FAKTOR-FAKTOR
RUNTUHNYA BANI ABBASIYAH
Kemunduran dan kehancuran Dinasti
Abbasiyah yang menjadi awal kemunduran dunia Islam terjadi dengan proses
kausalitas sebagaimana yang dialami oleh dinasti sebelumnya. Konflik internal,
ketidak mampuan khalifah dalam mengkonsolidasi wilayah kekuasaannya, budaya
hedonis yang melanda keluarga istana dan sebagainay, disamping itu juga
terdapat ancaman dari luar seperti serbuan tentara salib ke wilayah-wilayah
Islam dan serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Dalam makalah
ini penulis akan membahas sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Dinasti
Abbasiyah serta dinamikanya.
Tak ada gading yang tak retak.
Mungkin pepatah inilah yang sangat pas untuk dijadikan cermin atas kejayaan
yang digapai bani Abbasiah. Meskipun Daulah Abbasiyah begitu bercahaya dalam
mendulang kesuksesan dalam hampir segala bidang, namun akhirnya iapun mulai
menurun dan akhirnya runtuh. Menurut beberapa literatur, ada beberapa sebab
keruntuhan daulah Abbasyiah, yaitu:
A. FAKTOR INTERNAL
Sebagaimana terlihat dalam
periodisasi khilafah Abbasiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak
datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama,
hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, sehingga benih-benih itu
tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa
apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai
sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda
pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak
faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing
faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah
sebagai berikut[1] :
1. Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Fanatisme kebangsaan dibiarkan
berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem
perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai
dan tentara. Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar
kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi
orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota.
Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami.[2]
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang
lemah naik tahta, dominasi tentara Turki semakin
kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu
kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan
orang-orang Turki. Posisi ini
kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447), dan selanjutnya
beralih kepada Bani Seljuk, bangsa
Turki pada periode keempat (447-590H).[3]
2. Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan
Diri
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas
sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya,
karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling
percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga
para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan
kebudayaan daripada politik dan ekspansi.[4]
Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah
terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang
dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki. Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di
pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Dinasti yang lahir
dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di
antaranya adalah:
- Yang berbangsa Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H), Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447).
- Yang berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H), Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya
- Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).
- Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah di Tunisia (18-289 H), Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo 414-472 H).
- Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[5]
3. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan
Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari
yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh
dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang
pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran
politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.[6]
Setelah khilafah memasuki periode
kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih
besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya
wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian
rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran
membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat
semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan
korupsi.
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan
perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk
memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah, faktor ini saling berkaitan dan
tak terpisahkan.
4. Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme
Keagamaan
Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa,
maka kekecewaan itu mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal
dengan gerakan Zindiq ini
menggoda rasa keimanan para khalifah.
Khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya,
beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah
pada tahun 140 H.[7] Setelah
al Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi
orang-orang Zindiq bahkan
beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta
melakukan mihnah dengan
tujuan memberantas bid'ah. Akan
tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum
beriman dengan golongan Zindiq berlanjut
mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai
kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata
itu.
Pada saat gerakan ini mulai
tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri.
Selain itu terjadi juga konflik
dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan
Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah
(813-833 M), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan
melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara
dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis.
Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.[8]
B. FAKTOR EKSTERNAL
Selain yang disebutkan diatas, yang
merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan kehancuran Khilafah bani Abbas.
Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan
akhirnya hancur.
1. Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi telah
menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat
Islam. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul
Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan
orang-orang Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun
1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan
perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Perang salib yang berlangsung dalam
beberapa gelombang atau periode telah banyak menelan korban dan menguasai
beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M
mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota
Tyre.[9]
2. Serangan Mongolia ke Negeri Muslim dan Berakhirnya
Dinasti Abbasiyah
Sebagai awal penghancuran Bagdad dan
Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri Asia Tengah
Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil. Pada bulan September 1257,
Hulagu mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar
tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan
jawaban. Maka pada Januari 1258, Hulagu khan menghancurkan tembok ibukota.
Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base
pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh
hari kemudian mereka semua dieksekusi. Dan Hulagu beserta pasukannya
menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40
hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.[10]
Dan Dengan terbunuhnya Khalifah al-Mu’tashim telah menandai babak akhir dari
Dinasti Abbasiyah.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Isy, Yusuuf. Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah. Terj. Arif Munandar.
Jakarta Pustaka Al-Kautsar. 2007.
al-Usyairy, Ahmad. Attarikh al-Islami. Terj. Samson Rahman.
Jakarta: Akbar. 2003.
Hitti, Philip K. History Of The Arabs. Terj. R. Cecep
Lukman Yasin. Jakarta: Serambi. 2008.
Yatim, Badari. Sejarah Peradaban Islam Dirasah islamiayah II. Jakarta: Raja
Grapindo Persada. 2000.
[1] Badari Yatim. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiayah
II. (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000). hlm.80
[2] Yusuuf al-Isy. Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah.
Terj. Arif Munandar. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007). hlm. 102-104
[3] Badari Yatim. Op.Cit. hlm. 50
[5] Yusuuf al-Isy. Op.
Cit. hlm. 137
[6] Philip K. Hitti. History Of The Arabs.
Terj. R. Cecep Lukman Yasin. (Jakarta: Serambi, 2008) hlm. 436 dan 618
[7] Ahmad al-Usyairy. Attarikh al-Islami. Terj. Samson Rahman.
(Jakarta: Akbar, 2003). hlm. 224
[8] Badari Yatim. Op.Cit. hlm. 84
[10] Ahmad al-Usyairy. Op. Cit. hlm. 259
Tidak ada komentar:
Posting Komentar