusnya  mereka  sampai  ke  Baitul Maqdis.  Muhammad  mengikatkan  hewan kendaraannya  itu.  Di  puing-puing  kuil  Sulaiman  ia  bersembahyang  bersama-sama  Ibrahim,  Musa  dan  Isa.  Kemudian  dibawakan  tangga,  yang  lalu dipancangkan  diatas  batu  Ya’qub.  Dengan  tangga  itu  Muhammad  cepat-cepat naik  ke  langit. Langit  pertama  terbuat  dari  perak  murni  dengan  bintang-bintang  yang digantungkan  dengan  rantai-rantai  emas.  Tiap  langit  itu  dijaga  oleh  malaikat, supaya jangan ada setan-setan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang akan mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di langit inilah Muhammad memberi hormat  kepada  Adam.  Di  tempat  ini  pula  semua  makhluk  memuja  dan  memuji Tuhan. Pada keenam langit berikutnya Muhammad bertemu dengan Nuh, Harun, Musa,  Ibrahim,  Daud,  Sulaiman,  Idris,  Yahya  dan  Isa.  Juga  di  tempat  itu  ia melihat Malaikat maut Izrail, yang karena besarnya jarak antara kedua matanya adalah sejauh tujuh ribu hari perjalanan. Dan karena kekuasaan-Nya, maka yang berada di bawah perintahnya adalah seratus ribu kelompok. Ia sedang mencatat nama-nama  mereka  yang  lahir  dan  mereka  yang  mati,  dalam sebuah  buku besar.  Ia  melihat  juga  Malaikat  Air mata,  yang  menangis  karena  dosa-dosa orang,  Malaikat  Dendam  yang  berwajah  tembaga  yang  menguasai  anasir  api dan  sedang  duduk  di  atas  singgasana  dari  nyala  api.  Dan  dilihatnya  juga  ada malaikat  yang  besar  luar  biasa,  separo  dari  api  dan  separo  lagi  dari  salju, dikelilingi oleh malaikat-malaikat yang merupakan kelompok yang tiada hentinya menyebut-nyebut  nama  Tuhan:  Oh Tuhan,  Engkau  telah  menyatukan  salju dengan  api,  telah  menyatukan  semua  hamba-Mu  setia  menurut  ketentuan-Mu.[13]
Langit ketujuh adalah tempat orang-orang yang adil, dengan malaikat yang lebih besar dari bumi ini seluruhnya. Ia mempunyai tujuh puluh ribu kepala, tiap kepala tujuh puluh ribu mulut, tiap mulut tujuh puluh ribu lidah, tiap lidah dapat berbicara dalam  tujuh  puluh  ribu  bahasa,  tiap  bahasa  dengan  tujuhpuluh  ribu  dialek. Semua  itu  memuja  dan  memuji  serta  mengkuduskan  Tuhan. “Sementara  ia  sedang  merenungkan  makhluk-makhluk  ajaib  itu,  tiba-tiba  ia membubung  lagi  sampai  di  Sidratul Muntaha  yang  terletak  di  sebelah  kanan ‘Arsy,  menaungi  berjuta-juta  ruh  malaikat.  Sesudah  melangkah,  tidak  sampai sekejap  matapun  ia  sudah  menyeberangi  lautan-lautan  yang begitu  luas  dan daerah-daerah  cahaya  yang  terang-benderang,  lalu  bagian  yang  gelap  gulita disertai  berjuta  juta  tabir  kegelapan,  api,  air,  udara  dan  angkasa.  Tiap  macam dipisahkan  oleh  jarak  500  tahun  perjalanan.  Ia  melintasi  tabir-tabir  keindahan, kesempurnaan, rahasia, keagungan dan kesatuan. Dibalik itu terdapat tujuh puluh ribu  kelompok  malaikat  yang  bersujud  tidak  bergerak  dan  tidak  pula diperkenankan  meninggalkan  tempat.
Kemudian  terasa  lagi  ia  membubung  ke  atas  ke  tempat  Yang  Maha  Tinggi. Tiba-tiba bumi dan langit menjadi satu, hampir-hampir tak dapat  lagi  ia  melihatnya,  seolah-olah sudah  hilang  tertelan.  Keduanya  tampak hanya  sebesar  biji-bijian  di  tengah-tengah  ladang  yang  membentang  luas. “Begitu  seharusnya  manusia  itu,  di  hadapan  Raja  semesta  alam.”
Kemudian lagi ia sudah berada di hadapan ‘Arsy, sudah  dekat sekali. Ia sudah dapat  melihat  Tuhan  dengan  persepsinya,  dan  melihat  segalanya  yang  tidak dapat  dilukiskan  dengan  lidah,  di  luar  jangkauan  otak  manusia  akan  dapat menangkapnya.  Maha  Agung  Tuhan  mengulurkan  sebelah  tangan-Nya  di  dada Muhammad  dan  yang  sebelah  lagi  di  bahunya.  Ketika  itu  Nabi  merasakan kesejukan  di  tulang  punggungnya.  Kemudian  rasa  tenang,  damai,  lalu  fana  ke dalam  Diri  Tuhan  yang  terasa  membawa  kenikmatan. Sesudah  berbicara (?)  Tuhan  memerintahkan  hamba-Nya  itu  supaya  setiap Muslim setiap hari sembahyang lima puluh kali. Begitu Muhammad kembali turun dari  langit,  ia  bertemu  dengan  Musa. Musa  berkata  kepadanya: “Bagaimana  kau harapkan  pengikut-pengikutmu  akan  dapat  melakukan  salat lima puluh kali tiap hari? Sebelum engkau aku sudah punya pengalaman, sudah kucoba terhadap anak-anak Israil sejauh yang dapat kulakukan. Percayalah dan kembali  kepada  Tuhan,  minta  supaya  dikurangi  jumlah  sembahyang  itu.” Muhammadpun  kembali.  Jumlah  sembahyang  juga  lalu  dikurangi  menjadi empat puluh.  Tetapi  Musa  menganggap  itu  masih  di  luar  kemampuan  orang. Disuruhnya  lagi  Nabi  penggantinya  itu  berkali-kali  kembali  kepada  Tuhan sehingga  berakhir  dengan  ketentuan  yang  lima  kali.
Sekarang  Jibril  membawa  Nabi  mengunjungi  surga  yang  sudah  disediakan sesudah hari kebangkitan, bagi mereka yang teguh iman. Kemudian Muhammad kembali dengan tangga itu ke bumi. Buraqpun dilepaskan. Lalu ia kembali dari Baitul Maqdis  ke  Mekah.
Demikian  cerita  Dermenghem  tentang  Isra’  dan  Mi’raj.  Kitapun  dapat  melihat, apa  yang  diceritakannya  itu  memang  tersebar  luas  dalam  buku-buku  sejarah hidup  Nabi,  sekalipun  akan  kita  lihat  juga  bahwa  semua  itu  berbeda-beda.  Di sana-sini  dilebihi  atau  dikurangi.
Salah satu contoh misalnya cerita Ibn Hisyam melalui ucapan Nabi SAW sesudah  berjumpa  dengan  Adam  di  langit  pertama,  ketika  mengatakan: “Kemudian  kulihat  orang-orang  bermoncong  seperti  moncong  unta,  tangan mereka memegang segumpal api seperti batu-batu, lalu  dilemparkan ke dalam mulut  mereka  dan  keluar  dari  dubur.  Aku  bertanya:  “Siapa  mereka  itu,  Jibril?”. “Mereka yang memakan harta anak-anak  yatim secara tidak sah,” jawab Jibril.
Kemudian ku lihat orang-orang dengan perut yang belum  pernah kulihat dengan cara  keluarga  Fir’aun  menyeberangi  mereka  seperti  unta  yang  kena  penyakit dalam  kepalanya,  ketika  dibawa  ke  dalam  api.  Mereka  diinjak-injak  tak  dapat beranjak dari tempat mereka. Aku bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril ?”. “Mereka itu  tukang-tukang  riba,”  jawabnya.  Kemudian  kulihat  orang-orang,  di  hadapan mereka  ada  daging  yang  gemuk  dan  baik,  di  samping  ada  daging  yang  buruk dan busuk. Mereka makan daging yang buruk dan busuk itu dan meninggalkan yang  gemuk  dan  baik.  Aku  bertanya:  “Siapakah  mereka  itu,  Jibril ?”  “Mereka orang-orang  yang  meninggalkan  wanita  yang  dihalalkan  Tuhan  dan  mencari wanita yang diharamkan,” jawabnya. Kemudian aku melihat wanita-wanita yang digantungkan pada buah dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapa mereka itu, Jibril?” “Mereka itu wanita yang memasukkan laki-laki lain bukan dari keluarga mereka ...” Kemudian aku dibawa ke surga. Di sana kulihat seorang budak perempuan, bibirnya  merah.  Kutanya  dia:  “Kepunyaan  siapa  engkau?” Aku  tertarik  sekali waktu  kulihat.  “Aku  kepunyaan  Zaid  ibn  Haritha,”  jawabnya.  Maka  Rasulullah SAW  lalu  memberi  selamat  kepada  Zaid  ibn  Haritha.”[14]
Selain dari buku Ibn Hisyam ini, dalam buku-buku sejarah  hidup Nabi yang lain dan  dalam  buku-buku  tafsir  orang  akan  melihat  bermacam-macam  hal  lagi  di samping itu. Sudah menjadi hak setiap penulis sejarah bila akan bertanya-tanya, sampai  di  mana  benar  ketelitian  dan  penyelidikan  yang  mereka  adakan  dalam hal  ini  semua, mana  yang  boleh  dijadikan  pegangan  (askripsi)  sampai  kepada Nabi sesuai dengan pegangan yang sahih (otentik), dan mana pula yang hanya berupa  buah  khayal  orang-orang  tasawuf  dan  sebangsanya. Kalau  di  sini  tidak  cukup  ruangan  untuk  mengadakan  ketentuan  atau penyelidikan  dalam  bidang  tersebut,  dan  kalau  bukan  pula  di  sini  tempatnya untuk menyatakan apakah isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan jasad, ataukah mi’raj dengan ruh dan isra’ dengan jasad, ataukah isra’dan mi’raj itu semuanya dengan  ruh  -  maka  sudah  tentu  bahwa  tiap  pendapat  itu akan  ada  dasarnya pada ahli-ahli ilmu kalam dan tak ada salahnya, kalau atas pendapat-pendapat itu  orang  menyatakan  pendiriannya  sendiri,  yang  akan  berbeda  pula  satu  dari yang  lain.
Jadi barangsiapa yang mau menyatakan pendapatnya, bahwa isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan ruh, maka dasarnya adalah seperti yang kita kemukakan tadi dan sudah berulang-ulang pula disebutkan dalam Qur’an dan diucapkan Rasul. “Sungguh  aku  ini  manusia  seperti  kamu  juga  yang  diberikan wahyu kepadaku. Tetapi Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa,”(Q.S. al-Kahfi, 18 : 110) dan bahwa satu-satunya mujizat Muhammad ialah Qur’an, dan “Bahwasanya  Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang mempersekutukan-Nya,  tetapi  Dia  mengampuni  segala  dosa selain (syirik) itu, siapa saja yang dikehendaki-Nya.”(Q.S. an-Nisa, 4 : 48)[15]
Orang yang berpendapat demikian ini -sebenarnya melebihi yang lain- ia akan bertanya, apa sebenarnya arti isra’ dan mi’raj itu. Di  sinilah letak pendapat yang ingin  kami  kemukakan.  Kami belum  mengetahui,  sudah  adakah orang mengemukakan  hal  ini  sebelum  kami,  atau  belum. Isra’  dan  mi’raj  ini  dalam  hidup  kerohanian  Muhammad  mempunyai  arti  yang tinggi  dan  agung  sekali,  suatu  arti  yang  lebih  besar  dari  yang  biasa  mereka lukiskan itu, yang kadang tidak sedikit dikacau dan dirusak oleh imajinasi ahli-ahli ilmu kalam yang subur itu. Jiwa yang sungguh kuat itu, tatkala terjadi isra’ dan mi’raj, telah dipersatukan oleh kesatuan  wujud  ini,  yang sudah  sampai  pada puncak kesempurnaannya. Pada saat itu tak ada sesuatu tabir ruang dan waktu atau  sesuatu  yang  dapat  mengalangi  intelek  dan  jiwa  Muhammad,  yang  akan membuat penilaian kita tentang hidup ini menjadi nisbi, terbatas oleh kekuatan-kekuatan  kita  yang  sensasional,  yang  dapat  diarahkan  menurut  akal  pikiran.
Pada saat itu semua batas jadi hanyut di depan hati nurani Muhammad. Seluruh alam semesta ini sudah bersatu ke dalam jiwanya, yang lalu disadarinya, sejak dari  awal  yang  azali  sampai  pada  akhir  yang  abadi.  Digambarkannya  dalam  perkembangan kesunyian  dirinya  dalam  mencapai  kesempurnaan  itu,  dengan jalan  kebaikan dan  keindahan  dan  kebenaran,  dalam  mengatasi  dan  mengalahkan  segala kejahatan, kekurangan, keburukan dan kebatilan, dengan karunia dan ampunan Tuhan  juga.  Orang  tidak  akan  mencapai  keluhuran  demikian  itu,  kalau  tidak dengan  suatu  kekuatan  yang  berada  di  atas  kodrat  manusia  yang  pernah dikenalnya.
Apabila  sesudah  itu  kemudian  datang  orang-orang  yang  menjadi  pengikut Muhammad  yang  tidak  sanggup  mengikuti  jejak  pikirannya  yang begitu  tinggi, dengan kesadaran yang begitu kuat tentang kesatuan alam, kesempurnaan serta perjuangannya  mencapai  kesempurnaan  itu,  maka  hal  ini  tidak  mengherankan dan  bukan  pula  aib  tentunya.  Dalam kita mencapai kebenaran inipun selalu terbentur pada batas-batas  ini,  tenaga  kita  sudah  tidak  mampu  mengatasinya.
Apabila  kita  mau  menyebutkan  sebagai contoh cerita orang-orang  buta  yang  ingin  mengetahui  gajah  itu  apa,  maka  salah  seorang  dari mereka itu akan berkata, bahwa gajah itu ialah seutas tali yang panjang, sebab kebetulan yang terpegang adalah buntutnya; yang seorang  lagi berkata, bahwa gajah  itu  sebatang  pohon,  sebab  kebetulan  yang  dijumpainya  adalah  kakinya; yang  ketiga  berkata,  bahwa  gajah  itu  runcing  seperti  anak  panah,  sebab kebetulan  yang  dijumpainya  adalah  taringnya;  yang  keempat berkata,  bahwa gajah itu bulat panjang dan bengkok, banyak bergerak-gerak, sebab kebetulan yang  dipegangnya  adalah  belalainya.
Contoh ini sebenarnya masih sejalan dengan gambaran yang terbayang ketika orang  yang  tidak  buta  itu  melihat  gajah  untuk  pertama  kalinya.  Boleh  juga kiranya  kita  mengambil  perbandingan antara persepsi (kesadaran) Muhammad menangkap esensi kesatuan alam ini serta penggambarannya kedalam isra’dan mi’raj  yang  berhubungan  dengan  waktu  pertama  sejak  sebelum  Adam  sampai pada  akhir  hari  kebangkitan  dan  yang  akan  menghilangkan  pula  kesudahan ruang  ini,  ketika  ia  melihat dengan mata batin  dari  Sidratul  Muntaha ke alam semesta ini, yang ada sekarang di hadapannya dan sudah seperti kabut  dengan persepsi (kesadaran) kebanyakan orang yang dapat menangka parti isra’ mi’raj itu.  Tatkala  itu  ia  berhadapan  dengan  bagian-bagian  yang  tidak  termasuk kesatuan  alam,  sedang  hidupnya  hanya  seperti  partikel-partikel  tubuh,  bahkan seperti  partikel-partikel  yang  melekat  pada  tubuh  itu  dengan  susunannya  yang tidak  terpengaruh  karenanya.  Dari  mana  pula  partikel-partikel  dari pada  hidup tubuh  itu,  dari  denyutan  jantungnya,  pancaran  jiwanya,  pikirannya  yang  penuh dengan  enersi  yang  tak  kenal  batas  sebab,  dari  wujud  hidup  itulah  ia berhubungan  dengan  segala  kehidupan  alam  ini.
Isra’ dengan ruh dalam pengertiannya adalah seperti isra’ dan mi’raj juga yang semuanya  dengan  ruh.  Ini  adalah  begitu  luhur,  begitu  indah  dan  agung.  Ia merupakan suatu gambaran yang kuat sekali dalam  arti kesatuan rohani  sejak dari awal yang azali sampai pada akhir yang abadi. Ini  adalah suatu pendakian ke atas Gunung Sinai, tatkala Tuhan berbicara dengan Musa, dan ke Bethlehem, tempat  Isa  dilahirkan.  Pertemuan  rohani  demikian  ini sudah  mengandung selawat  bagi  Muhammad,  Isa,  Musa  dan  Ibrahim,  suatu  manifestasi  yang  kuat sekali  dalam  arti  kesatuan  hidup  agama  sebagai  suatu  sendi kesatuan  alam dalam  edarannya  yang  terus-menerus  menuju  kepada  kesempurnaan. Ilmu pengetahuan pada masa kita sekarang ini mengakui isra’ dengan ruh dan mengakui  pula  mi’raj  dengan  ruh.  Apabila  tenaga-tenaga  yang  bersih  itu bertemu,  maka  sinar  yang  benarpun  akan  memancar.  Dalam  bentuk  tertentu sama pula halnya dengan tenaga-tenaga alam ini, yang telah membukakan jalan kepada  Marconi  ketika  ia  menemukan  suatu  arus  listrik  tertentu  dari  kapalnya yang sedang berlabuh di Venesia. Dengan suatu kekuatan gelombang ether arus listrik  itu  telah  dapat  menerangi  kota  Sydney  di  Australia.
IImu pengetahuan zaman kita sekarang ini membenarkan pula teori telepati serta pengetahuan lain yang bersangkutan dengan itu. Demikian juga transmisi suara di atas gelombang ether dengan radio, telephotography (facsimile transmisi) dan teleprinter  lainnya,  suatu  hal  yang  tadinya  masih  dianggap  suatu  pekerjaan khayal  belaka.  Tenaga-tenaga  yang  masih  tersimpan  dalam  alam  semesta  ini setiap  hari  masih  selalu  memperlihatkan  yang  baru  kepada alam  kita.  Apabila jiwa sudah mencapai kekuatan dan kemampuan yang begitu tinggi seperti yang sudah  dicapai  oleh  jiwa  Muhammad  itu,  lalu  Allah  memperjalankan  dia  pada suatu  malam  dari  Masjidil Haram  ke  al-Masjidil Aqsha,  yang  disekelilingnya sudah  diberi  berkah  guna  memperlihatkan  tanda-tanda  kebesaran-Nya,  maka itupun  oleh  ilmu  pengetahuan  dapat  pula  dibenarkan.  Arti  semua  ini  ialah pengertian-pengertian yang begitu kuat dan luhur, begitu indah dan agung, dan telah  pula  membayangkan  kesatuan  rohani  dan  kesatuan  alam  semesta  ini begitu jelas dan tegas dalam jiwa Muhammad. Orang akan dapat memahami arti semua ini apabila ia dapat berusaha menempatkan diri lebih tinggi dari bayangan hidup yang singkat ini. Ia berusaha mencapai esensi kebenaran tertinggi itu guna memahami kedudukannya yang sebenarnya dan kedudukan alam ini seluruhnya.
Orang-orang  Arab  penduduk  Mekah  tidak  dapat  memahami semua  pengertian ini.  Itulah  pula  sebabnya,  tatkala  soal  isra’  itu  oleh Muhammad  disampaikan kepada  mereka,  merekapun  lalu  menanggapinya  dari  bentuk  materi  (mungkin atau  tidaknya  isra’  itu).  Apa  yang  dikatakannya  itu  kemudian  menimbulkan kesangsian  juga  pada  beberapa  orang  pengikutnya,  pada  orang-orang  yang tadinya  sudah  percaya.  Mereka  banyak  yang  mengatakan:  Masalah  ini  sudah jelas. Perjalanan kafilah yang terus-meneruspun antara  Mekah-Syam memakan waktu  sebulan  pergi  dan  sebulan  pulang.  Mana  boleh  jadi  Muhammad  hanya satu  malam  saja  pergi-pulang  ke  Mekah?!
Tidak  sedikit  mereka  yang  sudah  Islam  itu  kemudian  berbalik  murtad.  Mereka yang  masih  menyangsikan  hal  ini  lalu  mendatangi  Abu  Bakr  dan  keterangan yang  diberikan  Muhammad  itu  dijadikan  bahan  pembicaraan. “Kalian  berdusta,”  kata  Abu  Bakr. “Sungguh?”  kata  mereka.  “Dia  di  masjid  sedang  bicara  dengan  orang  banyak.” “Dan kalaupun itu yang dikatakannya?” kata Abu Bakr lagi,  “tentu dia bicara yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke  bumi,  pada  waktu  malam  atau  siang,  aku  percaya.  Ini  lebih  lagi  dari  yang kamu  herankan.” Abu Bakr lalu mendatangi Nabi dan mendengarkan ia melukiskan Baitul Maqdis. Abu  Bakr  sudah  pernah  berkunjung  ke  kota  itu. Selesai  Nabi  melukiskan  keadaan  mesjidnya,  Abu  Bakr  berkata: “Rasulullah, saya percaya.” Sejak itu Muhammad  memanggil  Abu Bakr  dengan  Ash-Shiddiq.[16]
Alasan  mereka  yang  berpendapat  bahwa  isra’  itu  dengan  jasad  ialah  karena ketika Quraisy mendengar tentang kejadian Suraqa mereka menanyakannya dan mereka yang sudah beriman juga menanyakan tentang peristiwa yang luar biasa itu.  Mereka  memang  belum  pernah  mendengar  hal  semacam itu.  Lalu diceritakannya  tentang  adanya  kafilah  yang  pernah  dilaluinya  di  tengah  jalan. Ketika ada seekor unta dari kafilah tersesat, dialah yang menunjukkan. Pernah ia minum  dari  sebuah  kafilah  lain  dan  sesudah  minum  lalu ditutupnya  bejana  itu. Pihak Quraisy menanyakan hal tersebut. Kedua kafilah itupun membenarkan apa yang  telah  diceritakan  Muhammad  itu.
F. Analisis
Kekejaman yang dilakukan kaum Quraisy kepada Nabi Muhammad SAW selama beberapa tahun membuktikan sifat kerasnya pendirian kaum Quraisy terhadap kepercayaannya kepada agama yang dianutnya. Mereka sangat setia kepada agama yang mereka yakini (agama jahiliyah), sehingga sulit bagi mereka menerima agama baru terlebih dibawa oleh anak kecil walaupun ia termasuk dari keluarga pemuka. Sehingga mereka menghujani Nabi Muhammad SAW dan ummatnya siksaan-siksaan yang kejam. Selama paman nabi Abu Thalib dan istrinya Khadijah masih hidup, siksaan dan caciankaum Quraisy tidaklah begitu kejam dibandingkan dengan setelah mereka meninggal. Ketika peristiwa tersebut Nabi Muhammad mengalami duka yang hebat. Jikalau manusia biasa yang mengalami hal tersebut, apakah ia masih akan melanjutkan dakwahnya ? Setelah kehilangan paman yang sangat menyayanginya dan selalu menjaganya. Kemudian disusul kepergian sang isteri tercinta yang menyayanginya dengan sepenuh hati, yang menjadi sandaran ketika ia sedih atau dalam masalah, dan yang selalu mendukung apa saja yang akan ia kerjakan. Umumnya orang pasti tidak mau melanjutkan dakwahnya setelah peristiwa tersebut dengan siksaan dan cacian yang telah menunggu di depan.
Namun Nabi Muhammad berbeda, beliau tetap melanjutkan dakwahnya walaupun melalui banyak rintangan sulit dan kepahitan hidup yang terus menanti di depannya. Karena keteguhan hati, keikhlasan, kesabaran, dan keuletan beliaulah yang menjadikan beliau pantas menjadi suri tauladan bagi ummatnya. Walaupun demikian, sosok yang begitu mulia ini masih diragukan kebenarannya (wahyu yang ia bawa) oleh sebagian ummatnya dari zaman dahulu sampai sekarang. Yaitu ketika beliau mendapat wahyu tentang isra’ mi’raj. Banyak dari ummatnya yang sudah beriman menjadi murtad karena tidak mempercayai hal tersebut. Bagi mereka hal tersebut tidak masuk akal. Secara akal tidak mungkin dari Mekkah-Syam pergi-pulang dalam waktu semalam, karena pada zaman itu perjalanan pergi-pulang membutuhkan waktu dua bulan. Tapi apakah tidak ada yang mungkin jika Tuhan yang menguasai alam ini menghendaki hal tersebut ? Kurasa itu cukup untuk ummat terdahulu. Lalu bagaimana untuk umat yang sekarang ?
Seiring berkembangnya zaman dan teknologi dewasa ini, jawaban tersebut kurang bisa diterima. Kemudian jawaban seperti apakah yang diinginkan ummat zaman ini inginkan ? Jawabnya kita butuh meneliti dan mengupas kembali permasalahan tersebut untuk mewujudkan iman yang dapat dibenarkan oleh akal bukan hanya dibenarkan oleh hati saja.
G. Kesimpulan
Selam tiga tahun perjanjian yang dibuat kaum Quraisy untuk memboikot Nabi Muhammad SAW berlaku, beliau bersama umatnya bersembunyi dicelah-celah gunung. Tanpa persediaan makanan yang cukup, tanpa hubungan sosial (seperti dagang), dan hanya boleh keluar pada bulan-bulan tertentu untuk berziarah dan lain sebagainya. Karena tak tega melihat itu semua, Hasyim bin ‘Amr salah seorang dari Bani Hasyim pergi kecelah-celah gunung dengan membawa makanan. Keesokan harinya ia mengumpulkan semua kaum Quraisy dan menyatakan membatalkan perjanjian pemboikotan kepada Bani Hasyim, dan disetujui oleh semuanya kecuali Abu Jahal dan Abu Lahab.
Beberapa bulan kemudian setelah penghapusan piagam, pamannya Abu Thalib jatuh sakit. Dan pada ahirnya meninggal dunia. Kemudian disusul oleh sang istri tercinta Khadijah. Muhammad SAW pun merasakan kesedian tiada tara. Karena hal tersebut, tahun ini disebut ‘tahun berkabung atau tahun duka cita’.
Selang beberapa bulan dari kejadian itu, nabi hijrah ke Ta’if dengan tujuan mencari dukungan. Tapi sesampainya di sana beliau mendapatkan penolan Bani Thaqif dengan tegas. Begitu pula dengan kabilah-kabilah lainnya, dengan alasan-alasannya masing-masing.
Berjarak beberapa bulan Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu isra’ dan mi’raj. Tentang bagaimana peristiwa itu berlangsung ada yang mengemukakan dengan ruh dan ada juga yang mengemukakan dengan jasad.
Mungkin cukup ini yang dapat kami sampaikan dalam karya ini, apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon kritik dan saran dari para pembaca. Karena masihlah manusia biasa tempatnya salah dan lupa. Terima kasih telah bersadia membaca tulisan ini.
H. Daftar Pustaka
al-Buti, M. Sa’id Ramadhan. Fiqh al-Sirah 1. terjemah Mohd. Darus Sanawi. Kuala Lumpur : Dewan Pustaka Fajar. 1983
Ali, Maulana M. Muhammad The Prophet. terjemah Suyud SA Syurayudha. Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah. 2007
Haykal, Muhammad Husain. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta : Tintomas. 1972
_____________. The Life of Muhammad. translated by Ismail Razi A. Al-Faruqi. Chicago : The University of Chicago Press. 1968
Spancer, Robert.  The Truth about Muhammad. New York : Regnery Publishing. Inc. 1947


[1] Maulana M. Ali, Muhammad The Prophet, terjemah Suyud SA Syurayudha, Jakarta : Darul Kutubil Islamiyah, 2007, hlm. 94-95
[2] Muhammad Husain Haykal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta : Tintomas, 1972, hlm. 153-154
[3] Muhammad Husayn Haykal, The Life of Muhammad, translated by Ismail Razi A. Al-Faruqi, Chicago : The University of Chicago Press, 1968,hlm. 190-192
[4] M. Husain Haykal, Sejarah Op.cit., hlm. 155-156
[5] M. Husayn Haykal, The Life Op.cit., hlm. 194
[6] M. Sa’id Ramadhan al-Buti, Fiqh al-Sirah 1, terjemah Mohd. Darus Sanawi, Kuala Lumpur : Dewan Pustaka Fajar, 1983, hlm. 74
[7] Sebuah kota di Selatan Mekkah. Lihat di : Robert  Spancer, The Truth about Muhammad, New York : Regnery Publishing, Inc. 1947, hlm. 8
[8] Maulana M. Ali, Muhammad Op.cit., hlm. 99
[9] M. Sa’id Ramadhan al-Buti, Fiqh Op.cit., hlm. 77-80
[10] Dewi yang disembah kaum pagan Quraysh (kedudukannya sama dengan al-‘Uzza). Lihat di : Robert  Spancer, The Truth Op.cit., hlm. 78
[11] Kota dimana Nabi SAW dan umatnya mencari perlindungan dari orang-orang Quraysh atas siksaan yang mereka berikan. Dalam buku lain kota ini dikenal dengan nama Habsyah. Lihat di Maulana M. Ali, Muhammad Op.cit., hlm.79-81
[12] Kuda bersayap berkepala manusia yang dipercaya menemani perjalanan isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad. Lihat di : Robert  Spancer, The Truth Op.cit., hlm.7
[13] M. Husain Haykal, Sejarah Op.cit., hlm.159-161
[14] Ibid, hlm.161-162
[15] M. Husayn Haykal, The Life Op.cit., hlm.202
[16] Ibid, hlm. 204-205

Tidak ada komentar:

Posting Komentar