Minggu, 05 Juni 2016

Sejarah Perkembangan Hadis




SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ulumul Hadits
Dosen Pengampu  : Dr. H. Ahmad Bisri, M.Ag

Di susun oleh  :
1.      Hanif Al-Fajri              (134111017)
2.      Wahyu Linda               (134111016)


FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALI SONGO
SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.  Latar.belakang
Mempelajari sejarah perkembangan hadits baik perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya amat diperlukan karena dipandang satu bagian dari pelajaran hadits yang tidak boleh dipisahkan. Sungguh gelap jalan yang dilalui oleh mereka yang mempelajari hadits tanpa mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits.Pada masa Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur’an. Para sahabat khususnya yang mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur’an, selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur’an di atas alat-alat yang mungkin dipergunakannya.
Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an. Mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits belum di bukukan. Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya Nabi Saw, muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits ini pun dilaksanakan secara bertahap, seiring dengan makin banyaknya sahabat yang wafat, penulisan hadits makin dilakukan untuk menghindari adanya kerancuan pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan permasalahan.

2.      Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakan di atas, maka pemakalah mengajukan satu rumusan masalah sebagai berikut :
A.     Bagaimana periode sejarah perkembangan Hadits ?






BAB II
PEMBAHASAN

A.  Periode Sejarah Perkembangan Hadits

M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadis menjadi tujuh periode[1], sejak periode Nabi SAW hingga sekarang, yaitu sebagai berikut:
1.      Periode Pertama: Perkembangan Hadis pada Masa Rasulutlah SAW.
Periode ini disebut `Ashr Al-Wahyi wa At-Taqwin' (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam).[2] Pada periode inilah, hadits lahir berupa sabda aqwal, af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan AI-Quran untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam. Para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. memberi ceramah, pengajian, khotbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi. Pada masa Nabi SAW, kepandaian baca tulis dikalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis di kalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadits dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.

2.      Periode Kedua: Perkembangan Hadis pada Masa Khulafa' Ar-Rasyidin (11 H-40 H)
Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah’ (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Quran dan hadits (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits tersebar secara terbatas. Penulisan hadispun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis. Dan  sebaliknya, Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Quran. Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat dalam meriwayatkan hadits, yakni :
1.      Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang     mereka hafal, benar lafazh dari Nabi.
2.      Dengan maknanya saja; yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh asli dari Nabi SAW.

3.      Periode Ketiga: Perkembangan pada Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits).[3] Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadis.
Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadits-hadits Nabi SAW diharuskan berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadits kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di wilayah tersebut. Dengan demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadits ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari haditspun menjadi ramai. Karena meningkatnya periwayatan hadits, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum Perkembangan) hadits diberbagai daerah diseluruh negeri.
Adapun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat bagi usaha penggalian, pendidikan, dan  pengembangan hadits terdapat di :
1.        Madinah                    4.        Syam
2.        Mekah                       5.        Mesir
3.        Bashrah
Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat Islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan Ali Ibn Abi Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi'ah. Kedua, golongan Khawarij, yang menentang Ali, dan golongan Mu'awiyah. Dan ketiga, golongan Jumhur (golongan pemerintah pada masa itu).
 Terpecahnya umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW. untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadits palsu dan   menyebarkannya kepada masyarakat.

4.        Periode Keempat: Perkembangan Hadits pada Abad II dan III Hijriah
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan  pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadits sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW.
Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H. Sebagai khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun hadits dalam hafalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan  mengumpulkan dalam buku-buku hadits dari para perawinya, ada kemungkinan hadits-hadits tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghafalnya ke alam barzakh.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma'mar- Al-Laits, Al-Auza'i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi'bin untuk membukukan hadits Rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa'ad Ibn Zurarah Ibn `Ades, seorang ahli fiqh, murid `Aisyah r.a. (20 H/642 M - 98 H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadits-hadits yang ada pada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh. Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadits yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits.[4] Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadits atas anjuran Khalifah. Pembukuan seluruh hadits yang ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadist pada masanya.

5.        Feriode Kelima: Masa Men-tasbih-kan Hadis dan Penyusuran Kaidah-Kaidahnya
Abad ketiga Hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab Muwaththa' Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauan menghafal hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari hadits. Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadits.[5]
Keadaan ini diubah oleh AI-Bukhari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, `Asqalani, dan  Himsh. Imam Bukhari membuat terebosan dengan mengumpulkan hadits yang tersebar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima hadits dari para rawi lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadits, para ulamapun melakukan hal-hal berikut :
a.       Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan  lain-lain.
b.       Memisahkan hadits-hadits yang sahih dari hadis yang dha'if yakni dengan men-tashih-kan hadits.
U1ama hadits yang mula-mula menyaring dan  membedakan hadits-hadits yang sahih dari yang palsu dan  yang lemah adalah Ishaq Ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang sangat termasyhur.
Pekerjaan yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-jamius Shahih. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadits-hadits yang dianggap sahih. Kemudian, usaha A1-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Bukhari dan  Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak Bukhari dan  Muslim, di antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi,dan  An-Nasa'i. Mereka menyusun kitab-kitab hadits yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslirn, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, dan  Sunan An-Nasa'i. Kitab-kitab itu kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsah.
Di samping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk itu kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah.

6.        Periode Keenam: Dari Abad IV hingga Tahun 656 H.
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa `Abasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-jami'.[6]
Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3 digelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadits dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan  pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad keempat. Para ulama abad keempat ini dan seterusnya digelari `Mutaakhirin'. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghafalnya. Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak terdapat dalam kitab sahih pada abad ketiga. Kitab-kitab itu antara lain:
1.        Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah
2.        At-Taqsim wa Anwa', susunan Ibnu Hibban
3.        Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim

7.      Periode Ketujuh (656 H - Sekarang)
Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu'tasim (w. 656 H) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al Jami' wa At-Takhriji wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.[7] Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta membuat kitab-kitab fami' yang umum.
Pada periode ini disusun Kitab-kitab Zawa'id, yaitu usaha mengumpulkan hadits yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya Kitab Zawa'id susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa'id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab zawa'id yang lain.
Di samping itu, para ulama hadits pada periode ini mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam beberapa kitab ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Fami' Al-Masanid wa As-Sunan Al-Hadi li Aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan fami'ul  fawami susunan Al-Hafidz As-Suyuthi (911 H).
Banyak kitab dalam berbagai ilmu yang mengandung hadits-hadits yang tidak disebut perawinya dan pen-takhrij-nya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat pengambilan hadits-hadits itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang tertentu, di antaranya Takhrij Hadis TafsirAl-Kasysyaf karangan Al-Zailai'i (762), Al-Kafi Asy-Syafi fi Tahrij Ahadits Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajar Al-`Asqalani, dan masih banyak lagi kitab takhrij lain.















BAB III
KESIMPULAN


Menurut M. Hasbi Asy-Syidieqy, sejarah perkembangan hadits terbagi menjadi tujuh periode. Periode pertama : pada masa Rasulullah SAW, yang di mana semua permasalan dikembalikan/ditanyakan langsung kepada Rasulullah.
Periode kedua : pada masa Khulafa Ar-Rasyiddin, yang mana pada masa ini perkembangan hadits belumlah begitu nampak. Karena pada masa ini para Khalifah lebih mementingkan penyebarluasan Al-Qur’an.
Periode ketiga : pada masa sahabat kecil dan tabiin, adalah masa di mana berkembang dan meluasnya periwayatan hadits. Pada masa ini pula Jazirah Arab mulai meluas sampai ke Spanyol. Karena meluasnya periwayatan hadits, maka berdirilah Centrum Perkembangan Hadits di berbagai tempat. Separti di Madinah, Mekah, Mesir dan lainnya. Pada masa ini juga mulailah pemalsuan hadits.
Periode keempat : adalah masa penulisan dan pembukuan hadits secara resmi oleh pemerintah. Yakni pada masa Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Beliau khawatir apabila hadits-hadits tidak dibukukan dari para rawi yang menghimpun dengang hafalannya, hadits-hadits tersebut akan lenyap dari muka bumi ini bersama dengan meninggalnya para rawi tersebut. Yang pada masa itu para rawi hadits mulai banyak yang meninggal.
Periode kelima : pada masa ini hadits mulai dibeda-bedakan. Antara shahih dengan dha’if dan hadits yang palsu. Yang pertama kali melakukan hal ini adalah Imam Bukhari. Dan diikuti oleh muridnya Imam Muslim, dan para perawi yang lainnya.
Periode keenam : pada masa ini muncul ulama-ulama hadits yg digelari Mutaqoddimin, yakni yang mengupulkan hadits dengan usahanya sendiri. Dengan cara menemui para penghafal hadits yang tersebar di pelosok Jazirah Arab. Dan ulama-ulma hadits yang digelari Mutaakhirin. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqoddimin.
Periode ketujuh : adalah masa setelah meninggalnya Dinasty Abbasiyah ke XVII sampai sekarang. Periode ini adalah masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrij-an, dan pembahasan.
Begitulah kesimpulan yang dapat kami simpulkan. Apabila terdapat kesalahan, kami mohon kritik dan sarannya. Karena kritik dan saran dari teman-teman akan sangat membantu dalam perbaikan makalah kami yang akan datang. Atas partisipasinya kami ucapkan terima kasih.





























DAFTAR PUSTAKA

1.      Aglayanah, Al-Makki, Metode Pengajaran Hadits: Pada Tiga Abad Pertama, terj. Amir Hamzah Fachruddin. Jakarta : Granada Nadia. 1995
2.      Ahmad, Muhammad, dkk. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2005
3.      Al-Baghdadi, Abd. Al- Qahir. Al-Farq baina Al-Firaq. Editor M.S. Kailani. Beirut : Dar Al-Ma’arifah. 1983
4.      IsmaiI,Syuhudi. Kaidah Kesahihan sanad hadist.Jakarta: Bulan Bintang.1995
5.      Shiddiqiey,TM.Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist.Semarang: Pustaka Rizki Putra.2001
6.      Sulaiman,Hasan. Abbas, Alwi, Terjemah lbanatul Ahkam Syarh Bulughuf Maram Jilid I.Surabaya: Mutiara iimu.1995
7.      Zuhri, Muhammad. Hadist Nabi, Tela'ah Historisdan  Metodologi.Yogyakarta: Tiara Wacana.2003




[1] M. Hasbi Ash-Shidieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan Bintang. 1987. Hlm. 46.
[2] . Barmawie Umarie. Status Hadits sebagai Dasar Tasjri. Solo: AB. Siti Sjamsijah. 1965
[3] Ibid. hlm. 47-54. Lihat juga Ash-Shiddieqy. Op. Cit.hlm. 69-78
[4] Az-Zuhri menerima hadits dari Ibnu ‘Umar, Sahel ibn Sa’ad, Anas ibn Malik, Mahmud Ibn al-Rabi’, Said Ibn Musaiyab, dan Abu Umamah ibn Sahel.
5. ibid .hal.89-104
[6] Ibid. hlm. 103
[7] Umarie. op. cit. hlm. 21; Lihat Ash-Shidieqy. op. cit. hlm. 126-134.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar